Rukyatul Hilal Syarat Sah Menentukan Awal Bulan Ramadhan

July 30, 2013 Add Comment
Rukyatul Hilal Syarat Sah Menentukan Awal Bulan Ramadhan

Metodologi penentuan awal bulan qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (ru'yatul hilal bil fi'ly). Sedangkan metode perhintungan astronomi (hisab) dipakai untuk membantu prosesi rukyat.
Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan ru'yatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Adapun dasar hukumnya antara lain:a. Hadist muttafaq alaihi(diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) yang berbunyi:

 حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
"Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354) 

Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanyalah menetapkan "melihat bulan" (rukyatul hilal) sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya ataupun apalagi cara menghitungnya. Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah SAW di atas yang menyuruh menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari apalagi tidak berhasil melihat walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada.

b. Kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian seorang muslim tanpa menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan. Sebagaimana dalam hadits:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
"Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok." (HR Abu Daud 283/6)

c.Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan:

وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
"Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di belahan bumi Barat".

Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah Barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah Timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian Timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di Barat.

d. Dalam kita Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan:

َإِنْ ثَبَتَتْ رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ

"Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya sepertihalnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini" 

e. Dalam kita Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan:

أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ 
"Adapun sebab diwajibkannya puasa ada dua, yang pertama: terlihatnya bulan, dengan syarat ru'yahnya melalui kabar yang sudah tersebar luas."

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya rukyah ini, yaitu diantaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan (ikhtilaf matholi').

f. Bughyatul Mustarsyidin

لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ
Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari.

g. Al-‘Ilm al-Manshur fi Itsbat al-Syuhur

قَالَ سَنَدُ الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ
Para tokoh madzhab Malikiyah berpendapat: “Bila seorang penguasa mengetahui hisab tentang (masuknya) suatu bulan, lalu ia menetapkan bulan tersebut dengan hisab, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma’ ulama salaf bertentangan dengannya.”  (Red: Ulil H.)

KH. HASYIM ASY'ARI DAN KH. AHMAD DAHLAN

July 30, 2013 Add Comment


"Sang Pencerah dan Sang Penakluk Badai"


1. KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, 1868-1923)

Beliaulah Muhammad Darwis bin Abu Bakar bin Muhammad Sulaiman bin Murtadha bin Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Sulaiman (Ki Ageng Gribig) bin Muhammad Fadhlullah (Prapen) bin Maulana â€کAinul Yaqin (Sunan Giri).

Muhammadiyyah lahir 18 November 1912/8 Dzullhijjah 1330, dengan pondasi ayat: "Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maâruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran ayat 104).


2. KH. Hasyim Asyâari (Jombang, 1875-1947)

Beliaulah Muhammad Hasyim bin Asy'ari bin Abu Sarwan bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Abdurrahman (Pangeran Samhud Bagda) bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Maulana 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Nahdlatul Ulama lahir 31 Januari 1926/16 Rajab 1344, dengan pondasi ayat: "Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kau karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kau telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kalian mendapat petunjuk."(QS. Ali Imran ayat 103).


MBAH HASYIM ASY'ARI DAN MBAH AHMAD DAHLAN

Oleh: KH. Yahya Cholil Staquf

Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim bin Asy:ari Basyaiban adalah kyai semesta. Guru dari segala kyai di tanah Jawa. Beliau kyai paripurna. Apapun yang beliau dawuhkan menjadi tongkat penuntun seumur hidup bagi santri-santrinya, bahkan sesudah wafatnya.

Nahdlatul Ulama adalah warisan beliau yang terus dilestarikan hingga para cucu-santri dan para buyut-santri, hingga sekarang. Segerombol jama"ah dalam merek jam'iyyah yang kurang rapi, sebuah ikatan yang ideologinya susah diidentifikasi, identitas yang nyaris tanpa definisi, tapi toh begitu terasa balutannya, bagi mereka yang -entah kenapa- mencintainya.

Barangkali karena memang Nahdlatul Ulama itu ikatan yang azali, cap yang dilekatkan pada ruh sejak dari sononya, sebagaimana Hadhratus Syaikh sendiri mencandranya:

"Antara aku dan kalian ada tautan cinta
Tersembunyi dibalik rahasia alam
Arwah kita sudah saling mencinta
Sebelum Allah mencipta lempungnya Adam."

Ke-NU-an sejati ada di hati, bukan nomor anggota.

Kyai Abdul Karim Hasyim, putera Hadhratus Syaikh sendiri, menolak ikut ketika NU keluar dari Masyumi. Demikian pula salah seorang santri Hadhratus Syaikh, Kyai Majid, ayahanda Almarhum Prof. Dr. Nurcholis Majid. Mereka berdua memilih tetap di dalam Masyumi. Apakah mereka tak lagi NU? Belum tentu. Mereka memilih sikap itu karena berpegang pada pernyataan Hadhratus Syaikh semasa hidupnya (NU keluar dari Masyumi sesudah Hadlratusy Syaikh wafat): "Masyumi adalah satu-satunya partai bagi ummat Islam Indonesia!"

Apakah sikap pilihan mereka itu mu'tabar atau tidak, adalah soal ijtihadi. Tapi saya sungguh ingin mempercayai bahwa di hati mereka berdua tetap bersemayam ke-NU-an yang berpendar-pendar cahayanya.

Pada suatu hari di awal abad ke-20, salah seorang santri datang ke Tebuireng untuk mengadu. Santri itu Basyir namanya, berasal dari kampung Kauman, Yogyakarta. Kepada kyai panutan mutlaknya itu, santri Basyir mengadu tentang seorang tetangganya yang baru pulang dari mukim di Makkah, yang kemudian mEmbuat odo-odo (aneh) sehingga memancing kontroversi di antara masyarakat kampungnya.

"Siapa namanya?", tanya Hadhratus Syaikh.

"Ahmad Dahlan"

"œBagaimana ciri-cirinya?"

Santri Basyir menggambarkannya.

