KIAI SAHAL DAN REALISME FIKIH

May 25, 2014 Add Comment


Dari perspektif fikih, lokalisasi pelacuran hukumnya boleh. Bagaimana bisa? Dalam Nuansa Fiqh Sosial, KH. Sahal Mahfudz memberi jawaban menarik. Kata Kiai Sahal, prostitusi jelas dilarang agama. Tapi sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi tak akan musnah hanya dengan diharamkan. Dalam kondisi demikian, terdapat dua pilihan yang sama-sama membawa kerusakan (mafsadah): atau membiarkan prostitusi menyebar secara gelap di masyarakat dan tak terkontrol, atau melokalisirnya sehingga bisa dikontrol. Kaidah fikih mengajarkan, bila ada dua pilihan yang sama-sama mengandung mafsadah, yang lebih ringanlah yang mesti dipilih. Atas dasar itulah Kiai Sahal berpendapat lokalisasi pekerja seks komersial bisa dibenarkan.
Pandangan di atas mungkin terasa mengejutkan bagi kalangan Islam yang, atas nama amar ma’ruf nahi munkar, menyatakan perang total terhadap segala bentuk kemunkaran. Prostitusi di mata mereka justru harus diberantas, bukan dilokalisir. Bahwa persoalannya kompleks, mereka tak mau tahu.
Sebenarnya, kalau acuannya kitab-kitab tentang kaidah fikih (qawa’id al fiqh), pendekatan frontal yang hitam putih terhadap kasus fikih justru jarang ditemukan. Yang lazim malah penekanan tentang pentingnya memperhitungkan kompleksitas masalahnya. Ada setidaknya tiga kaidah fikih yang menunjukkan hal itu.
Pertama, kaidah tentang keharusan menghilangkan kerusakan (dharar), baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Namun usaha menghilangkan kerusakan tak boleh dengan cara-cara yang merusak. Tak boleh juga melahirkan kerusakan baru. Dengan kata lain, yang perlu ditimbang bukan hanya isi hukumnya, tapi juga ongkos sosial dan solusi terhadap masalahnya. Dan seperti digambarkan dalam kasus lokalisasi di atas, terhadap sesuatu yang haram pun kita tak bisa langsung membumihanguskannya begitu saja,
Kaidah kedua, keadaan tak terelakkan atau suatu kemestian (dharurah) bisa membolehkan hal yang tadinya terlarang. Kaidah inilah yang dipakai, misalnya, oleh Al-Ghazali sebagai landasan fikih politiknya yang bertumpu pada realisme . Dalam Al Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali menegaskan, dalam situasi ketika tak mungkin lagi ditemukan pemimpin yang sesuai dengan kriteria syariah, maka penguasa yang tak sesuai kriteria syar’i bisa dianggap absah, asalkan mampu menegakkan tatanan sosial. Sebab, bila pemimpin seperti itu tak diakui lantaran tak sesuai syariah, maka umat akan berada dalam situasi yang lebih berbahaya menurut fikih, yakni situasi tanpa pemimpin yang niscaya melahirkan kekacauan sosial dan politik. Dengan kata lain, situasi yang tak terelakkan (dharurah) menyebabkan apa yang tadinya terlarang menjadi boleh.
Sedangkan kaidah ketiga berbunyi: budaya setempat bisa menjadi dasar hukum. Alih-alih memberangus tradisi lokal, hukum Islam justru mengakomodasinya. Kaidah ini meniscayakan adanya keragaman fikih, mengingat budaya lokal umat Islam juga beragam. Artinya, fikih yang cocok berlaku buat orang Islam Indonesia adalah “ fikih Indonesia,” sebagaimana yang cocok buat kaum Muslim Arab adalah “fikih Arab.” Mungkin inilah yang dimaksud Gus Dur sebagai “pribumisasi Islam.”
Tiga kaidah fikih di atas tak pelak mengarah pada kesimpulan berikut: hukum Islam bukanlah sebuah paket baku yang sudah jadi dari atas, yang tinggal diterapkan begitu saja pada situasi manapun dan kapanpun. Karena hukum Islam ternyata sangat mempertimbangkan kenyataan kongkret di mana kaum muslim berada. Hubungan antara keduanya bukanlah hubungan satu arah yang bersifat top-down, melainkan saling mempengaruhi. Kenyataan tak hanya melulu harus disesuaikan dengan suatu putusan syara’, melainkan juga bisa membuat putusan tersebut menyesuaikan diri dengannya. Saya menyebut fenomena ini sebagai “realisme fikih.”
Realisme fikih inilah yang saya kira mencirikan gagasan “fikih sosial” ala Kiai Sahal. Asumsi dasarnya, syariah mesti dilihat sebagai fikih, yang berarti “pemahaman.” Bagi Kiai Sahal, fikih selalu merupakan hasil ijtihad yang tak bersifat kaku dan sakral, melainkan lentur dan kontekstual. Putusan fikih yang pada suatu zaman dan tempat tertentu dianggap valid bisa saja tak lagi relevan di era lain atau di tempat lain. Untuk menggambarkan kelenturan fikih ini, Kiai Sahal mengutip seloroh KH. Wahab Hasbullah: pekih kuwi yen rupek yo diokoh-okoh, fikih itu kalau terasa menyempitkan ya dibuat longgar.
Tapi apa landasan bagi peng-“okoh-okoh”an fikih? Apa tolok ukur yang mendasari kontekstualisasi hukum Islam? Di mata Kiai Sahal, di luar wilayah ibadah murni (ibadah mahdhah), kontekstualisasi fikih harus bersandar pada prinsip kemaslahatan. Dalam dunia sosial-politik, prinsip ini bisa diterjemahkan sebagai terciptanya keadilan sosial.
Dalam konteks mutakhir, keadilan sosial dimaknai dalam kerangka demokrasi, yang bertaut erat dengan prinsip kesetaraan warga negara, apapun agamanya. Kesetaraan demokrasi inilah yang menurut Kiai Sahal merupakan muara bagi fikih politik untuk zaman ini. Konsekuenasinya, diktum-diktum fikih politik (fiqh al-siyasah) klasik yang bertentangan dengan muara fikih tersebut, seperti konsep dzimmi yang menempatkan kalangan nonmuslim sebagai warga negara kelas dua, menjadi tidak relevan lagi. Menarik bahwa alur penalaran fikih pada akhirnya membawa Kiai Sahal pada sikap menyetujui demokrasi sebagai sistem yang dianggap paling efektif merealisasikan kemasalahatan, yang nota bene merupakan tujuan syariah.
Dengan kerangka berpikir seperti itu, wajar kalau kemudian Kiai Sahal menolak ide formalisasi syariah. Dalam pidato iftitahnya di Munas NU 2006, misalnya, ia menggarisbawahi perlunya NU mengusung syariah “tanpa melalui jalan formalistik, lebih–lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, melainkan dengan cara lentur.” Sebab ia meyakini, “syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal.”
Ditinjau dari lensa fikih sosial, gerakan penerapan syariah yang belakangan marak di negeri kita sejatinya mengidap sejumlah masalah akut. Yang paling mencolok adalah diabaikannya prinsip kesetaraan yang menurut Kiai Sahal harusnya menjadi muara bagi syariah. Lihat saja betapa banyak perda syariah yang melanggar hak-hak perempuan dan kaum minoritas.
Ada anggapan, negara syariah mencerminkan Islam kaffah yang sesuai dengan teladan Islam salaf. Padahal upaya menempatkan hukum Islam sebagai hukum tunggal yang baku dan disahkan oleh negara justru tak dikenal pada masa Islam klasik. Positivisasi hukum Islam adalah fenomena modern, yang akarnya baru muncul pada paruh akhir abad 19, akibat dari persentuhan Dunia Islam dengan negara kolonialnya seperti Perancis. Model acuannya pun banyak mengambil dari sistem hukum Eropa. Sebelum itu, selama ratusan tahun korpus syariah praktis dirumuskan dan dikembangkan oleh para ulama fiqh “swasta” yang otonom dari negara dan tanpa pengesahan negara. Di tangan merekalah syariah tampil sebagai fiqh, yakni ranah ijtihad yang fleksibel dan meniscayakan keragaman pendapat. Inilah yang hendak dihidupkan lagi oleh Kiai Sahal melalui fikih sosialnya.
Walhasil, penolakan Kiai Sahal atas formalisasi syariah kiranya sejalan dengan fikih sosialnya. Karena baginya, dengan memahami syariah sebagai fikih dan bukan sebagai hukum positif, kita sejatinya memulihkan kembali karakter hukum Islam yang sesugguhnya, yakni yang lentur, kontekstual, dan berporos pada keadilan sosial. Bagi Kiai Sahal, inilah bentuk sejati penerapan syariah.
Akhmad Sahal, pengurus cabang istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika. Akun twitter: @sahal_AS
*Tulisan ini dimuat di Majalah TEMPO, ediisi 24/2/2014

