KIAI SAHAL DAN REALISME FIKIH

May 25, 2014 Add Comment


Dari perspektif fikih, lokalisasi pelacuran hukumnya boleh. Bagaimana bisa? Dalam Nuansa Fiqh Sosial, KH. Sahal Mahfudz memberi jawaban menarik. Kata Kiai Sahal, prostitusi jelas dilarang agama. Tapi sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi tak akan musnah hanya dengan diharamkan. Dalam kondisi demikian, terdapat dua pilihan yang sama-sama membawa kerusakan (mafsadah): atau membiarkan prostitusi menyebar secara gelap di masyarakat dan tak terkontrol, atau melokalisirnya sehingga bisa dikontrol. Kaidah fikih mengajarkan, bila ada dua pilihan yang sama-sama mengandung mafsadah, yang lebih ringanlah yang mesti dipilih. Atas dasar itulah Kiai Sahal berpendapat lokalisasi pekerja seks komersial bisa dibenarkan.
Pandangan di atas mungkin terasa mengejutkan bagi kalangan Islam yang, atas nama amar ma’ruf nahi munkar, menyatakan perang total terhadap segala bentuk kemunkaran. Prostitusi di mata mereka justru harus diberantas, bukan dilokalisir. Bahwa persoalannya kompleks, mereka tak mau tahu.
Sebenarnya, kalau acuannya kitab-kitab tentang kaidah fikih (qawa’id al fiqh), pendekatan frontal yang hitam putih terhadap kasus fikih justru jarang ditemukan. Yang lazim malah penekanan tentang pentingnya memperhitungkan kompleksitas masalahnya. Ada setidaknya tiga kaidah fikih yang menunjukkan hal itu.
Pertama, kaidah tentang keharusan menghilangkan kerusakan (dharar), baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Namun usaha menghilangkan kerusakan tak boleh dengan cara-cara yang merusak. Tak boleh juga melahirkan kerusakan baru. Dengan kata lain, yang perlu ditimbang bukan hanya isi hukumnya, tapi juga ongkos sosial dan solusi terhadap masalahnya. Dan seperti digambarkan dalam kasus lokalisasi di atas, terhadap sesuatu yang haram pun kita tak bisa langsung membumihanguskannya begitu saja,
Kaidah kedua, keadaan tak terelakkan atau suatu kemestian (dharurah) bisa membolehkan hal yang tadinya terlarang. Kaidah inilah yang dipakai, misalnya, oleh Al-Ghazali sebagai landasan fikih politiknya yang bertumpu pada realisme . Dalam Al Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali menegaskan, dalam situasi ketika tak mungkin lagi ditemukan pemimpin yang sesuai dengan kriteria syariah, maka penguasa yang tak sesuai kriteria syar’i bisa dianggap absah, asalkan mampu menegakkan tatanan sosial. Sebab, bila pemimpin seperti itu tak diakui lantaran tak sesuai syariah, maka umat akan berada dalam situasi yang lebih berbahaya menurut fikih, yakni situasi tanpa pemimpin yang niscaya melahirkan kekacauan sosial dan politik. Dengan kata lain, situasi yang tak terelakkan (dharurah) menyebabkan apa yang tadinya terlarang menjadi boleh.
Sedangkan kaidah ketiga berbunyi: budaya setempat bisa menjadi dasar hukum. Alih-alih memberangus tradisi lokal, hukum Islam justru mengakomodasinya. Kaidah ini meniscayakan adanya keragaman fikih, mengingat budaya lokal umat Islam juga beragam. Artinya, fikih yang cocok berlaku buat orang Islam Indonesia adalah “ fikih Indonesia,” sebagaimana yang cocok buat kaum Muslim Arab adalah “fikih Arab.” Mungkin inilah yang dimaksud Gus Dur sebagai “pribumisasi Islam.”
Tiga kaidah fikih di atas tak pelak mengarah pada kesimpulan berikut: hukum Islam bukanlah sebuah paket baku yang sudah jadi dari atas, yang tinggal diterapkan begitu saja pada situasi manapun dan kapanpun. Karena hukum Islam ternyata sangat mempertimbangkan kenyataan kongkret di mana kaum muslim berada. Hubungan antara keduanya bukanlah hubungan satu arah yang bersifat top-down, melainkan saling mempengaruhi. Kenyataan tak hanya melulu harus disesuaikan dengan suatu putusan syara’, melainkan juga bisa membuat putusan tersebut menyesuaikan diri dengannya. Saya menyebut fenomena ini sebagai “realisme fikih.”