"Oh! Itu Kang Dahlan!" Hadhratus Syaikh berseru gembira. Orang itu, beliau sudah mengenalnya. Teman semajlis dalam pengajian-pengajian Syaikh Khatib al-Minangkabawi di Makkah sana.

"Tidak apa-apa", kata Hadhratus Syaikh, "yang dia lakukan itu ndalan (ada dasarnya). Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia".

Santri Basyir patuh. Maka ketika kemudian Kyai Ahmad Dahlan medirikan Muhammadiyah, Kyai Basyir adalah salah seorang tangan kanan utamanya.

Apakah Kyai Basyir "tak pernah NU:? Belum tentu. Puteranya, Azhar bin Basyir, beliau titipkan kepada Kyai Abdul Qodir Munawwir (Kakak ipar Kyai Ali Ma'shum) di Krapyak, Yogyakarta, untuk memperoleh pendidikan al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pengajian-pengajian Kyai Ali Ma'shum pun tak ditinggalkannya.

Belakangan, Kyai Azhar bin Basyir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan AR Fahruddin. Kepada teman sekombong saya, Rustamhari namanya, anak Godean yang menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM, saya gemar meledek: "Kamu nggak usah macam-macam", kata saya waktu itu, "ketuamu itu ORANG NU!"

*********************************************************************


"Semoga Allah memberikan kemanfaatan kepada kita berkat ilmu beliau berdua dan wafatkanlah kami dalam thariqah mereka berdua."

Aamiin yaa Mujiibassaailiin.

PENGERTIAN AHLI SUNNAH (ASWAJA) & NAHDLATUL 'ULAMA' (NU)

July 30, 2013 Add Comment

pengetian ASWAJA adalah kelompok yang selalu berpegang pada sunah Rosululloh dan metode sahabatnya yang tercermin dalam aspek:
1. I’tiqod diniyyah (keyakinan keagamaan)
2. A’mal al-badaniyyah (amal ibadah)
3. Akhlaq al-qolbiyyah (budi pekerti)
     Istilah Aswaja ini muncul sekitar periode tiga ratus Hijriyah, dipelopori oleh Imam Abi Hasan al-Asy’ari murid dari salah seorang tokoh Mu’tazilah bernama Syaikh Ali al-Juba’i. Menurut Imam as-Subuki, selama 40 tahun lamanya al-Asy’ari berada dibelakang kelompok ini. Namun setelah melalui perenungan panjang nanmendalam, Imam al-Asy’ari akhirnya sampai pada kesimpulan adanya kejanggalan-kejanggalan dari ajaran yang telah lama digelutinya ini, khususnya mengenai posisi akal pikir manusia di hadapan Nash al-Qur’an ataupun Hadits, serta kewajiban Alloh berbuat membalas kebajikan terhadap hambanya yang telah menjalankan kebajikan. (lihat: Dzohrul Islam)
         Adapun Imam Al-Asy’ari yakni ‘Aly bin Isma’il bin Abi Bisyri Ishaq Bin Salim Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Bardah Bin Abi Musa Al-Asy’ary (yaitu Abdillah Bin Qais, shahabat Nabi) lahir tahun 260 H. dan Imam Al-Maturidy yakni Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Al-Hanafy bukanlah pencetus pertama dalam bidang ilmu Kalam, namun Beliau berdualah yang mengokohkan Imam Madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah). Imam Abu Hasan Al-Asy’ari adalah pengikut Madzhab Syafi’i sedangkan Imam Abu Manshur Al-Maturidy adalah pengikut Madzhab Abu Hanifah. (Lihat: TobaqotusSyafiiyyah Kubro, Tajuttarojim dan Al A’lam)
     Syaikh ‘Izzuddin Bin Abd. Salam menjelaskan bahwa aqidah yang digagas oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ary telah disepakati dan menjadi konsensus ‘Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Fudlola’u (pembesar) Hanabilah. Sepakat pula Guru Besar Madzhab Malikiyah Imam Abu ‘Umar Bin Al-Hajib di zaman Beliau, demikian pula Guru Besar Madzhab Hanafiyah Syaikh Jamaluddin Al-Hushairy.
Pengakuan Syaikh ‘Izzuddin tersebut juga diakui Syaikh Taqiyuddin As-Subuky sesuai pendapat yang diliput putra Beliau yakni Syaikh Tajuddin As-Subuki, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Az-Zubaidi sebagaiman berikut:

أهل السنة من المالكية والشافعية وأكثر الحنفية بلسان أبي الحسن الأشعري                                                                       
            Syaikh Tajuddin As-Subuky memaparkan: Sepengetahuan saya bahwa semua ‘Ulama pengikut Imam Malik semuanya adalah Asya’iroh tidak ada yang keluar, ‘Ulama Syafi’iyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan yang beranggapan bahwa Allah adalah merupakan jisim (benda) atau Mu’tazilah, Hanafiyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan Mu’tazilah dan ‘Ulama Hanabilah yang mulia identik dengan Asya’iroh kecuali golongan yang berkeyakinan Allah adalah jisim. Golongan yang menganggap Allah sebagai jisim lebih banyak daripada golongan pengikut Madzhab lain. Sebagian Ulama yang mengikuti Faham Asy’ariyyah:

- Al Ustadz Abu Sahl As Sho’luki                               – Al Ustadz Abu Ishaq Al Isfiroyini
- As Syaikh Abu Bakar Al Qoffal                               – As Syaikh Abu Zaid Al Marwazi
- Al Ustadz Abu Abdulloh bin Khofif                          – As Syaikh Zahir bin Ahmad As Sarkhisi
- Al Hafidz Abu Bakar Al Jurjani Al Ismailiy                         – As Syaikh Abu Bakar Al Awdani
- As Syaikh Abu Muhammad Atthobari Al Iroqi            – As Syaikh Abu Al Hasan Abdul Aziz At Thobari
- As Syaikh Abu Ja’far As Salma An Naqqosh            – As Syaikh Abu Abdillah Al Asbihani As Syafi’i
- As Syaikh Abu Muhammad Al Qorosyi Az Zuhri        – As Syaikh Abu Manshur bin Khamsaad
(Lihat: TobaqotusSyaiiyyah Kubro)

Adapun Muhadditsin (ahli Hadits) dan Shufiyah (ahli Tasawwuf) karena sudah sepakat dengan aqidah Al-Asy’ary dan Al-Maturidy maka mereka juga tergolong dari Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

Dengan demikian, orang-orang yang mengingkari golongan Shufiyah (ahli Tasawwuf) dan orang-orang yang tidak sepakat dengan Madzhab empat bukanlah termasuk Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan memakai istilah yang dipakai oleh golongan tertentu tersebut.

