Cerpen PPMT

June 28, 2013 Add Comment
Cerpen PPMT

MBAH ROSYID




            Sudah dua minggu aku dirumah, setelah tiga bulan lebih aku berada di rehab tempat yang selama ini tidak aku inginkan, aku terjerat kasus narkoba karena salah dalam memilih narkoba, aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang, dulu aku dikenal sebagai anak yang patuh dan rajin, tapi setelah aku mengenal dan mengkonsumsinya, semua berubah total.
Tak lagi kucium tangan ibu diwaktu pulang dan pergi
Tak lagi salam terucap dari mulutku
Bahkan sholat dan mengaji sering aku tinggalkan
Sehingga pada suatu hari aku ketahuan menyimpan beberapa gram heroin yang mengharuskanku keluar dari pesantren.
Itu semua adalah  masa laluku, hingga kali ini aku masih merasakan dampaknya. Hilang keceriaanku, tidak ada lagi semangat hidup, aku  seakan putus asa, terpuruk dalam kegelapan, tidak ada lagi teman, semua seakan mengucilkanku. Hanya ibu yang selalu menguatkanku, memberi harapan dan semangat. Hanya ibu yang selalu menguatkanku, berulang kali aku lihat ibu menangis, namun  itu semua belum juga membuatku berubah, ibu membuat peran ganda dalam keluargaku  semenjak ayahku sakit dan tidak kunjung sembuh hingga meninggal beberapa tahun lalu. Aku semakin merasa bersalah, tidak berguna, tidak pantas hidup dan tidak ada lagi harapan bagiku. Semua semakin gelap aku rasakan.
“Mir, kamu sudah siap? Kita berangkat sekarang”. Tanya ibuku.
“Ya bu.”. jawabku  lirih.
Hari ini aku dan ibu akan berkunjung kerumah kakek dan nenek di Pare. Sudah lama aku tidak kesana, sejak aku mendekam di rumah pengasinganku, biasanya aku berkunjung jika aku pulang dari pesantren.
            Mbah Rhosyid, begitulah orang-orang memanggil kakekku, beliau orangnya sabar, ramah dan kata-katanya selalu menyejukan hati. Kakek yang telah mengajariku baca tulis Al Qur’an di waktu kecil.
Aku masukan semua barang yang dibutuhkan kedalam ransel. Aku ambil tasku lalu aku temui ibuku yang dari tadi sudah siap.
“Pintunya sudah dikunci semua kan?”. Tanya ibu
“Sudah bu”. jawabku.
Segera aku setarter motorku dan tidak lupa membaca basmallah, begitulah yang diajarkan kepadaku.
“Jangan ngebut, baca sholawat le...”. Aku hanya diam mendengarnya.
            Kakekku adalah pengrajin bambu, dengan tanganyalah sebuah bambu yang kelihatanya bengkok, tidak berguna dan murah disulap menjadi kursi yang antik yang berharga dan bernilai tinggi.
“Kamu kelihatanya sedih le..?”.  tanya kekek sambil menghisap rokok terompetnya.
Aku hanya diam dan tidak bersuara.
“Apa yang kamu pikirkan, apa kamu punya masalah?”  Tanya kakek lagi yang sepertinya memahami perasaanku, mungkin ibu sudah banyak brcerita tentangku.
“Mir... kamu lihat apa yang kakek buat?”, kakek bertanya sesuatu yang sebenarnya aku sudah tahu. Tapi bukan itu tujuanya, ada maksud lain.
“Ya... ini adalah kursi, kamu tahu dari apa kursi ini dibuat?” Tanyanya lagi yang membuatku semakin tidak mengerti.
“Bambu kek”. Aku coba untuk menjawab yang dari tadi hanya diam.
“He he he ya.. benar kursi ini kakek buat dari bambu yang bengkok-bengkok, menurut kebanyakan orang tidak begitu berguna dan berharga bila dibandingkan bambu lain yang lebih lurus, tapi bila bambu ini diolah dengan benar, kesabaran dan ketrampilan maka jadilah sebuah karya seperti yang kamu lihat, yang harga dan nilainya jauh lebih tinggi dibanding dengan bambu-bambu lain yang lebih lurus”. Jelas kakek.