Realisme fikih inilah yang saya kira mencirikan gagasan “fikih sosial” ala Kiai Sahal. Asumsi dasarnya, syariah mesti dilihat sebagai fikih, yang berarti “pemahaman.” Bagi Kiai Sahal, fikih selalu merupakan hasil ijtihad yang tak bersifat kaku dan sakral, melainkan lentur dan kontekstual. Putusan fikih yang pada suatu zaman dan tempat tertentu dianggap valid bisa saja tak lagi relevan di era lain atau di tempat lain. Untuk menggambarkan kelenturan fikih ini, Kiai Sahal mengutip seloroh KH. Wahab Hasbullah: pekih kuwi yen rupek yo diokoh-okoh, fikih itu kalau terasa menyempitkan ya dibuat longgar.
Tapi apa landasan bagi peng-“okoh-okoh”an fikih? Apa tolok ukur yang mendasari kontekstualisasi hukum Islam? Di mata Kiai Sahal, di luar wilayah ibadah murni (ibadah mahdhah), kontekstualisasi fikih harus bersandar pada prinsip kemaslahatan. Dalam dunia sosial-politik, prinsip ini bisa diterjemahkan sebagai terciptanya keadilan sosial.
Dalam konteks mutakhir, keadilan sosial dimaknai dalam kerangka demokrasi, yang bertaut erat dengan prinsip kesetaraan warga negara, apapun agamanya. Kesetaraan demokrasi inilah yang menurut Kiai Sahal merupakan muara bagi fikih politik untuk zaman ini. Konsekuenasinya, diktum-diktum fikih politik (fiqh al-siyasah) klasik yang bertentangan dengan muara fikih tersebut, seperti konsep dzimmi yang menempatkan kalangan nonmuslim sebagai warga negara kelas dua, menjadi tidak relevan lagi. Menarik bahwa alur penalaran fikih pada akhirnya membawa Kiai Sahal pada sikap menyetujui demokrasi sebagai sistem yang dianggap paling efektif merealisasikan kemasalahatan, yang nota bene merupakan tujuan syariah.
Dengan kerangka berpikir seperti itu, wajar kalau kemudian Kiai Sahal menolak ide formalisasi syariah. Dalam pidato iftitahnya di Munas NU 2006, misalnya, ia menggarisbawahi perlunya NU mengusung syariah “tanpa melalui jalan formalistik, lebih–lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, melainkan dengan cara lentur.” Sebab ia meyakini, “syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal.”
Ditinjau dari lensa fikih sosial, gerakan penerapan syariah yang belakangan marak di negeri kita sejatinya mengidap sejumlah masalah akut. Yang paling mencolok adalah diabaikannya prinsip kesetaraan yang menurut Kiai Sahal harusnya menjadi muara bagi syariah. Lihat saja betapa banyak perda syariah yang melanggar hak-hak perempuan dan kaum minoritas.
Ada anggapan, negara syariah mencerminkan Islam kaffah yang sesuai dengan teladan Islam salaf. Padahal upaya menempatkan hukum Islam sebagai hukum tunggal yang baku dan disahkan oleh negara justru tak dikenal pada masa Islam klasik. Positivisasi hukum Islam adalah fenomena modern, yang akarnya baru muncul pada paruh akhir abad 19, akibat dari persentuhan Dunia Islam dengan negara kolonialnya seperti Perancis. Model acuannya pun banyak mengambil dari sistem hukum Eropa. Sebelum itu, selama ratusan tahun korpus syariah praktis dirumuskan dan dikembangkan oleh para ulama fiqh “swasta” yang otonom dari negara dan tanpa pengesahan negara. Di tangan merekalah syariah tampil sebagai fiqh, yakni ranah ijtihad yang fleksibel dan meniscayakan keragaman pendapat. Inilah yang hendak dihidupkan lagi oleh Kiai Sahal melalui fikih sosialnya.
Walhasil, penolakan Kiai Sahal atas formalisasi syariah kiranya sejalan dengan fikih sosialnya. Karena baginya, dengan memahami syariah sebagai fikih dan bukan sebagai hukum positif, kita sejatinya memulihkan kembali karakter hukum Islam yang sesugguhnya, yakni yang lentur, kontekstual, dan berporos pada keadilan sosial. Bagi Kiai Sahal, inilah bentuk sejati penerapan syariah.
Akhmad Sahal, pengurus cabang istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika. Akun twitter: @sahal_AS
*Tulisan ini dimuat di Majalah TEMPO, ediisi 24/2/2014

Recent Post