Mengenai pendalaman lebih lanjut atas faham Aswaja ini, diatas telah di paparkan dengan melalui pelacakan terhadap Hadits-hadits yang dinilai valid. Sebab tiada jalan lain untuk bisa memperoleh pemahaman keagamaan sesuai ajaran Rosululloh dan para Sahabatnya, kecuali melalui telaah hadits secara kritis.

Namun untuk saat ini, dimana dengan terpautnya masa dengan Rosululloh SAW. yang menyebabkan kesulitan telaah Al qur’an beserta sebab-musabab turunnya Al Qur’an (Asbabunnuzul) dan hadist beserta sebab-mubabab turunnya hadist (asbabulwurud) kecuali dengan meneliti Manuskrip, kitab-kitab Al Mu’tabar (yang dianggap valid) maka  pendalaman hanya bisa dilakukan melalui kajian mendalam atas kitab-kitab karya Ulama’ Salaf. Karena pada dasarnya, kitab-kitab tersebut merupakan penjabaran dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits, yang dihasilkan melalui analisa selektif dan konprehensif dengan tingkat kecermatan yang sangat tinggi. Dan agar kita terhindar dari sabda Nabi tentang laknat bagi orang yang menafsiri qur’an seenaknya, sebagai berikut:
سنن الترمذى – (ج 11 / ص 171)
3204 – حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِىِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Artinya: Dari sahabat Anas bin Malik RA., beliau berkata: “Rosululloh SAW. bersabda”:“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an (mengambil dalil dari Al Qur’an) dengan tanpa ilmu, maka tetapkanlah tempat duduknya bagian dari neraka (niscaya akan masuk neraka)”.

Imam Al Munawi Menjelaskan Hadist diatas sebagai berikut:
فيض القدير الجزء السادس ص  190
من قال في القرآن وفي رواية للترمذي وغيره من قال في كتاب الله وفي رواية من تكلم في القرآن برأيه أي بما سنح في ذهنه وخطر ببالهمن غير دراية بالأصول ولا خبرة بالمنقول فأصاب أي فوافق هواه الصواب دون نظر كلام العلماء ومراجعة القوانين العلميةومن غير أن يكون له وقوف على لغة العرب ووجوه استعمالها من حقيقة ومجاز ومجمل ومفصل وعام وخاص وعلم بأسباب نزول الآيات والناسخ والمنسوخ منها وتعرف لأقوال الأئمة وتأويلاتهم فقد أخطأ في حكمه على القرآن بما لم يعرف أصله وشهادته على الله تعالى بأن ذلك هو مراده أما من قال فيه بالدليل وتكلم فيه على وجهالتأويل فغير داخل في هذا الخبر.
Artinya: ““Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”, dalam sebagian riwayat Imam turmudzi dan lainnya (di tulis dengan:) “Barangsiapa berkata dalam kitab Alloh”, dalam sebagian riwayat (dengan:) “Barangsiapa berbicara dalam Al Qur’an dengan pikirannya”, yakni: dengan pemikiran yang timbul dihati yang kotor tanpa mengetahui dengan dasar-dasar dan kebaikan dalil manqul (naqli: Al Qur’an dan Hadist) kemudian mendapat kebenaran yang mencocoki hawa nafsunya, tanpa memandang pendapat para ulama, tanpa merujuk kaidah-kaidah keilmuan, tanpa menyandarkan pada tata bahasa arab, penggunaan hakikat-majaz global-terperinci umum-khusus, tanpa mengetahui sebab-musabab turunnya ayat, Nasikh-mansukh (al Qur’an yang menyalin dan disalin), dan tanpa mengetahui Qoul-qoul para Imam serta penakwilan beliau-beliau. Maka orang tersebut benar-benar keliru menghukumi dengan Al Qur’an dengan sesuatu yang tidak diketahui asalnya dan persaksian atas Alloh, semua hal diatas adalah maksud dari hadist “Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…, Adapun Ulama yang berkata dalam al Qur’an dengan menggunakan dalil dan berbicara sesuai ta’wil bukanlah orang yang masuk dalam pengertian hadist ini (“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…).”

Untuk mengenal lebih mudah golongan Ahli Sunah wal Jama’ah dalam konteksterkini, KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ menandaskan, ciri ahli Sunah wal Jama’ah, adalah mereka:
-          Yang dibidang Fiqh mengikuti faham Imam Abi Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i bin Idris atau Imam Ahmad bin Hambal.
-          Dibidang Tasawwuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid al-Baghdady dan Imam Ghozali.
-          Dan bidang Tauhid mengikuti Imam Abu al-Asy’ari atau Imam Abu Mansur al-Maturidi.

Hubungan antara Ahli Sunah wal Jama’ah dengan NU dan organisasi keagamaan lainnya, dapat dilihat dari bagaimana gaya masing-masing organisasi tersebut memahami ajaran agama Islam. Sebab patokan atau pakem yang dijadikan rujukan oleh masing-masing adalah sama, yakni al-Qur’an dan Hadits Nabi. Hanya bagaimana kemudian dua sumber tersebut dipahami, secara mendetail dan pengamalan yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad, yakni berahlak mulia dan dengan Mauidzotul hasanah tanpa menyakiti sesama. Oleh karena itu alangkan indahnya apabila kita kembalikan semua ajaran islam sesuai garis-garis dasar yang telah di firmankan Alloh SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Nisâ`: 59)

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (159)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (Q.S. al An’am 159)

Dan sebagai penutup kami mengajak para Alim-Ulama, para cendekiawan Muslim, para santri dan segenap masyarakat untuk menjadi benteng terakhir ajaran islam, sesuai Sabda Nabi SAW.:

تحفة الأحوذي – (ج 6 / ص 449)
أَمَّا حَدِيثُ جَابِرٍ فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ عَنْهُ مَرْفُوعًا : ” إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَوَّلَهَا ، فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ” . قَالَ الْمُنْذِرِيُّ : فِيهِ اِنْقِطَاعٌ ، وَأَمَّا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْحَاكِمِ وَقَالَ صَحِيحٌ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ .
سنن ابن ماجه – (ج 1 / ص 322)
275 – حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ أَبِى السَّرِىِّ الْعَسْقَلاَنِىُّ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّرِىِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَوَّلَهَا فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ».
“Apabila akhir umat ini melaknat (generasi) awalnya, (maka hendaklah orang-orang yang mempunyai ilmu pada ketika itu memperlihatkan ilmunya), maka barangsiapa yang menyembunyikan hadist (ilmu pada waktu tersebut), benar-benar (seumpama) seseorang yang menyembunyikan apa yang telah Alloh turunkan (diwahyukan kepada Sayyidina Muhammad SAW!!!)”.

Wallohu A’lam Bisshowab….

BEKAL MENYAMBUT BULAN RHAMADLAN

July 06, 2013 Add Comment
BEKAL MENYAMBUT BULAN RHAMADLAN
Disusun Oleh : Abou Fateh

Cara Menentukan Awal Ramadhan

Diwajibkan untukmelihat hilal (bulan sabit) Ramadhan pada malam ke 30 bulan Sya’ban. Karenapuasa Ramadhan diwajibkan jika sudah terjadi salah satu diantara dua hal:

1.     Menyempurnakanbulan Sya’ban menjadi 30 hari.
2.     Melihat hilal Ramadhan pada malam 30 Bulan Sya’ban.Sebagaimana tuntunan Rasulullah:

"صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْفَأَكْمِلُوْا عَدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا " (رواه البُخارِيومُسلمٌ وأصحابُ السُّنَن وغيرُهم)

Maknanya: "Berpuasalah dengan melihat hilal(bulan Ramadhan) dan berbukalah (berhari raya) dengan melihat hilal (bulanSyawwal), jika kalian terhalang mendung maka sempurnakanlah hitungan Sya'banmenjadi 30 hari" (H.R. al-Bukhari dan Muslim serta Ashhab as-Sunan).    

Siapa saja yangmelihat hilal Ramadhan, maka ia wajib berpuasa. Adapun orang yang tidak melihattapi mendengar berita tentang dilihatnya hilal dari seorang muslim yang dapatdipercaya, adil, merdeka (bukan hamba sahaya) dan bukan seorang pembohong jugawajib baginya untuk berpuasa. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn Umar t berkata:“Aku pernah memberitahu Rasulullah bahwa aku telah melihat hilal, makaRasulullah berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa”.(disahihkan oleh Ibn Hibban).           Adapunjika yang memberitahu tentang dilihatnyahilal tersebut adalah seorang anak  kecil atau  seorang  yang fasiq atauperempuan atau budak, bila mereka dapat dipercaya maka hukumnya boleh (jaiz)berpuasa. Tapi bila tidak dapat dipercaya, maka harus menyempurnakan hitunganbulan Sya’ban menjadi 30 hari. Jika qadhi sudah menetapkan untuk berpuasa, makawajib bagi seluruh penduduk yang tinggal di daerah tempat ketetapan tersebutberlaku juga penduduk daerah-daerah lain yang dekat dari daerah tempatdilihatnya hilal dan sama mathla’nya (tempat terbit dan terbenamnyamatahari) untuk berpuasa, tidak termasuk orang-orang yang tinggal di daerahyang berbeda mathla’nya dengan daerah tempat ketetapan qadli (inimenurut pendapat Imam Syafi’i), adapun menurut pendapat Abu Hanifah wajibberpuasa bagi seluruh penduduk suatu negara yang telah mengetahui ketetapanpuasa di satu daerah, meskipun jauh dari daerah tempat dilihatnya hilal.Menurut pendapat Imam Abu Hanifah ini, diwajibkan berpuasa bagi penduduk ujungbarat jika mengetahui ketetapan puasa di daerah timur, begitu juga sebaliknya.

Fardhu-Fardhu Puasa 

Fardhu puasa ada dua; niat dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa :

1. Niat,berniat dilakukan dalam hati dan tidak disyaratkan untuk mengucapkannya denganlisan. Niat wajib dilakukan di malam hari sebelum terbit fajar untuk tiap-tiaphari selama bulan Ramadhan walaupun untuk mengqadla puasa ramadhan (di lainbulan ramadhan). Jika ada seseorang yang berniat puasa untuk hari berikutnyasetelah matahari terbenam sementara ia belum berbuka dan ia tidak mengulanginyakembali setelah ia makan maka niatnya tersebut sudah cukup baginya. Diwajibkan pula untuk menentukan puasayang dilakukan pada waktu niat, seperti menentukan bahwa puasa yang dilakukanadalah puasa ramadhan atau puasa nadzar atau puasa kafaratwalaupun tidak dijelaskan sebab kafaratnya. Niat puasa ramadhan wajib dilakukansetiap hari, tidak cukup niat sekali di awal bulan untuk sebulan penuh menurutImam Syafi’i. Para ulama mengatakan: sempurnanya niat untuk puasa ramadhanadalah sebagai berikut:

"نَوَيْتُصَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضَ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ إِيْمَانًاوَاحْتِسَابًا للهِ تَعَالَى"

Maknanya: "Aku berniat puasa besok untukmenunaikan kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena iman dan mengharapkanpahala dari Allah ta’ala".