Aku hanya diam tidak mengerti.
“Coba tebak, berapa harga kursi buatan kakek?”. tanya kakek lagi.
“Emmm.. seratus ribu kek”. Jawabku ragu.
“Eh eh eh..”. kakek tertawa geli mendengarkan jawabanku.
“Loh kakek kok malah tertawa?” Tanyaku semakin tidak mengerti.
“Mir... Amir.. kok murah amat kamu menghargai karya kakekmu ini. Mir kursi ini harganya sepuluh kali lipat dari yang kamu pikirkan bahkan bisa lebih besar lagi”. Jawab kakek bangga.
Aku sedikit kaget mendengar jawaban kakek.
Dengan memegang pundakku kakek berkata, “Mir.. semua orang pernah bersalah, karena memang manusia tempatnya salah dan lupa tetapi bukan berarti kita harus putus asa menyerah, jika kesalahan jika kesalahn tersebut kita sikapi penuh kesadaran dan kedewasaan, maka ia akan menjadi sesuatu yang sangat berharga nilainya seperti bambu-bambu ini yang kelihatan bengkok dan tidak berguna, dengan sentuhan, kesabaran dan ketrampilan dia mampu menjadi sesuatu yang sangat berharga nilainya. Dan melampaui bambu-bambu lain diatasnya kau paham nak?”.
Aku termenung memikirkan kata-kata kakek, otakku menangkap sesuatu lalu merasap kedalam hatiku. Sehingga tidak aku sadari air mataku terjatuh, aku peluk kakek erat. “ya kek. Aku mengerti, terimakasih kek.. terimakasih.”.
Tiga hari sudah aku berada di Pare, kini waktunya untuk pulang, aku dan ibuku berpamitan dengan kakek dan nenek, aku cium tangan meraka, aku tatap wajah kakek, kakek hanya tersenyum dan akupun mengangguk karena mengrti arti dari senyumanya.
Kini langkahku terasa lebih ringan. “Bu.. aku mau belajar lagi”. Ibu sepertinya heran dan kaget mendengar ucapanku.
“Ibu tidak salah dengar kan?”. Tanya ibu ragu.
“Tidak bu, aku mau belajar lagi, sungguh.  Aku meyakinkan ibu. Aku lihat pancaran kebahagiaan dari wajah ibu, wajah yang selalu membuatku tenang dikala melihat dan mengingatnya.
Ibu mendekatiku dan memelukku dengan erat, aku rasakan butiran hangat menetes di pundakku. Ya, ini adalah air mata kebahagiaan dan do’a dari seorang ibu. Dalam dekapnya aku berkata “besok juga amir akan berangkat ke pesantren”.
“Ya Allah... akhirnya Engkau kabulkan do’aku, Engku kembalikan anakku”. Lirih sekali aku dengar kalimat itu.
Tiba juga hari perpisahanku dengan ibu, yang sebenarnya sangat berat aku rasakan, tai inilah yang harus aku lakukan. “Bu, amir berangkat, do’akan aku”.
“Iya nak.. awali basmalah niatlah karena Allah, carilah ilmu dan sebarkan pada manusia, do’a ibu menyertaimu”.
“Amin..” aku jawab kata-kata ibu, itu semua adalah do’a bagiku.
Aku ciun tangan ibuku yang penuh berkah, aku pandang wajahnya sebagai salam perpisahan.
“Bu sampaikan salamku kepada kakek dan nenek. Wassalamualaikum”.
“Wa’alaikum salam” jawab ibuku.
Bismillahirrohmanirrahim, aku langkahkan kakiku, aku bulatkan tekadku dan aku tinggalkan kakiku untuk beberapa waktu lamanya, demi satu tujuan dan kewajiban, Tholabul ‘Ilmi.
Aku hirup lagi udara pesantren, aku lihat kanan dan kiri tidak banyak berubah. Banyak santri lulusan dari pesantren lain yang melanjutkan di pesantren ini yang masyhur akan ilmu gramatika arab (Nahwu & Shorofnya) nya.
Hari pertama sekolahku dimulai, semua menerimaku dengan baik, dulu ketika aku dipulangkan, ibu meminta agar aku bisa diterima kembali setelah sembuh, Alhamdulillah semua pengurus meloloskan permintaan ibu.