JADWAL TEMPAT ZIARAH WALI SONGO Pon. Pes. “MA’HADUT THOLABAH” Th. 2014 M

March 31, 2014 Add Comment
JADWAL TEMPAT ZIARAH WALI SONGO Pon. Pes. “MA’HADUT THOLABAH” Th. 2014 M



                                                               

Nama Wali
Tempat
KH. Ahmad Thoha Romlan
Kandangan
KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU)
Tebuireng Jombang
KH. Abdurahman Wahid (Presiden ke-4)
Tebuireng Jombang
Syekh Jumadil Qubro (Walisongo Generasi ke-1)
Troloyo Trowulan Mojokerto
Syekh Bungkul
Jl. Darmo Surabaya Kota
Syekh Raden Rahmad (Sunan Ampel)
Ampel Denta Surabaya
Syekh Maulana Malik Ibrahim
Gresik
Syekh Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Lereng Gunung Giri Gresik
Syekh Raden Qosim (Sunan Drajad)
Sedayu Lamongan
Syekh Asmoro Qondi (Raden Asmoro)
Tuban
Syekh Makdum Ibrahim (Sonan Bonang)
Tuban
Syekh Raden Umar Sa’id (Sunan Muria)
Lereng Gunung Muria
Syekh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)
Menara Kudus, Kudus
Syekh Raden Sa’id (Sunan Kalijaga)
Kadilangu Demak
Masjid Agung Demak
Demak
Syekh Raden Fatah ( Raja Islam Pertama Di Jawa)
Demak Bintoro
Syekh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati)
Cirebon Jawa Barat
Sultan Hasanuddin (Pahlawan Nasional)
Banten Jawa Barat
Syekh Maulana Yusuf
Pandeglang Serang Jawa Barat
Masjid Istiqlal
Jakarta
Wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Jakarta
Syekh Panjalu (Wisata Keliling Danau)
Tasikmalaya Jawa Barat
Syekh Haji Abdul Muhyi
Pamijahan Tasikmalaya
Goa Saparwadi
Bantarkalong Pamijahan
Syekh Dalhar
Gunung Pring Muntilan Jateng
Syekh Pandanaran (Sunan Bayat)
Bayat Klaten Jateng
Malioboro/Pasar Klewer
Yogyakarta/Solo Jateng

NB :
  1. Berangkat Tanggal 20 Juni 2014
  2. Kontribusi Rp.340.000
  3. Bus full AC + Video
  4. Dana harus lunas sebelum berangkat dan dapat diangsur
  5. Jam 15.00 wib peserta harus sudah berkumpul dihalaman PPMT Kebondalem, Kandangan
  6. Jadwal bisa berubah tergantung situasi dan kondisi

KH Idham Cholid (NU) dan Buya Hamka ( MUHAMMADIYAH)

March 31, 2014 Add Comment
KH Idham Cholid (NU) dan Buya Hamka ( MUHAMMADIYAH)

Foto: KH Idham Cholid (NU) dan Buya Hamka ( MUHAMMADIYAH)

kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci. 

Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.

Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.

KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya.

 Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.

Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.

Namun, sayangnya banyak dari orang-orang yang mengaku menjadi pengikut pemimpin mereka malah tidak bisa mencontoh sifat kebesaran jiwa yang ditunjukan para pemimpinnya. 

Banyak diantara mereka saling meributkan, menyibukan diri dengan mencari-cari perbedaan, dan menyalahkan satu sama lain yang berbeda pendapat dan tidak jarang saling mengejek dan menghina bahkan sampai menyesatkan sesama muslim yang berseberangan dengannya.

 Mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukannya hanya memecah belah umat dan sungguh ini adalah perbuatan yang lebih hina di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Ini adalah fakta dan memang benar adanya. Contoh yang paling nyata adalah menjamurnya tulisan-tulisan di berbagai media khususnya media online seperti blog atau website yang memaparkan pendapat-pendapat yang dianggap paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain sesama muslim yang berbeda pendapat dengannya. 

Apa yang mereka utarakan sebenarnya hanyalah foto copy alias copy paste dan taqlid dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah mufti tertinggi. 

Tidak seperti para Imam Ahlus Sunnah yang sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah khususnya dalam keragaman amal syariat.

Kenyataan ini memang sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka para imam Ahlus Sunah, tetapi tidak mampu meneladani akhlak para imamnya. 

Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap sebagian orang tersebut, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka yang mencela dan mensesat-sesatkan bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa. 

Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja. 

Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani. Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’ 

Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.

sumber : https://www.facebook.com/gusdurhumor?fref=ts

"SILAHKAN SHARE"

Kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci.

Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.

Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.

KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya.

Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.

Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.

Namun, sayangnya banyak dari orang-orang yang mengaku menjadi pengikut pemimpin mereka malah tidak bisa mencontoh sifat kebesaran jiwa yang ditunjukan para pemimpinnya.

Banyak diantara mereka saling meributkan, menyibukan diri dengan mencari-cari perbedaan, dan menyalahkan satu sama lain yang berbeda pendapat dan tidak jarang saling mengejek dan menghina bahkan sampai menyesatkan sesama muslim yang berseberangan dengannya.

Mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukannya hanya memecah belah umat dan sungguh ini adalah perbuatan yang lebih hina di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Ini adalah fakta dan memang benar adanya. Contoh yang paling nyata adalah menjamurnya tulisan-tulisan di berbagai media khususnya media online seperti blog atau website yang memaparkan pendapat-pendapat yang dianggap paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain sesama muslim yang berbeda pendapat dengannya.

Apa yang mereka utarakan sebenarnya hanyalah foto copy alias copy paste dan taqlid dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah mufti tertinggi.

Tidak seperti para Imam Ahlus Sunnah yang sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah khususnya dalam keragaman amal syariat.

Kenyataan ini memang sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka para imam Ahlus Sunah, tetapi tidak mampu meneladani akhlak para imamnya.

Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap sebagian orang tersebut, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka yang mencela dan mensesat-sesatkan bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa.

Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja.

Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani. Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’

Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.

Pembelaan Gus Dur Atas Fitnah yang Menimpa Habaib

March 31, 2014 Add Comment
Pembelaan Gus Dur Atas Fitnah yang Menimpa Habaib


Tatkala pernyataan ketua umum MUI KH. Hasan Basri yang dimuat di surat kabar harian terbit tahun 1993 bahwa: “Tidak ada anak keturunan Rasulullah di Indonesia bahkan di dunia karna sudah dinyatakan terputus dikarenakan tidak adanya lagi keturunan Hasan dan Husein.”