Sebagian ulama mengatakan bahwa cukupberniat sekali pada malam pertama bulan Ramadhan untuk sebulan penuh, misalnyadengan berniat:

"نَوَيْتُصِيَامَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا عَنْ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ"   

Wajib bagi perempuan yang haidh atau nifas (jika darahnyasudah berhenti keluar) agar berniat di malam hari untuk berpuasa hariberikutnya dari bulan ramadhan meskipun belum mandi besar. Sementara itudiperbolehkam baginya untuk makan, tidur dan bersetubuh (setelah mandi wajib)setelah berniat dan sebelum terbit fajar. Orang yang belum berniat, lalu tidur malam sampai setelah terbit fajar ia barubangun, maka ia diwajibkan untuk menahan dirinya dari melakukan hal-hal yangmembatalkan puasa dan diwajibkan juga untuk mengqadha puasa hari tersebut. Berbedadengan puasa sunnah, tidak disyaratkan dalam menjalankan puasa sunnah untukberniat di malam hari (tabyiit). Jika seseorang baru bangun setelahterbit fajar, selama ia belum makan dan minum sesuatu apapun, kemudian ia inginberniat puasa sunnah pada hari itu sebelum tergelincirnya matahari, hanyakarena ta’at kepada Allah, maka sah puasanya.

 2. Menahan diri dari hal-halyang membatalkan puasa

Wajib bagi orangyang sedang berpuasa untuk menahan diri dari melakukan hal-hal sebagai berikut:

·       Makan,minum dan memasukkan sesuatu yang berbentuk meskipun kecil ke dalam kepala atauperut melalui lubang-lubang yang terbuka seperti mulut, hidung (walaupun hanyabagian-bagian yang kecil seperti merokok), atau dari qubul dan dubur, mulaidari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. 

·       Apabila ada orang yang makan dan minum walaupun banyaksementara ia lupa bahwa ia sedang berpuasa, maka puasanya tidak batal meskipundalam puasa sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: 
"مَنْنَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَاأَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ" (رواه البخاري)
Maknanya: "Siapa saja yang lupa sementara iasedang berpuasa, lalu makan dan minum maka hendaklah ia sempurnakan puasanyakarena sesungguhnya Allahlah yang memberinyamakan dan minum." (H.R. Bukhari)

·       Istiqo’ah: sengaja mengeluarkan muntah dengan jari atau yang semisalnya meskipuntidak ada sedikitpun dari muntahnya tersebut yang kembali lagi ke perut.Adapun orang yang muntah bukan dengan disengaja mengeluarkannya, selama iatidak menelan sedikitpun dari muntahnya maka puasanya tidak batal, tapi iawajib mensucikan mulutnya sebelum menelan ludah dari mulutnya tersebut. Rasulbersabda:

"مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِقَضَاءُ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ"

 Maknanya: "Orang yang terpaksa muntah(dengan tidak disengaja mengeluarkannya), maka ia tidak dikenai kewajibanmengqadha puasanya, sedangkan orang yang sengaja memancing muntahnya agarkeluar, maka ia wajib untuk mengqadha puasanya" (H.R. al-Hakim danImam empat).

·       Bersetubuh dan mengeluarkan mani dengan sengaja ataudengan bersetubuh, ketiga hal tersebut membatalkan puasa, sementara kalauseseorang yang sedang berpuasa kemudian mengeluarkan mani hanya   karena melihat hal-hal yang haramsekalipun  atau dengan berkhayal,maka tidak batal puasanya.
Karena waktu puasa dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnyamatahari, maka wajib bagi kita untuk mengetahui kepastian awal dan akhir waktupuasa tersebut bagi setiap mukallaf. Pada saat ini kebanyakanmuadzdzin(tukang adzan) tidak mengetahui tentang waktu-waktu shalat, kebanyakan merekahanya bertumpu pada piringan yang mereka putar untuk menentukan waktu fajar danmaghrib, oleh karenanya tidak boleh serta merta berpegangan dan mengikutimereka ini.

Fajaradalah sinar putih mengarah horizontal yang berada di ufuk timur, pada awalnyaterlihat agak kemerah-merahan yang bercampur dengan sinar putih tersebut,kemudian setelah sekitar setengah jam warna merah tersebut menjadi lebih tajam,sinar putih inilah yang dinamakan dengan fajar, niat puasa wajibdilakukan sebelum munculnya sinar putih tersebut. Yang dimaksud denganterbenamnya matahari adalah terbenamnya bola matahari secara keseluruhan. 

Siapa saja yang dengan sengaja makan setelah fajarterbit dengan meyakini bahwa fajar belum terbit maka puasanya batal dan ia wajib mengqadhapuasanya yang batal tersebut, begitu juga ia diwajibkan untuk menahan diri darihal-hal yang membatalkan puasa pada siang harinya. Namun jika ia berijtihadkemudian makan, setelah makan baru ia tahu bahwa waktu subuh sudah masuk (sudahterbit fajar) maka ia tidak berdosa, seperti orang yang bertumpu pada suarakokokan ayam yang sudah terdidik (dalam menentukan waktu subuh). Atau jika adaorang yang makan sebelum terbenamnya matahari dengan meyakini bahwa mataharisudah terbenam, kemudian setelah makan baru ia mengetahui bahwa matahari belumterbenam maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha puasanya yang batal tersebut.Adapun orang yang dengan sengaja makan sebelum terbenamnya matahari tanpa ada udzur, maka ia berdosa. AllahTa’ala berfirman:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلىَ اللَيْلِ  (البقرة: 187)

Maknanya: "Sempurnakanlah puasa sampai malam". (Q.S. AlBaqarah: 187) 

Terbenamnyamatahari adalah tanda masuknya malam. 

Wajib bagi setiap muslim untuk selalu menjagakeislamannya selamanya, baik di bulan Ramadhan  atau bulan-bulan  yang lain, oleh karenanya diwajibkan untukmenjauhi hal-hal yang menyebabkan kekufuran yang tiga, yaitu:

1.     KufurQauli (perkataan): seperti mencaci-maki Allah, al-Qur’anatau Islam. 

2.     KufurI’tiqadi (keyakinan): seperti meyakini bahwaAllah adalah benda atau cahaya atau ruh, atau bahwa Allah memiliki tempat danarah, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki bagian-bagian dan anggota-anggotabadan.