Ternyata benar, dulu di kelasku yang muridnya jumlahnya dua puluh satu, sekarang mencapai dua puluh lima siswa, sambil menanti bel masuk kami berbincang-bincang mengenai kabar dll. Tidak terlewatkan Muhyi teman asal Jember, dia berdarah Jawa-Madura, orangnya lcu bila bebicara ala Maduranya.
“Kamu Amir ya?”. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dengan wajah yang serius.
“Ya.. Muhamad Amiruddin”. Aku perkenalkan diriku.
“Aku Hakim, Ro’is baru di kelas ini”. Katanya
“Ow.... kang Hakim, senang berkenalan dengan dirimu”. Aku ulurkan tangan sebagai salam perkenalan. Dia membalas uluran tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
“Mir, kami semua tahu tentangmu, kami mau menerimamu di kelas ini tapi dengan syarat kamu harus mampu menjawab tantangan dari kami”. Kata kang Hakim
“Maksudmu?”. Aku bertanya, tidak faham apa yang dipikirkanya.
“Kamu tahu kan, kelas ini mendapat prestasi terbaik diantara kelas-kelas yang lain. Aku hanya tidak ingin semua menjadi berantakan hanya karena satu orang”. Jawabnya.
“Jadi kamu meragukanku?”. Tanyaku pelan.
“Hanya memastikan”. Jawabnya
“Kang hakim sampean itu ngomong apa? Semua berhak belajar di kelas ini tidak terkecuali Amir..!!”. Dengan nada marah Muhyi membelaku.
“Ini bukan urusanmu yi, jawabanya Amir yang aku tunggu”. Kata kang Hakim dengan tegas, sepertinya tidak bisa ditawar lagi.
Aku pandang Muhyi, aku beri isyarat agar dia diam saja.
“Baiklah aku terima tantanganmu, katakanlah !”. aku jawab dengan tenang.
“Peraturanya mudah, tiap-tiap anak dari kelas ini mengajukan pertanyaan tentang Nahwu dan Shorof kepadamu, kamu cukup menjawabnya, tapi ingat tidak satupun boleh salah, kamu sanggup?”. Tantangnya.
“Insya Allah.. Tegasku. Tapi harus ada yang lebih senior !”. aku mencoba usul.
“Ya.. jangan khawatir semua telah diatur, besok setelah Sholat Jum’at kita berkumpul di sini, dan telah diputuskan penengahnya adalah kang sugiarto, senior kita”. Kata kang hakim
“Setuju...!!!!”. jawab mereka serempak, hanya Muhyi yang kelihatanya agak berat.
*setelah Sholat Jum’at.
Waktu telah ditentukan, semua sudah berkumpul, aku tatap mereka semua, sepertinya mereka telah mempersiapkan pertanyaan khusus untukku, yang harus aku jawab tanpa satu pun yang meleset. “Ya Allah tolong lah aku”. Do’aku dalam hati.
“Kamu siap?”. Tanya kang Sugiarto sambil mengelus-elus jenggotnya.
“Insya Allah”. Jawabku tenang.
Satu persatu dari murid yang ada mengajukan pertanyaanya, berkali-kali terdengar “Kang Amir , apakah menurutmu susunan kalimah seperti ini dan seperti ini dan apa alasanya”. Aku hanya menggelengkan kepala mendengar pertanyaan mereka. Melihat jawaban yang ada dariku mereka tersenyum puas, karena mereka berhasil memepermalukanku. Sebenarnya aku hanya pura-pura tidak tahu dengan tujuan agar semua yang hadir menyampaikan seluruh pertanyaanya. Setelah semua pertanyaan diajukan, aku mencoba menjelaskan panjang lebar dari seluruh pertanyaan yang ada. “teman-teman sekalian yang saya hormati. Saya datang dari Kandangan ke kota Kediri merasa sangat senang karena banyak  berjumpa dengan teman lama dan baru yang tentunya lebih mendalam ilmunya yang harus saya timba. Saya yang masih awam ini ingin mencoba untuk sedikit menjelaskan jawaban dari pertanyaan yang  teman-teman sampaikan. Untuk pertanyaan pertama yang benar seperti ini dan alasanya seperti ini, untuk pertanyaan yang kedua seperti ini alasanya seperti ini, dan seterusnya”. Penjelasanku ini disambut decak kagum para murid yang hadir di situ. Kang Sugiarto memutuskan ternyata tidak satupun penjelasan yang aku sampaikan meleset, tiga puluh lebih pertanyaan berhasil aku jawab dengan tepat. Lalu aku berlari keluar dari kelas. Aku berjalan dengan cepat, aku rasakan ada dua tangan memegang pundakku, aku menoleh, aku melihat kakek dan ibu tersenyum memendangku dan berkata “kamu berhasil nak”. Tiba-tiba mereka hilang, aku terus berlari dan berlari, jalanku masih panjang, aku tidak boleh berhenti di sini.