Terang saja pernyataan ini membuat para ulama khususnya para habaib tidak menerimanya. Al-Habib Muhamnad al-Habsyi Kwitang, yang pada waktu itu dalam keadaan sakit, meminta kepada al-Habib Nauval bin Jindan untuk tampil membela kehormatan anak cucunya Rasulullah Saw. Dan peristiwa tersebut boleh dikatakan petistiwa terdahsyat atas fitnah yang ditujukan kepada para habaib, sampai memakan waktu lebih dari dua tahun peristiwa tersebut masih hangat diperbincangkan. Sampai-sampai sebuah majalah mengeluarkan berita di sampul utamanya dengan judul “APA JASAMU HAI PARA HABIB”.

Al-Habib Nauval dari satu mimbar ke mimbar lainnya menyeru kepada para ulama: “Hai kalian para ulama, bangkit kalian jangan mau diperalat oleh siapapun. Kami para habaib tidak butuh pengakuan. Tapi kalau kalian hanya diam atas fitnahan terhadap kami, sesungguhnya kalianlah yang paling rugi serugi-ruginya.”

Sedangkan Gus Dur, yang menyempatkan hadir di Pondok Pesantren al-Fachriyah di Cileduk sekitar tahun 1994, diantara pidato yang disampaikan adalah: “Hanya orang bodoh yang mengatakan batu permata dibilang batu koral. Dan yang paling bodoh batu permata kok dihargakan batu kerikil. Mereka para cucunya Rasulullah Saw. datang ke negeri ini merupakan karunia Tuhan yang terbesar. Dan hanya orang-orang yang kufur nikmat kalau tidak mau mensyukurinya.”

Kedatangan beliau memberi dukungan kepada al-Habib Nauval bin Salim bin Jindan yang sedang menentang pimpinan MUI waktu itu, yakni KH. Hasan Basri, yang tidak mengakui adanya keturunan Nabi Saw. Peristiwa tersebut merupakan hal yang sulit dilupakan.

Biografi Syeh Salim bin Sumair Al-Hadhromi, pengarang kitab Safinatun Najah

March 31, 2014 Add Comment
Biografi Syeh Salim bin Sumair Al-Hadhromi, pengarang kitab Safinatun Najah



Nama dan Kelahiran

Al-Allamah Asy-Syaikh Salim bin Abdulloh bin Sa’ad bin Abdulloh bin Sumair Al-Hadhromi Asy-Syafi’I, dikenal sebagai seorang ulama’ ahli fiqih (al-faqih), pengajar (al-mu’allim), hakim agama (al-qodhi), ahli politik (as-siyasi) dan juga ahli dalam urusan kemiliteran (al-khobir bisy-syu’unil ‘askariyah). Beliau dilahirkan didesa “Dzi Ashbuh” salah satu desa dikawasan Hadhromaut, Yaman. 

Perkembangan dan pendidikan

Syekh Salim me¬mulai pendidikannya dalam bidang agama dengan belajar Al-Qur'an di bawah peng¬awasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh Al-Allamah Abdullah bin Sa'ad bin Sumair, hingga beliau mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Lalu beliau ikut mengajarkan Al-qur’an sehingga beliau mendapat gelar “Al-Mu’allim”. Al Mu’allim adalah sebutan yang biasa diberikan oleh orang – orang Hadhromaut kepada seorang pengajar Al-Qur’an. Mungkin saja sebutan tersebut diilhami dari Hadits Nabi;

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik baik orang diantara kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya” (Shohih Bukhori, no.5027)

Beliau juga belajar ilmu – ilmu agama lainnya pada ayahnya dan pada ulama’ – ulama’ hadhromaut yang jumlahnya sangat banyak pada masa itu, yaitu pada abad ke – 13 Hijriyah. 

Berdakwah dan Mengajar

Setelah belajar kepada beberapa ulama’ dan telah menguasai berbagai ilmu agama beliau mengabdikan dirinya untuk mengajarkan ilmunya, mulailah berdatangan para pernuntut ilmu untuk menimba ilmu pada beliau, diantara murid beliau yang masyhur adalah Al-Habib Abdulloh bin Thoha Al-hadar Al-Haddad dan Syekh Al-Faqih Ali bin Umar Baghuzah. Semenjak itu nama beliau menjadi masyhur dan dipuji dimana mana, setingkat dengan guru beliau, Asy-Syaikh Al-Allamah Abdulloh bin Ahmad Basudan.

Keahlian dibidang politik dan kemiliteran

Selain penguasaan yang mendalam akan ilmu – ilmu agama, Syekh Salim juga dikenal sebagai seorang ulama’ yang ahli dalam urusan politik dan tim ahli dalam masalah perlengkapan peperangan. Dikisahkan, pada suatu ketika Syekh Salim diminta agar membeli per¬alatan perang tercanggih pada saat itu, maka beliau berangkat ke Singapura dan mengirimnya ke Hadhromaut. Beliau juga merupakan salah seorang yang berjasa dalam mendamaikan Yafi’ dan Kerajaan Katsiriyah. 

Kemudian beliau diangkat men¬jadi penasehat khusus Sultan Abdullah bin Muhsin. Sultan tersebut pada awalnya sangat patuh dan tunduk dengan segala saran, arahan dan nasehat beliau. Namun lama kelamaan sang sultan tidak lagi mau menuruti saran dan nasehat beliau dan bahkan meremehkan saran – saran beliau. Akhirnya beliau memutuskan untuk hijrah menuju India, lalu beliau hijrah ke negara pulau jawa.

Kehidupan di Batavia

Setelah menetap di Batavia (Kini menjadi Jakarta) sebagai seorang ulama terpandang yang segala tindakan¬nya menjadi perhatian para pengikutnya, maka perpindahan Syekh Salim ke pulau Jawa tersebar secara luas dengan cepat, mereka datang berduyun-duyun kepada Syekh Salim untuk menimba ilmu atau meminta do'a darinya. Melihat hal itu maka Syekh Salim mendirikan berbagai majlis ilmu dan majlis dakwah, hampir dalam setiap hari beliau menghadiri majlis¬majlis tersebut, sehingga akhirnya semakin menguatkan posisi beliau di Batavia, pada masa itu. Syekh Salim bin Sumair dikenal sangat tegas di dalam mempertahankan kebenaran, apa pun resiko yang harus diha-dapinya. Beliau juga tidak menyukai jika para ulama mende¬kat, bergaul, apalagi menjadi budak para pejabat. Seringkali beliau memberi nasihat dan kritikan tajam kepada para ulama dan para kiai yang gemar mondar-mandir kepada para pejabat pemerintah Belanda. 

Martin van Bruinessen dalam tulisan¬nya tentang kitab kuning (tidak semua tulisannya kita sepakati) juga sempat memberikan komentar yang menarik terhadap tokoh kita ini. Dalam beberapa alenia dia menceritakan per¬bedaan pandangan dan pendirian yang terjadi antara dua orang ulama besar, yaitu Sayyid Usman bin Yahya dan Syekh Salim bin Sumair yang telah menjadi perdebatan di kalangan umum. Pada saat itu, tampaknya Syekh Salim kurang setuju dengan pendirian Sayyid Usman bin Yahya yang loyal kepada pemerintah kolonial Belanda. Sayyid Usman bin Yah_ya sendiri pada waktu itu, sebagai Mufti Batavia yang diangkat dan disetujui oleh kolonial Belanda, sedang berusaha menjern¬batani jurang pemisah antara `Alawiyyin (Habaib) dengan pemerintah Belanda, sehingga beliau merasa perlu untuk mengambil hati para pejabatnya. 

Oleh karena itu, beliau mem¬berikan fatwa-fatwa hukum yang seakan-akan mendukung program dan rencana mereka. Hal itulah yang kemudian menyebabkan Syekh Salim terlibat dalam polemik panjang dengan Sayyid Usman yang beliau anggap tidak konsisten di dalam mempertahankan kebenaran. Entah bagaimana penye¬lesaian yang terjadi pada waktu itu, yang jelas cerita tersebut cukup kuat untuk menggambarkan kepada kita tentang sikap dan pendirian Syekh Salim bin Sumair yang sangat anti de¬ngan pemerintahan yang dholim, apalagi para penjajah dari kaum kuffar. 