3.     KufurFi’li (perbuatan): seperti melempar mushaf padatempat-tempat kotor atau sujud kepada berhala.
Hal ini dikarenakan syarat sah puasa adalah keimanan orang yang berpuasa,sementara kekufuran bisa merusak keimanan. Barangsiapa jatuh dalam salah satudari tiga macam kekufuran di atas maka batal puasanya dan ia diwajibkan untuksegera kembali masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan menahandiri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa selama siangnya. Juga wajibsegera  mengqadha puasanya (yang bataldengan jatuh pada kekufurun) sehabis Ramadhan dan hari raya.

Syarat-Syarat Wajib Puasa

Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi setiap muslim yang baligh, berakal danmampu melaksanakannya.  Tidak sah  puasa  yang dilakukan olehorang kafir asli atau orang murtad. Begitu juga perempuan yang sedang haidhatau nifas, seandainya keduanya tetap berpuasa pada waktu keluar darah, makapuasanya tidak sah dan keduanya berdosa serta tetap wajib mengqadha puasanya.

Puasa tidakdiwajibkan bagi anak kecil, tapi diwajibkankan bagi orang tua atau wali untukmenyuruh anaknya berpuasa jika anaknya sudah mencapai usia 7 tahun, danmemukulnya jika mengabaikan perintah untuk berpuasa jika sudah mencapai usia 10tahun serta dipandang kuat untuk melaksanakannya, namun tidak ada kewajibanuntuk mengqadha, jika anak tersebut membatalkan puasanya. 

Puasa juga tidakdiwajibkan bagi orang gila dan ia juga tidak diwajibkan mengqadha. Bagi orangyang sakit atau yang sedang dalam perjalanan jauh (musafir) pada waktubulan Ramadhan tidak diwajibkan berpuasa, tapi wajib mengqadha puasa yangditinggalkan. Jika keduanya tetap ingin melanjutkan  berpuasa, maka puasanya tetap sah, namun jikapuasa yang mereka lakukan itu dirasa membahayakan, maka hukumnya haram bagimereka untuk melanjutkan puasa. 

Musafir jika ingin membatalkan puasanya di hari pertamaperjalanannya, maka ia  wajib meninggalkan(keluar dari) daerahnya sebelum terbit fajar. Puasa juga tidak diwajibkan bagiorang yang sudah tua renta yang lemah dan sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi, karena ditakutkan akan cepatmati atau lumpuh.

Hal-Hal Yang MembatalkanPuasa

1.     Makanwalaupun sebiji wijen atau yang lebih kecil dengan disengaja dan mengetahuikeharamannya.
2.     Minumwalaupun hanya seteguk air atau obat.

Perhatian: debu jalanan dan ayakan tepung tidak membahayakanbagi orang yang sedang berpuasa, karena sulit menghindar dari keduanya. Begitujuga mencicipi rasa makanan tanpa menelan sedikitpun dari makanan yangdicicipi. Berlebih-lebihan dalam berkumur dan istinsyaq (memasukkan airke dalam hidung dalam berwudlu) sampai airnya masuk ke perut juga bisamembatalkan puasa. Mengeluarkan ludah walaupun hanya di bagian luar bibir, lalumenelannya kembali bisa membatalkan puasa. Sementara jika ludah masih berada dilidah, maka tidak berbahaya jika ditelan. Bahkan bila ada orang yang sengajamengumpulkan ludahnya agar ditelan kembali,maka itu tidak membatalkan puasanya selama ludahnya itu masih murni(belum berubah). Adapun mengenai hukum menelan riya, terdapat perincian sebagaiberikut:

1.     Jika ditelan dari mulut maka membatalkan puasa
2.     Jika masih berada di bawah makhraj (tempat keluar) huruf “ح” maka tidak membatalkan puasa.Menurut pendapat Imam Abu Hanifah riya tidak membatalkan meskipun telah sampaidi lidah. 

Ludah yang sudah berubah rasanya, misalnya karena asap rokok yang dihisapsebelum fajar atau yang lainnya, bisa membatalkan puasa. Jika ada orang muntah,lalu setelah berhenti muntahnya ia langsung menelan ludah sebelum mensucikanmulutnya, maka puasanya batal karena ludah itu menjadi najis sebab muntahbercampur dengan ludah.  

Infus melaluikemaluan dan dubur bisa membatalkan puasa, begitujuga meneteskan obat hidung dantelinga, jika obatnya sampai masuk keperut. Menurut salah satu pendapat, tetesandi hidung tidak membatalkan. Lainhalnya dengan obat tetes mata, jika dipakai pada waktu berpuasa maka tidak membatalkan,begitu juga suntikan baik di kulit atau pembuluh darah.

Orang yang pingsanpada siang hari puasa, kemudian sadar sebelum habis satu hari penuh maka tidakbatal. Namun jika pingsannya itu menghabiskan satu hari penuh dari terbit fajarsampai maghrib maka puasanya tidak sah. Apabila seseorang mengalami kegilaan walaupunhanya sebentar maka batal puasanya. 

Begitu juga apabilaseorang perempuan haidh atau nifas walaupun sesaat sebelum terbenam matahari,maka batal puasanya. 

Adapun orang yangberpuasa, jika ia tidur dan kemudian bermimpi keluar mani, maka tidak batal,berbeda jika keluarnya mani itu sebab onani atau dengan jima' yang disengaja(tidak dalam keadaan lupa).

Orang yang bersetubuh pada siang hari Ramadhan dengan sengaja, serta iaingat bahwa ia sedang berpuasa dan tidak dipaksa,  maka puasanya batal walaupun tidak sampaikeluar mani. Adapun jika bersetubuh karena lupa maka tidak batal puasanya dantidak wajib mengqadha. 

Orang yang bangun tidur dalam keadaanjunub karena bersetubuh atau yang lainnya, maka boleh baginya terus berpuasadan mandi besar ketika ia hendak melakukan shalat. Dari Aisyah radliyallahu'anha berkata:

"كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُدْرِكُهُالْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَ يَصُوْمُ" (رواهالبخاري)
Maknanya: "Rasulullah pernah mendapati subuh sementara beliau dalamkeadaan junub kemudian beliau mandi dan terus berpuasa". (H.R.Bukhari).  