Ayah... ibu.. kakek... akhirnya aku temukan.
Terimakasih semuanya.

Oleh: M. Aminuddin
PPMT
June 28, 2013 Add Comment

Revitalisasi Peran dan Fungsi Pesantren

Sampai saat ini, pesantren masih diakui sebagai sistem pendidikan yang genuin dari sistem pendidikan nasional. Anggapan seperti ini muncul bukan tanpa sebab. Pesantren lahir bersamaan dengan awal masuknya Islam. Sekalipun pada saat yang paling awal Islam masuk, pesantren belum juga tampak. Namun, gaya dan sistem pendidikan yang dipakai oleh penyebar agama Islam sama halnya dengan pesantren masa kini. Tentu saja, ada banyak perubahan dan modifikasi sesuai dengan tuntutan zaman. Sistem dan gaya pendidikan seperti pesantren ini, bukan hasil impor dari luar, tetapi merupakan hasil produksi bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu, pesantren juga dalam pandangan banyak, seperti Abdurrahman Wahid, orang adalah sub-kultur dari bangsa Indonesia. Pandangan semacam ini muncul seiring dengan tradisi yang berkembang dipesantren ternyata berbeda dengan tradisi yang ada diluar pesantren. Disamping itu, masih banyak peneliti, cendikiawan yang masih memadang sebelah mata terhadap pesantren. Pesantren dianggap kumuh, tradisionalis, konservatif dan masih banyak yang lain. Akan tetapi, diakui atau tidak, pesantren telah banyak memberikan konstribusi dalam menghantarkan bangsa Indonesia kearah yang lebh prospektif. Pesantren pada saat pembentukan awalnya bukan hanya dijadikan sarana transformasi pengetahuan, tetapi juga untuk melindungi masyarakat dari pelbagai ancaman dari luar. Bahkan, pesantren juga-yang sangat disesalkan-terkadang dijadikan lahan untuk bisnis semata, bukan oreintasi pengabdian masyarakat. Maka tidak mengherankan manakala ada pesantren yang mahal, mencekik leher sementara sistem pendidikan didalamnya semakin tidak karuan. Beberapa bulan yang lalu, saya pernah mengunjugi salah satu pesantren yang demikian. Perguruan tinggi yang ada didalam pesantren jauh lebih mahal daripada yang ada diluar pesantren, sementara pendidikan didalamnya sama sekali tidak menjanjikan baik posisinya sebagai tafaqquh fi al-din maupun pendidikan moral. Padahal, pesantren merupakan dibangun untuk menfasilitasi masyarakat yang secara ekonomi berada dibawah standar. Ulasan diatas, memberikan gambaran akan beberapa peran dan fungsi ideal yang harus dijalankan oleh pesantren. Pertama, pesantren adalah diperuntukkan untuk kalangan menengah kebawah, sehingga biaya pendidikan dipesantren harus lebih murah daripada diluar pesantren. Kedua, pesantren adalah transformasi pengetahuan, dalam hal ini adalah pengetahuan agama. Karena itulah, arah pendidikan pesantren harus diarahkan pada pendalaman pengetahuan agama. Ketiga, pesantren ibaratnya rumah sakit yang didalamnya berisi orang-orang sakit dan pengajar/pendidik/pengasuh laksana dokter yang harus merawat pasien. Artinya, pesantren adalah rumah perbaikan moral dan akhlak masyarakat santri. Sehingga apapun bentuk dan gaya dari santri harus diarahkan pada moralitas dan akhlakul karimah. Hal yang sangat saya sesalkan saat berkunjung pada pesanrtren diatas. Salah satu pengurus pesantren merespon banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh santri. Ia dengan tegas berucap, kalau sampeyan