Pengamalan ibadah

Walaupun Syekh Salim seorang yang sangat sibuk dalam berbagai kegiatan dan jabatan, namun beliau adalah seorang yang sangat banyak berdzikir kepada Allah SWT dan juga dikenal sebagai orang yang ahli membaca Al Qur'an. Syekh Ahmad Al-Hadhromi Al-Makiy menceritakan bahwa Syekh Salim mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an ketika melakukan thowaf di Baitulloh.

Karya – karya tulis 

Beliau telah meninggalkan beberapa karya ilmiah di antaranya Kitab "Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii Maulah" (perahu keselamatan di dalam mempelajari kewajiban seorang hamba kepada Tu¬hannya), yang banyak diajarkan di madrasah diniyah dan pondok pesantren di Indonesia. Selain itu beliau juga menulis kitab Al-Fawaid AI-Jaliyyah Fiz-Zajri ‘An Ta’athil Hiyal Ar-Ribawiyah (faedah –faedah yang jelas mengenai pencegahan melakukan hilah – hilah ribawi), satu kitab yang ditulis untuk mengecam rekayasa (hilah) untuk memuluskan praktek riba.

Berpulang ke Rahmatulloh

Syaikh Salim meninggal di Batavia pada tahun 1271 Hijriyah

Ulama-ulama Indonesia Di Haromain

March 31, 2014 Add Comment
Ulama-ulama Indonesia Di Haromain


Embrio NU di Indonesia
Banyak diantara kita yang kepaten obor, kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda. Hal itupun tidak bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlitul Ulama itu. Karena pengertian-pengertian mulai dari sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan NU, bagaimana asal usul atau awal mulanya Mbah Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlus sunah wal jamaah harus diberi wadah di Indonesia ini.
Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunah bukan semata-mata KH Hasyim Asy’ari ingin berinovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlus Sunah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlu Sunah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H. Pada kurun itu ulama Indonesia sangat mewarnai, dan perannya dalam menyemarakan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram tidak kecil. Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat terkenal, tidak satupun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ilmi Syari’ah, fi thoriqoh wa fi ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf. Dintaranya dari Sambas, Ahmad bin Abdu Somad Sambas. Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kyai Tholhah Gunung jati Cirebon. Kiai Tholhah ini adalah kakek dari Kiai Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiai Syarifudin bin Kiai Zaenal Abidin Bin Kiai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur panjang, usianya seratus tahun lebih. Adik seperguruan beliau diantaranya Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiai kholil lahir pada tahun 1227 H. Dan diantaranya murid-murid Syeh Ahmad sambas yaitu Syekh Abdul Qodir Al Bantan, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber Kiai Asnawi Banten. Ulama lain yang sangat terkenal sebagai ulama ternama di Masjidil Harom adalah Kiai Nawawi al Bantani. Beliau lahir pada tahun 1230 H dan meninggal pada tahun 1310 H, bertepatan dengan meninggalnya mufti besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah di Masjidil Harom adalah Sayid Ahmad An Nahrowi Al Banyumasi, beliau diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125. Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Sayidi Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi. Syekh Abdul Qadir Al Bantani murid lain Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas, yang mempunyai murid Kiai Abdul Latif Cibeber dan Kiai Asnawi Banten. Adapun ulama- alama yang lain yang ilmunya luar biasa adalah Sayidi Syekh Ubaidillah Surabaya, beliau melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiai Ubaidah Giren Tegal, terkenal sebagai Imam Asy’ari-nya Indonesia. Dan melahirkan seorang ulama, auliya besar, Sayidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayidi Syekh Muhamad Abdul Malik. Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim di Haromain yang mengajak adalah Kiai Ubaidah tersebut, di Jabal Abil Gubai, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantaranya murid muridnya lagi di Mekah Sayidi Syekh Abdullah Tegal. Lalu Sayidi Syekh Abdullah Wahab Rohan Medan, Sayid Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi syekh Muhmmad Ilyas Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdu Somad al Bimawi, dan Sayidi Syekh Abdullah dan Sayidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas sebelum Kiai Mahfudz dan sebelum Kiai Dimyati. Dijaman Sayidi Syekh Ahmad Khatib Sambas ataupun Sayidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen. Inilah ulama-ulama indonesia diantara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin jogja, Kyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh pada waktu itu yang di Haromain. Seharusnya kita bangga dari warga keturunan banagsa kita cukup mewarnai di Haromain, beliau-beliau memegang peranan yang luar biasa. Salah satunya guru saya sendiri Sayyidi Syekh Abdul Malik yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar di Masjidil Haram khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun. Beliau adalah muridnya Syekh Mahfudz Al Turmidzi. Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU, kalau dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya saja, jadi kita harus tahu dari mana saja ajaran Ahli Sunah Wal Jamaah yang diambil oleh Syekh Hasyim Asy’ari. Bukan sembarang orang tapi yang benar-benar orang-orang tabahur ilmunya, dan mempunyai maqomah, kedudukan yang luar biasa. Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlu Sunah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husen berkuasa di Hijaz), khsusunya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah. Kemudian hal itu di pikirkan oleh kiai Hasyim Asy’ari disamping mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali. Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi nara sumber-sumbernya, beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah. Akhirnya di istiharohi oleh para ulama-ulama Haromain, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini mengiakan jalan terus kalau tidak, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah kholil Bangkalan. Oleh sebab itu tidak heran jika Mukatamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M. Untuk menghormati Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Tidak heran karena sudah dari sananya, kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang soleh, Kiai Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiai Irfan, Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi. Kiai Irfan bertanya pada saya “kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi; “ini cucunya Habib Hasyim Yai”. Akhirnya saya di beri wasiat, katanya; ‘mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kiai Yasin, Kiai Sanusi ikut serta pada waktu itu. Disitu diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan, lalu bersama Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, ‘Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlu Sunah Wal Jamaah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis’. Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemudian Mbah Kyai kholi bilang sama Kyai Hasyim Asyari laksanakan apa niatmu saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.’ Kata Kiai Hasyim Asy’ari ini bagaimana kyai, kok tidak mau ditulis semua. Terus mbah Kiai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Itu tawadluknya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur. Inilah sedikit perjalanan Nahdlotul Ulama. Inilah perjuangan pendiri Nahdlotul ulama. Para pendirinya merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal yang demikian itu tolong ditulis, biar anak-anak kita itu tidak terpengaruh oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu? Apa sih Ahlu Sunah itu? La ini permasalahan kita. Upaya pengenalan itu yang paling mudah dilakukan dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya foto Hadrotu Syekh Kiai Hasyim Asy’ari. (Disampaikan pada Harlah NU di Kota Pekalongan.

Fatwa Ulama Besar Tentang Hukum Memperingati Maulid NABI MUHAMMAD SAW

January 05, 2014 Add Comment
Fatwa Ulama Besar Tentang Hukum Memperingati Maulid NABI MUHAMMAD SAW



Imam jalaluddin As-suyuty ra menjelaskan dalam risalahnya yang berjudul "Husnul-Maqosid fi A'malil-Maulid : "orang pertama
yang menyelenggarakan peringatan maulid Nabi SAW ialah Sultan Al-Mudzaffar, penguasa arbil (suatu tempat di Iraq sebelah timur / selatan kota mausil).



peringatan tersebut dihadiri oleh
para ulama terkemuka dan orang-orang sholeh dari kaum sufi. tiap tahun Al-Mudzaffar mengeluarkan biaya sebesar 300.000 dinar untuk peringatan maulid, dengan niat semata-mata untuk taqorrub kepada Alloh SWT Menurut kenyataan, tak seorang pun dari
ulama dan orang-orang saleh yang hadir dalam peringatan itu mengingkari kebajikan dan
fadilah peringatan maulid, bahkan semua merestui dan memuji prakarsa Sultan Mudzaffar, atas permintaan Sultan Mudzaffar,
Ibnu Dahyah menulis sebuah kitab khusus mengenai maulid Nabi SAW dengan judul: "At-Tanwir fi Maulid Al-Basyir An-Nazdir". kitab itu ditulis pada tahun 604 H. dan ternyata diakui kebaikannya oleh para ulama pada masa itu.