Juga termasuk yangmembatalkan puasa adalah: 

Jatuh dalam kekufuran dengan sengaja bukan salah ucap, meskipun hanyabergurau atau marah, baik ingat bahwa ia sedang berpuasa atau lupa, karenatidak sah ibadah yang dilakukan oleh orang kafir.
Mencium istri yangbisa merangsang syahwat bagi orang yang sedang berpuasa hukumnya haram, tapitidak membatalkan puasa jika tidak sampai keluar mani.  Adapun hadits: 

"خَمْسٌ يُفْطِرْنَالصَّائِمَ: النَّظْرَةُ المُحَرَّمَةُ وَالْكَذِبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُوَالْقُبْلَةُ"

"Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa;melihat yang diharamkan, dusta, ghibah (membicarakan aib orang laindibelakangnya), namimah (mengadu domba) dan mencium"

tidak ada dasarnya bahkan hanyalahkebohongan yang dinisbatkan kepada nabi, tapi sebagian dari kelima hal tersebutbisa menggugurkan pahala puasa.
     
KewajibanYang Harus Dipenuhi Oleh Orang Yang Membatalkan Puasa Dengan Sengaja 

Membatalkan puasadengan sengaja pada bulan ramadhan adakalanya:
1.     Wajibmengqadha saja.
2.     Wajib mengqadha serta membayar fidyah.
3.     Wajibmembayar fidyah saja sebagai ganti dari puasa.
4.     Wajibmengqadha dan kafarat.

1.Yang hanya wajib mengqadha saja adalah:

o  Yangmembatalkan puasa sebab sakit.
o  Yangmelakukan perjalanan jauh (musafir) dan membatalkan puasanya.
o  Perempuanyang haidh atau nifas.
o  Yangmembatalkan puasa tanpa udzur, atau sudah berpuasa lalu membatalkan puasanyabukan dengan  bersetubuh.

2. Yang wajib mengqadha dan membayar fidyah adalah :

o  Perempuanyang hamil atau menyusui, jika keduanya khawatir terhadap anaknya, sehinggamembatalkan puasa.
Fidyah adalah satu mud (satu cakupan kedua telapak tangan orangsedang) makanan pokok mayoritas masyarakat setiap hari. Sementara dalam mazhabHanafi fidyah adalah memberi makan orang miskin seukuran makan siang danmalamnya atau harganya jika diuangkan.
o  Bagiorang yang masih punya tanggungan untuk mengqadha puasa, lalu iamemperlambatnya sampai datang ramadhan selanjutnya maka ia wajib mengqadha danmembayar fidyah setiap harinya satu mud.
    
3.Yang wajib membayar fidyah saja adalah:

o  Orangtua yang lemah yang tidak kuat berpuasa atau merasakan kesulitan yang beratmaka ia boleh tidak berpuasa namun sebagai gantinya ia wajib membayar fidyahpada setiap harinya.
o  Orangyang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, orang seperti ini tidakwajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha puasa yang ia tinggalkan, tetapi hanyawajib membayar fidyah saja. Yaitu seukuran makan siang dan malam menurutmazhab Hanafi atau satu mud gandum atau yang lainnya sesuai makanan pokokkebanyakan masyarakat.

4. Yang wajib mengqadla dan wajibmembayar kafarat adalah :

o  Orangyang membatalkan puasanya dengan bersetubuh dengan sengaja, tidak dipaksa sertaingat bahwa ia sedang berpuasa, walaupun tidak sampai mengeluarkan mani.

Yang dimaksud dengan kafarat adalah:

1.      Memerdekakan budak mukmin, jika tidak mampu
2.      Berpuasa dua bulan berturut-turut, tidak termasuk hariuntuk mengqadha. Jika selama dua bulan tersebut ada satu hari yang tidak dilaksanakanpuasa pada hari itu walaupun karena sakit, maka harus mengulang kembali dariawal. Jika tidak mampu juga maka,
3.     Memberi makan 60 orang miskin, masing-masing dari merekasatu mud makanan pokok kebanyakan masyarakat. Sementara menurut  Imam Abu Hanifah yaitu memberi masing-masing dari mereka seukuran makan siang dan malam.
Jikamasih tidak mampu juga melaksanakan ketiga hal tersebut maka kafarattetap menjadi tanggungannya dan tidak ada lagi yang bisa menebusnya sebagaiganti dari kafarat tersebut.

Hal-Hal Yang DisunnahkanKetika Berpuasa

1.     Bersegeraberbuka puasa jika matahari sudah dipastikan terbenam secara keseluruhan, Rasul bersabda: 

"لاَ يَزَالُالنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ" (رواه مسلم)

Maknanya: "Manusia akan senantiasa dalam kebaikan, selama merekamenyegerakan berbuka puasa" (H.R. Muslim)

2.      Disunnahkan untuk berbuka dengan kurma, atau dengan airputih jika tidak ada kurma (sebelum melakukan shalat maghrib) sebagaimana sabdaRasul: 

"إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْفَلْيُفْطِرْ عَلىَ تَمْرٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُطَهُوْرٌ " (رواه أبو داود)

Maknanya: "Jika salah seorang dari kalianberbuka, maka hendaklah ia berbuka dengan kurma, atau jika tidak ada kurma,maka hendaklah berbuka dengan air putih, karena air itu suci" (H.R.Abu Daud)
Dan berdo'a (ketika berbuka):  

"اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَأَفْطَرْتُ"

Maknanya: "Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka"
Bagi yang hendak berbuka puasa, hendaklah ia memastikan terlebih dahulubahwa matahari benar-benar telah tenggelam secara total, tidak cukup hanyaberpegangan pada suara adzan di televisi atau radio saja, karena bisa jadiadzan di televisi atau radio itu belum masuk waktu maghrib sebagaimana yangpernah terjadi pada masa lalu.