ﺍﻗﻮﺍﻝ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﺣﺘﻔﺎﻝ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻮﻱﺍﻟﺸﺮﻳﻒ



١. ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ " ﻓﺘﻌﻈﻴﻢ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪﻭﺍﺗﺨﺎﺫﻩ ﻣﻮﺳﻤﺎ ﻗﺪ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﻓﻴﻪ
ﺍﺟﺮ ﻋﻈﻴﻢ ﻟﺤﺴﻦ ﻗﺼﺪﻩ ﻭﺗﻌﻈﻴﻤﻪ ﻟﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﺍﻟﺤﻠﺒﻴﺔ ﻟﻌﻠﻲ ﺑﻦ ﺑﺮﻫﺎﻥ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺤﻠﺒﻲ ١/٨٣- ٨٤،ﻭﺫﻛﺮﻩ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻗﺘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁﺍﻟﻤﺴﺘﻘﻴﻢ.



berkata ibn taimiyah rahimahullah: "mengagungkan maulid dan menjadikanya
acara musiman sbgaimana yg dilakukan oleh sbgian orang mk didalamya akan mendapatkan
pahala yg besar krn mempunyai tujuan yg baik dlm rangka membesarkan dan memulyakan
nabi muhammad saw" silahkan rujuk kitab siroh alhalabiyah juz 1 hal 83-84,juga disebut dlm kitab ibn taimiyah "iqtidho' as shirotul mustaqim".



٢ .ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻬﻴﺜﻤﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞﺍﻥ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﺍﻟﺤﺴﻨﺔ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻲ ﻧﺪﺑﻬﺎ،ﻭﻋﻤﻞ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪ
ﻭﺍﺟﺘﻤﺎﻉ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻟﻪ ﻛﺬﻟﻚ،ﺍﻱ ﺑﺪﻋﺔ ﺣﺴﻨﺔ.
2.ibn hajar alhaitsami rahimahullah: "alhasil bahwa bid'ah hasanah adalah sebuah
kesepakatan yg muttafak untuk
kebolehanya,mengamalkan maulid dan kumpulnya org didalamnya termasuk daripada
hal yg dibolehkan dan termasuk bid'ah yg hasanah"



٣. ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻮ ﺷﺎﻣﺔ ﺷﻴﺦ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻟﻨﻮﺍﻭﻱ ﺭﺣﻤﻬﺎ ﺍﻟﻠﻪﺗﻌﺎﻟﻲ :" ﻭﻣﻦ ﺍﺣﺴﻦ ﻣﺎﺍﺑﺘﺪﻉ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻧﻨﺎ ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻛﻞ ﻋﺎﻡ ﻓﻲﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﻤﻮﺍﻓﻖ ﻟﻴﻮﻡ ﻣﻮﻟﺪﻩ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ ﻭﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻇﻬﺎﺭ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﻭﺍﻟﺴﺮﻭﺭ،ﻓﺈﻥ ﺫﻟﻚﻣﻊ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻻﺣﺴﺎﻥ ﻟﻠﻔﻘﺮﺍﺀ ﻣﺸﻌﺮﺑﻤﺤﺒﺘﻪ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺗﻌﻈﻴﻤﻪ ﻓﻲ ﻗﻠﺐ ﻓﺎﻋﻞ ﺫﻟﻚ ﻭﺷﻜﺮﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻲ ﻣﺎ ﻣﻦ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻳﺠﺎﺩ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﺍﺭﺳﻠﻪ ﺭﺣﻤﺔ ﻟﻠﻌﺎﻟﻤﻴﻦ "



3.syaikh abu saamah(guru dari imam nawawi )rahimaallah:
"sesungguhnya sebaik baik bid'ah hasanah yg dilakukan dizaman ini adalah mengadakan acara maulid dihari peristiwa bertepatan dgn
kelahiran nabi saw,yg didalamya ada amalan sodaqoh kpd alfuqoro',amal baik,menampilkan
suasana gembira diiringi dgn mensyiarkan kecintaan dan memulyakan kpd nabi saw kpd
pelakunya sbgai bentuk rasa syukur kpd ALLAH atas pemberiaNYA kpd ummat ini yaitu
wujudnya nabi muhammad saw sbgai rahmat bg alam semesta



٤ .ﺍﻟﺴﺨﺎﻭﻱ : ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﻥ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ،ﻭﺍﻧﻤﺎﺣﺪﺙ ﺑﻌﺪ،ﺛﻢ ﻻ ﻳﺰﺍﻝ ﺍﻫﻞ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﻣﻦ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻻﻗﻄﺎﺭ
ﻭﺍﻟﻤﺪﻥ ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪ ﻭﻳﺘﺼﺪﻗﻮﻥ ﻓﻲ ﻟﻴﺎﻟﻴﻪ ﺑﺄﻧﻮﺍﻉﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ ﻭﻳﻌﺘﻨﻮﻥ ﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﻣﻮﻟﺪﻩ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ،ﻭﻳﻈﻬﺮﻋﻠﻴﻬﻢ ﻣﻦ ﺑﺮﻛﺎﺗﻪ ﻛﻞ ﻓﻀﻞ ﻋﻤﻴﻢ.
( ﺳﻴﺮﺓ ﺍﻟﺤﻠﺒﻴﺔ١/ ٨٣ -٨٤ )



4.assakhowy:tidak dilakukan oleh para salaf dlm abad ke 3,adapun pengamalanya adalah
sesudahnya,senantiasa ahlul islam disetiap penjuru dunia melaksanakan peringatan acara
maulid nabi saw,diiringi dgn amalan shodaqoh,serta membaca daripada siroh kehidupan nabi saw,yg senantiasa akan tampak
keberkahan bg mrka dgn rahmat dari ALLAH yg merata bg mrka.
(siroh alhalabiyah juz 1/83-84)



٥.ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺟﻮﺯﻱ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ":ﻣﻦ ﺧﻮﺍﺻﻪ ﺍﻧﻪﺍﻣﺎﻥ ﻓﻰ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻌﺎﻡ،ﻭﺑﺸﺮﻱ ﻋﺎﺟﻠﺔ ﺑﻨﻴﻞ ﺍﻟﺒﻐﻴﺔﻭﺍﻟﻤﺮﺍ(" ﺍﻟﺴﻴﺮﺓ ﻟﻠﺤﻠﺒﻴﺔ ١ / ٨٣- ٨٤ ).



5.berkata ibn jauzi ra:"barang siapa yg mengkhususkan bulan kelahiran nabi saw dgn
merayakan maulid,mk dia akan mendapatkan rasa aman di thn itu,dan akan mendapatkan
kegembiraan yg segera serta tercapai keinginan dan tujuan.(siroh al halabiyah juz 1/83-84).



٦. ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ " ﻫﻮ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﻟﺤﺴﻨﺔﺍﻟﺘﻲ ﻳﺜﺎﺏ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ،ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺗﻌﻈﻴﻢ ﻗﺪﺭ
ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺍﻇﻬﺎﺭﺍﻟﻔﺮﺡ ﻭﺍﻻﺳﺘﺒﺸﺎﺭ
ﺑﻤﻮﻟﺪﻩ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ. ( ﺍﻟﺤﺎﻭﻱ ﻟﻠﻔﺘﺎﻭﻯ ١/ ٢٩٢ )
6.berkata assuyuti ra:"adapun maulid adalah bid'ah yg baik yg akan diberi pahala bg
pelakunya,krn didalam acara maulid ada bentuk memulyakan kedudukan nabi saw,dgn perasaan
gembira dan senang atas kelahiran nabi saw.(al hawi lilfatawa 1/292).



ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻳﻀﺎ "ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻟﻨﺎ ﺍﻇﻬﺎﺭ ﺍﻟﺸﻜﺮ ﺑﻤﻮﻟﺪﻩ ﺻﻠﻰﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﻭﺍﻃﻌﺎﻡ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚﻣﻦ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﻘﺮﺑﺎﺕ ﻭﺍﻇﻬﺎﺭ ﺍﻟﻤﺴﺮﺍ
ﺍﻟﺤﺎﻭﻱ ﻟﻠﻔﺘﺎﻭﻯ
١ /١٩٦ 



beliua assuyuti ra berkata pula bahwa "sangat dianjurkan untuk menampakkan rasa syukur kita atas kelahiran nabi saw,dgn berkumpul dlm sebuah majlis,memberi makanan,atau semacam
itu dlm bentuk amalan yg mendekatkan diri kpd ALLAH serta menampakkan rasa gembira atas
kelahiran nabi saw. berkata pula ra:



ﻣﺎ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ ﺍﻭ ﻣﺤﻞ ﺍﻭ ﻣﺴﺠﺪ ﻗﺮﺉ ﻓﻴﻪ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻻ ﺣﻔﺖ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺍﻫﻞ ﺫﻟﻚﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻋﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎﻟﺮﺣﻤﺔ ﻭﺍﻟﺮﺿﻮﺍﻥ )ﺍﻟﻮﺳﺎﺋﻞ
ﻓﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ﻟﻠﺴﻴﻮﻃﻲ )
tidaklah sebuah rumah,tempat,atau masjid yg dibacakan didalamnya maulid nabi
saw,terkecuali tempat itu akan dipenuhi malaikat2 rahmat,dan ALLAH akan memenuhi tempat2 tersebut dgn kucuran rahmat dan
keridloaNYA.



٧ .ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺤﺎﺝ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﻓﻜﺎﻥ ﻳﺠﺐ ﺍﻥﻧﺰﺩﺍﺩ ﻳﻮﻡ ﺍﻻﺛﻨﻴﻦ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻋﺸﺮ ﻓﻲ ﺭﺑﻴﻊ ﺍﻻﻭﻝ ﻣﻦﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻭﺍﻟﺨﻴﺮ ﻭﺍﻟﺸﻜﺮ ﻟﻠﻤﻮﻟﻰ ﻋﻠﻲ ﻣﺎ ﺍﻭﻻﻧﺎ ﻣﻦﻫﺬﻩ ﺍﻟﻨﻌﻢ ﺍﻟﻌﻈﻴﻤﺔ ﻭﺍﻋﻈﻤﻬﺎ ﻣﻴﻼﺩ ﺍﻟﻤﺼﻄﻔﻰ ﺻﻠﻰﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ( ﺍﻟﻤﺪﺧﻞ ١/ ٣٦١ )
7.ibn haj ra berkata: wajib bagi kita untuk menambah amalan ibadah dihari senin pada Tanggal,bulan 12 rabiul awwal dgn amalan
ibadah dan kebaikan sbgai wujud syukur kita kpd ALLAH atas karunia nikmat yg diberika
olehNYA,dan paling besar nikmat tersebut adalah kelahiran nabi muhammad saw.



٨ .ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺣﻤﺪ ﺯﻳﻨﻲ ﺩﺣﻼﻥ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :ﻭﻣﻦ ﺗﻌﻈﻴﻤﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻔﺮﺡ ﺑﻠﻴﻠﺔﻭﻻﺩﺗﻪ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪ (ﺍﻟﺪﺭﺭ ﺍﻟﺴﻨﻴﺔ ١٩٠ )
8.syaikh ahmad zaini dahlan ra:
diantara bentuk mengagungkan untuk nabi saw adalah bentuk kegembiraan dimalam kelahiran
beliau dgn membaca maulid nabi saw.



٩. ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﻌﺮﺍﻗﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ : ﺍﻥ ﺍﺗﺨﺎﺫ ﺍﻟﻮﻟﻴﻤﺔﻭﺍﻃﻌﺎﻡ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻣﺴﺘﺤﺐ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻭﻗﺖ،ﻓﻜﻴﻒ ﺍﺫﺍ
ﺍﻧﻀﻢ ﺍﻟﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻔﺮﺡ ﻭﺍﻟﺴﺮﻭﺭ ﺑﻈﻬﻮ ﺭﻧﻮﺭ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ،ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﻛﻮﻧﻪ ﺑﺪﻋﺔ
ﻣﻦ ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻜﺮﻭﻫﺎ،ﻓﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﺪﻋﺔ ﻣﺴﺘﺤﺒﺔ ﺑﻞ ﻗﺪﺗﻜﻮﻥ ﻭﺍﺟﺒﺔ. 
( ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻮﺍﻫﺐ ﺍﻟﻠﺪﻧﻴﺔ ﻟﻠﺰﺭﻗﺎﻧﻲ )
9.alhafidz al iraqy ra:bahwa mengadakan jamuan makanan dlm sebuah acara adalah
perbuatan yg dianjurkan,mk bagaimana rasa gembira dan senang tersebut terkumpul disaat
lahirnya nur nabi saw dibulan ini (rabiul awal),dan bukan sebuah hal yg dikatakan sebuah bid'ah yg tercela,berapa banyak hal yg
bid'ah mustahab(dianjurkan) menjadi sebuah bid'ah yg wajib.



١٠ .ﻭﻗﺎﻝ ﺷﻴﺦ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻌﺴﻘﻼﻧﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪﺗﻌﺎﻟﻰ :ﺍﺻﻞ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪ ﺑﺪﻋﺔ ﻟﻢ ﺗﻨﻘﻞ ﻋﻦ ﺍﺣﺪ ﻣﻦ
ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﻭﻥﺍﻟﺜﻼﺛﺔ،ﻭﻟﻜﻨﻬﺎ ﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻗﺪﺍﺷﺘﻤﻠﺖ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﺎﺳﻦ ﻭﺿﺪﻫﺎ ﻓﻤﻦ ﺗﺤﺮﻯ ﻓﻲ ﻋﻤﻠﻬﺎ
ﺍﻟﻤﺤﺎﺳﻦ ﻭﺟﻨﺐ ﺿﺪﻫﺎ ﻛﺎﻥ ﺑﺪﻋﺔ ﺣﺴﻨﺔ،ﻭﺍﻻ ﻓﻼ،ﻭﻗﺪﻇﻬﺮﻟﻲ ﺗﺨﺮﻳﺠﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﺻﻞ ﺛﺎﺑﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ ﻣﻦ
ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﻮﺟﺪﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻳﺼﻮﻣﻮﻥ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ،ﻓﺴﺄﻟﻬﻢ ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ : ﻫﻮ ﻳﻮﻡ
ﺍﻏﺮﻕ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻪ ﻓﺮﻋﻮﻥ ﻭﻧﺠﻰ ﻣﻮﺳﻰ ﻓﻨﺤﻦ ﻧﺼﻮﻣﻪﺷﻜﺮﺍ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ،ﻓﻴﺴﺘﻔﺎﺩ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﺸﻜﺮ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺎ ﻣﻦﺑﻪ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﻣﻌﻴﻦ ﻣﻦ ﺍﺳﺪﺍﺀ ﻧﻌﻤﺔ ﺍﻭ ﺩﻓﻊ
ﻧﻘﻤﺔ،ﻭﻳﻌﺎﺩ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﻧﻈﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻣﻦ ﻛﻞﺳﻨﺔ،ﻭﺍﻟﺸﻜﺮ ﻟﻠﻪ ﻳﺤﺼﻞ ﺑﺄﻧﻮﺍﻉ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻛﺎﻟﺴﺠﻮﺩﻭﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻭﺍﻟﺘﻼﻭﺓ،ﻭﺍﻱ ﻧﻌﻤﺔ ﺍﻋﻈﻢ ﻣﻦﺍﻟﻨﻌﻤﺔ ﺑﺒﺮﻭﺯ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻧﺒﻲ ﺍﻟﺮﺣﻤﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ
ﺍﻟﻴﻮﻡ،ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﺍﻥ ﻳﻘﺘﺼﺮ ﻓﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻳﻔﻬﻢ ﺍﻟﺸﻜﺮ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻼﻭﺓ ﻭﺍﻻﻃﻌﺎﻡ ﻭﺍﻧﺸﺎﺩﺷﻴﺊ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺪﺍﺋﺢ ﺍﻟﻨﺒﻮﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺮﻛﺔ ﻟﻠﻘﻠﻮﺏ ﺍﻟﻰ ﻓﻌﻞ
ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﻟﻼﺧﺮﺓ،ﻭﺍﻣﺎ ﻣﺎ ﻳﺘﺒﻊ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎﻉﻭﺍﻟﻠﻬﻮ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﺍﻥ ﻳﻘﺎﻝ :ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺫﻟﻚﻣﺒﺎﺣﺎ ﺑﺤﻴﺚ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺴﺮﻭﺭ ﺑﺬﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻻ ﺑﺄﺱ
ﺑﺈﻟﺤﺎﻕ ﺑﻪ،ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺣﺮﺍﻣﺎ ﺍﻭ ﻣﻜﺮﻭﻫﺎ ﻓﻴﻤﻨﻊ ﻭﻛﺬﺍ ﻣﺎﻛﺎﻥ ﺧﻼﻑ ﺍﻻﻭﻟﻰ (ﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ١/ ١٩٦ ).
10.ibn hajar al astqolani ra berkata:asal amal maulid adalah bid'ah krn tidak dilakukan oleh
para salafusholeh sampai abad ke tiga,akan tetapi didalam peringatan maulid terdapat
kandungan kebaikan2,mk hal tersebut dpt dikatagorikan sbg bid'ah hasanah.apalagi dpt
dikatagorikan rasa bersyukur atas nikmat sbgaimana apa yg diterangkan dlm hadist ttg
puasa asyuro,dimana ktka nabi saw dtg dikota madinah mendapati org yahudi yg sedang
berpuasa pada 10 asyuro,mk nabi saw bertanya kpd mrka ttg hal itu,mrka menjawab:kami berpuasa sbgai rasa syukur kami kpd ALLAH atas selamatnya musa dari kejaran firaun dan tenggelamnya firaun. mk bisa diambil satu faedah dari hal tersebut yaitu ungkapan "syukur" kpd ALLAH berkaitan dgn waktu tertentu atas datangnya nikmat dan ditahanya musibah,dan dilakukan berulang-
ulang setiap tahun,ungkapan syukur dpt diwujudkan dgn amalan ibadah,sujud,berpuasa,berdzikir.mk adakah nikmat yg lbh besar dibanding nikmat lahirnya
nabi muhammad saw bg ummatnya?seorang nabi pembawa rahmat bagi ummatnya,mk dianjurkan untuk mengungkapkan rasa syukur
dgn ibadah,sprti memberi makan kpd orang,membaca sholawat,atau pujian untuk nabi saw yg dapat mengerakkan hati untuk
beramal kpd kebaikan untuk tujuan akherat,adapun jk melakukanya dgn mendengarkan
lantunan dan bercampur dgn kelalaian mk itu masih dlm katagori hal yg mubah,krn masih
diliputi suasana gembira dgn kelahiran nabi saw,dan apabila sudah masuk dlm katagori
melakukan perbuatan yg haram mk hal tersebut adalah terlarang,mk menghindarinya adalah lbh
utama.



١١ .ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ ﻓﻲ ﺷﺮﺣﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﺑﻦﺣﺠﺮ : ﺍﻋﻠﻢ ﺍﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﻟﻤﺤﻤﻮﺩﺓ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪﺍﻟﺸﺮﻳﻒ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻭﻟﺪ ﻓﻴﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ :ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻳﻀﺎ : ﻓﺎﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﻟﺴﻤﺎﻉ ﻗﺼﺔ ﺻﺎﺣﺐﺍﻟﻤﻌﺠﺰﺍﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻓﻀﻞ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﻭﺍﻛﻤﻞ ﺍﻟﺘﺤﻴﺎﺕ ﻣﻦ
ﺍﻋﻈﻢ ﺍﻟﻘﺮﺑﺎﺕ ﻟﻤﺎ ﻳﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺠﺰﺍﺕ ﻭﻛﺜﺮﺓﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ
11.ibn abidin dlm syarah atas karangan maulid ibn hajar ra berkata:ketahuilah bahwa termasuk dlm hal bid'ah yg terpuji adalah mengamalkan maulid pada bulan kelahiran nabi saw,adapun
berkumpul untuk mendengarkan siroh nabi saw adalah amalan yg mendekatkan diri kpd ALLAH
krn didalamnya terkandung banyak daripada sholawat kpd nabi saw.



١٢. ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺣﺴﻨﻴﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﺨﻠﻮﻑ ﺷﻴﺦ ﺍﻻﺯﻫﺮﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﺍﻥ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪﺍﻟﺸﺮﻳﻒ،ﻭﻟﻴﺎﻟﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﺍﺷﺮﻕ ﻓﻴﻪﺍﻟﻨﻮﺭ ﺍﻟﻤﺤﻤﺪﻱ ﺍﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﺬﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺷﻜﺮﻩ ﻟﻤﺎ
ﺍﻧﻌﻢ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻻﻣﺔ ﻣﻦ ﻇﻬﻮﺭ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﺍﻟﻰﻋﺎﻟﻢ ﺍﻟﻮﺟﻮﺩ،ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﺍﻻ ﻓﻲ ﺍﺩﺏ ﻭﺧﺸﻮﻉﻭﺑﻌﺪ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﻭﺍﻟﺒﺪﻉ ﻭﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ،ﻭﻣﻦ ﻣﻈﺎﻫﺮﺍﻟﺸﻜﺮ ﻋﻠﻰ ﺣﺒﻪ ﻣﻮﺍﺳﺎﺓ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺟﻴﻦ ﺑﻤﺎ ﻳﺨﻔﻒﺿﺎﺋﻘﺘﻬﻢ ﻭﺻﻠﺔ ﺍﻻﺭﺣﺎﻡ،ﻭﺍﻻﺣﻴﺎﺀ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﻄﺮﻳﻘﺔ ﻭﺍﻥ
ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﺄﺛﻮﺭﺍ ﻓﻲ ﻋﻬﺪﻩ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻻﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﺍﻻ ﺍﻧﻪ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻭﺳﻨﺔﺣﺴﻨﺔ ( ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺷﺮﻋﻴﺔ ١/ ١٣١ )
12.syaikh al azhar hasanain muhammad makhluf ra: sesungguhnya menghidupkan
malam maulid nabi saw atau malam2 bulan rabiul awal yg didlmnya telah terbit cahaya
muhammad saw dgn dzikrullah dgn ungkapan perasan gembira dan syukur atas kelahiran
makhluq termulnya di alam semesta ini,hendaklah dilakukan dgn adab dan khusu' serta menjauhi hal2 yg diharamkan atau
mungkarat.diantara ungkapan rasa syukur bisa dgn membahagiakan org yg susah yg dapat meringankan beban mrka serta mempererat tali silaturahmi. adapun menghidupkan malam2
maulid dgn cara demikian,walaupun tidak adanya riwayat yg datang di masa nabi saw atau masa para salafusholeh mk hal yg
demikian adalah diperbolehkan dan termasuk dlm amalan mengajak kpd kebaikan(fatawa
syar'iyah juz 1/131)