3.     Mengakhirkansahur hingga akhir malam dan sebelum terbitnya fajar shadiq sekalipun hanyadengan seteguk air putih. Diriwayatkan dari sahabat Anas berkata, Rasulullah rbersabda:

"تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِبَرَكَةٌ " (رواه مسلم)

Maknanya: "Bersahurlah, karena dalam sahur itu ada berkah" (H.R.Muslim)

4.      Begitu juga dianjurkan bagi orangyang berpuasa untuk selalu menjaga lisannya dari berbohong, membicarakankeburukan orang lain atauperkataan-perkataan yang jorok danperkara-perkara yang diharamkan lainnya.

Ketahuilahbahwasanya sabar dalam menjalankan ta'at kepada Allah lebih ringan dari padasabar menghadapi siksa. 

Maka cegahlah perut dari makan barang haram waktu berbuka, palingkanpandanganmu dari melihat yang haram, dan perkataan kotor yang diharamkanseperti bohong, ghibah (membicarakan saudaramu yang muslim tentangsesuatu yang ia benci yang benar ada padanya tanpa ada sebab yang diperbolehkanoleh syara' dibelakangnya), dan cegah dari perbuatan keji, pertengkaran,percekcokan dan perdebatan. 
Diriwayatkan olehBukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah r bersabda:

"إِنَّمَاالصَّوْمُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَيَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌإِنِّي صَائِمٌ" 

Maknanya: "Sesungguhnyapuasa adalah tameng, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa maka  janganlah bersikap keji dan jangan bertindak bodoh, jika ada orang yang memeranginya atau mengejeknya maka hendaklah ia berkata: Aku sedang berpuasa, akusedang berpuasa." 

Cegahlahpendengaranmu dari mendengar omongan yang haram didengar. 

Dan cegahlahanggota-anggota badan yang lain (seperti kaki dan tangan) dari maksiat, dosadan perbuatan yang dibenci.

Disunnahkan juga untuk banyak berbuat baik, silaturrahim, memperbanyakmembaca al-Qur'an, i'tikaf di masjid terutama di 10 hari terakhir bulanramadhan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasul r beri'tikaf pada 10 hari terakhir bulanramadhan. (H.R. Muslim)

Memberi iftharorang-orang yang berpuasa, Rasulullah bersabda: 

"مَنْفَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْأَجْرِ الصَّائِمِ شَىْءٌ" (رواه التِّرمِذي وقال حديثٌ حسنٌ صحيحٌ)

Maknanya: "Barangsiapa yangmemberi makan (untuk berbuka) bagi orang yang berpuasa maka iamendapat pahala seperti orang yang diberi makan tersebut, tanpa dikurangi dari pahala orang yang berpuasa tersebutsedikitpun." (H.R. at-Tirmidzi dan beliau berkataini hadits hasan shahih).

Dan hendaklah berkata (jika dimaki orang): "Aku sedang berpuasa, akusedang berpuasa"

Peringatan: 

Barang siapa yangmati sementara ia masih punya tanggungan mengqadha puasa maka bisa diganti olehwalinya. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda: 

"مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُوَلِيُّهُ " (رواه مسلم)

Maknanya: "Barangsiapa yang mati sementara ia masih punyatanggungan puasa maka bisa diganti oleh walinya" (H.R. Muslim).

Hari-Hari Yang DiharamkanBerpuasa

1.      Hariraya Idul Fitri yang pada waktu itu dilakukan shalatIdul Fitri.

2.     Hariraya Idul Adha yang pada waktu itu dilakukan shalatIdul Adha. Dari Aisyah radliyallahu 'anhaberkata:

"نَهَى رَسُوْلُاللهِ عَنْ صَوْمَيْنِ : يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ الأَضْحَى"

Maknanya: "Rasulullah melarang untuk berpuasa pada dua hari rayaIdul Fitri dan Idul Adha."  

3.     Hari-haritasyriq, yaitu tiga hari setelah hari rayaIdul Adha (11, 12 dan 13 Dzul Hijjah). Rasulullah bersabda:

"أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍوَشُرْبٍ" (رواه مسلم)

Maknanya: "Hari-hari tasyriq adalah hari-hari untuk makan dan  minum." 

4.      Hari Syak, yaitu hari ke-30 bulan Sya’ban, jika diberitahutentang awal puasa oleh orang-orang yang tidak boleh dijadikan pegangan untukmenentukan ketetapan awal Ramadhan, yaitu orang fasiq, perempuan, anak kecilatau yang semisal mereka yang memberitahukan bahwa mereka telah melihat hilalRamadhan. 

"لاَتُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِيَوْمً أَوْ يَوْمَيْنِ، صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِوَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَشَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا" (رواه البخاري)

Maknanya: "Janganlah kalianmendahulukan Ramadhan satu atau dua hari, berpuasalah sebab melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalahjuga sebab melihat hilal (Syawwal), apabila kalian (dalam melihat hilal) terhalang mendung, makasempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban 30 hari".(H.R. Bukhari)

5.      Setengah bulan terakhir bulan Sya’ban, tidak sah berpuasa pada hari-hari itu kecuali jika disambung denganhari-hari sebelumnya atau untuk mengqadha puasa atau untuk melaksanakan puasanadzar.
Disunnahkan puasaenam hari dari bulan Syawwal, dan disunnahkan dilaksanakan secaraberturut-turut setelah hari raya. Jika ia melaksanakannya secara terpisah tidakbersambung ia tetap memperoleh kesunnahan. Diriwayatkan dari Abu Ayyub alAnshari bahwa Rasulullah bersabda:

"مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّامِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ" (رواه مسلم)

Maknanya: "Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian diikuti denganpuasa enam hari bulan Syawwal maka pahalanya seperti puasa Dahr (puasasetahun penuh selain hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa)"  (H.R. Muslim).

Barang siapa telahmemulai melaksanakan puasa fardhu, baik ada' atau Qadha' atau Nadzarmaka diharamkan baginya untuk membatalkannya, berbeda jika puasa tersebutadalah puasa sunnah maka boleh baginya untuk membatalkannya.

Recent Post