١٣ .ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﺘﻮﻟﻲ ﺍﻟﺸﻌﺮﺍﻭﻱ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪﺗﻌﺎﻟﻰ : ﻭﺍﻛﺮﺍﻣﺎ ﻟﻬﺬﺍﺍﻟﻤﻮﻟﺪ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ،ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺤﻖ ﻟﻨﺎ ﺍﻥ
ﻧﻈﻬﺮ ﻣﻌﺎﻟﻢ ﺍﻟﻔﺮﺡ ﻭﺍﻻﺑﺘﻬﺎﺝ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﺬﻛﺮﻱ ﺍﻟﺤﺒﻴﺒﺔﻟﻘﻠﻮﺑﻨﺎ ﻛﻞ ﻋﺎﻡ،ﻭﺫﻟﻚ ﺑﺎﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﻬﺎ ﻣﻦ ﻭﻗﺘﻬﺎ .... ( ﻋﻠﻰ
ﻣﺎﺋﺪﺓ ﺍﻟﻔﻜﺮ ﺍﻻﺳﻼﻣﻲ ﺹ ٢٩٥ )
13.syaikh muhammad al mutawalli assa'rowi ra: sebagai bentuk memuliakan maulid nabi
saw,seharusnya kita menunjukkan rasa kegembiraan yg sangat dgn menyebut serta mengingat nabi saw dlm hati kita setiap tahun, ialah dgn menghidupkan peringatan maulid pd waktunya.(ala maidah alfikri al islami hal 295)



١٤. ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺒﺸﺮ ﺍﻟﻄﺮﺍﺯﻱ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :ﺍﻥﺍﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﺬﻛﺮﻯ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻮﻱ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ ﻭﺍﺟﺒﺎ ﺍﺳﺎﺳﻴﺎﻟﻤﻮﺍﺟﻬﺔ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﺠﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺣﺘﻔﺎﻻﺕ ﺍﻟﻀﺎﺭﺓ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ
ﺍﻻﻳﺎﻡ
14.mubsyir atthorozi ra (seorang syaikh islam yg telah dahulu dari turkistan): sesungguhnya
peringatan maulid nabi saw menjadi hal yg seharusnya diadakan sbgai bentuk dlm
menghadapi dan menandingi berbagai peringatan2 yg membahayakan dlm agama
dimasa2 ini.



15.Syaikh DhiyaUddin Ahmad bin Sa`id ad-Darini dalam kitabnya " Thaharatul Qulub wal Khudu' li Allamil Ghuyub " menulis antara lain:-Mengingat atau memuji-muji Junjungan Nabi s.a.w. akan menambahkan keimanan,
menerangi hati dan menyingkap rahasia kebijaksanaan Tuhan. Allah s.w.t. telah menetapkan cinta kepada Junjungan Nabi
s.a.w. sebagai syarat untuk mencintai-Nya dan taat kepada-Nya sebagai ukuran kepatuhan
kepada-Nya. Mengingat Junjungan Nabi s.a.w.
juga berhubungan dengan mengingat Allah s.w.t. sebagaimana bai'ah kepada Junjungan Nabi s.a.w. juga berkait dengan bai'ah kepada-Nya.



16.Sayyidisy-Syaikh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam kitabnya "I`anatuth-Tholibin"
jilid 3 halaman 414 menyatakan antara lain:-Telah berkata Imam al-Hasan al-Bashri qaddasaAllahu sirrah: "Aku berikan jika ada padaku seumpama gunung Uhud emas untuk kunafkahkan atas pembacaan mawlid ar-Rasul."



17.Telah berkata Imam al-Junaidi al-Baghdadi rhm.: "barang siapa yang hadir mawlid ar-Rasul dan membesarkan derajat baginda, maka telah sempurna imannya."



18.Telah berkata Syaikh Ma'ruuf al-Karkhi qds.: "barang siapa yang menyediakan untuk pembacaan mawlid ar-Rasul akan makanan,
menghimpunkan saudara-saudaranya, menyalakan lampu-lampu, berpakaian baru,
berwangi-wangian, berhias-hias, demi membesarkan mawlid Junjungan s.a.w., niscaya dia akan dihimpunkan oleh Allah ta`ala
pada hari kiamat bersama-sama kumpulan pertama daripada para nabi dan jadilah dia berada pada derajat yang tinggi di syurga. Dan
barang siapa yang telah membaca mawlid ar-Rasul s.a.w. di atas dirham-dirham perak atau emas, dan mencampurkannya bersama dirham-dirham lain, maka akan turun keberkahan dan tidaklah akan miskin pemiliknya serta tidak akan kosong tangannya dengan berkah mawlid
ar-Rasul s.a.w."



19.berkata al-Imam al-Yafi`i al-Yamani (sesetengah kitab tersilap cetak di mana huruf "ya" berubah kepada "syin" menyebabkan
perkataan ini dinisbahkan kepada Imam asy-Syafi`i):- "barang siapa yang menghimpunkan
untuk Mawlidin Nabi s.a.w. saudara-saudaranya, menyediakan makanan dan tempat serta berbuat ihsan sehingga menjadi sebab untuk pembacaan Mawlidir Rasul s.a.w., dia akan dibangkitkan Allah pada hari kiamat berserta dengan para shiddiqin, syuhada` dan sholihin serta dimasukkan dia ke dalam
syurga-syurga yang penuh keni'matan."



20.Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya "al-Mawlid asy-Syarif al-Mu`adzdzham", Syaikh
Ibnu Zahira al-Hanafi dalam "al-Jami' al-Lathif fi Fasl Makkah wa ahliha", ad-Diyabakri dalam
"Tarikh al-Khamis" dan Syaikh an-Nahrawali dalam "al-I'lam bi a'lami Bait Allah al-haram",
menulis senario sambutan Mawlid Nabi s.a.w. di Makkah seperti berikut:-Setiap tahun tanggal 12 Rabi`ul Awwal, selepas sembahyang Maghrib, keempat-empat qadhi Makkah (yang mewakili mazhab yang empat)
bersama-sama orang banyak termasuk segala fuqaha, fudhala` (orang kenamaan) Makkah,
syaikh-syaikh, guru-guru zawiyah dan murid-murid mereka, ru`asa' (penguasa-penguasa),muta`ammamin (ulama-ulama) keluar meninggalkan Masjidil Haram untuk pergi bersama-sama menziarahi tempat Junjungan
Nabi s.a.w. dilahirkan. Mereka berarak dengan maelantunkan zikir dan tahlil. Rumah-rumah di
Makkah diterangi cahaya pelita dan lilin. Orang yang turut serta amat banyak dengan berpakaian indah serta membawa anak-anak
mereka. Setiba di tempat kelahiran tersebut, ceramah yang berkaitan Mawlidin Nabi
disampaikan, serta kebesaran, kemuliaan dan mu'jizat Junjungan diceritakan. Setelah itu, doa
untuk Sultan, Amir Makkah dan Qadhi Syafi`i dibacakan dengan penuh khusyu' dan khudu`.
Setelah hampir waktu Isya`, barulah mereka berarak semula pulang ke Masjidil Haram untuk
menunaikan sholat Isya`.



Ringkasannya peringatan maulid Nabi adalah kegiatan yang sangat baik dan bermanfaat, karena itu kesempatan itu wajib digunakan
untuk tujuan-tujuan yang baik. Lalu penyelenggaraan peringatan maulid tidak harus tepat pada tanggal 12 Rabi”ul awal dan tidak
harus tepat pada hari senin, meskipun tanggal dan hari itu lebih afdhol. peringatan maulid
dapat di lakukan kapan saja mengingat syari’at islam sama sekali tidak melarang bahkan
menganjurkan serta memandangnya sebagai kebajikan yang perlu dilestarikan
pengamalannya, karena besarnya manfaat yang dapat diambil dari kegiatan tersebut, baik bagi
kepentingan agama islam maupun bagi kepentingan kaum muslimin.



Wallohu A’lam Bi As-Showab.

Recent Post