tidak siap mondok disini, pulang saja; pondok ini tidak butuh sampeyan. Tanpa disadari, ungkapan seperti itu sebenarnya membawa banyak dampak negatif pada santri yang berada dipondok ataupun yang akan mondok. Jika memang demikian, posisi pesantren tidak lagi menjadi sarana perbaikan moral, tetapi ibarat sekolah-sekolah umum. Ingat, pesantren bukan seperti sekolah umum. Karakteristik genuin yang dimiliki oleh pesantren harus dipertahankan. Misalnya, pesantren A menonjol dalam hal ilmu alat (nahwu, sharrof), pesantren B lebih kuat pada fiqh dan ushul fiqhnya. Kesemua karakteristik itu harus dipertahankan tidak secara kaku. Yang perlu kita pikirkan bersama adalah peran dan fungsi pesantren pada masa sekarang. Perlu ditegaskan bahwa pesantren dengan seperangkat infastruktur yang dimilikinya seharusnya bisa memiliki tanggungajawab atas peran dan fungsinya. Jika tidak, pesantren akan segera gulung tikar dan hanya menjadi kenangan indah dimasa lalu. Kini, tinggal puing-puingnya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pengasuh dan pengurus pesantren. Pertama, pesantren sebagai alternatif pendidikan. Dengan mahalnya pendidikan-pendidikan umum, pesantren merupakan alternatif pendidikan bagi kalangan yang tidak mampu. Karena itulah, biaya pendidikan di pesantren harus diminimalisir. Jika memang pesantren tidak mampu, lalu kepada siapa lagi rakyat miskin yang memiliki inisiatif menyekolahkan anaknya akan mengaduh. Negara sebagai pemegang kekuasaan sudah tidak bisa diharapkan lagi. Kini, Indonesia sudah berada dalam jepitan kapitalisme global yang sangat tidak manusiawi. Kedua, pendidikan moral. Diakui atau tidak, moralitas merupakan pangkal dari krisis multidimensi yang berkepanjangan yang melanda bangsa Indonesia ini. Pemerintah, wakil rakyat, pejabat lemah dalam hal moralitas. Akibatnya, korupsi semakin tak tertandingi, lalai dalam menegakkan hukum, keadilan tidak segera tercapai, nepotisme dan kolusi merajalela. Bahkan, pembunuhan, konflik agama, pertengkaran merupakan dampak dari rendahnya moralitas bangsa. Agama dijadikan komoditas politik, legitimasi penguasa yang despotik, perampasan hak-hak asasi dan lain sebagainya. Ketiga, pesantren sebagai pusat studi agama. Salah sati ketegangan yang baru saja sedikit meredup adalah sistem pengajaran agama dalam Sisdiknas. Pro-kontra, bahkan penculikan, intimadasipun terjadi. Secara tidak langsung, pesantren sama sekali dinafikan. Sebab, pesantren yang selama ini dianggap sebagai pusat studi Islam pada kenyatannya masih diperbebatkan keberadaannya. Dalam salah satu diskusi dengan ketua Vihara Vidyasena (Buddha) Jogjakarta sempat mengatakan bahwa pendidikan yang paling berhasil itu dididik didalam keluarga, atau rumah suci agama masing-masing, seperti Vihara, Mesjid (Pesantren), Gereja dan sebagainya. Jika tidak, lalu apa tugas lembaga keagamaan seperti itu ? Karena itulah, tak ada alasan lain, kecuali revitalisasi fungsi dan peran pesantren, khususnya dimasa-masa yang akan datang. Tentu saja dengan beberapa catatan. Salah satunya adalah pesantren dituntut harus mampu untuk mentransformasikan pengetahuan agama kepada santrinya secara menyeluruh dengan pelbagai cara. Misalnya melalui perbaikan kurikulum, melengkapi sarana dan prasarana pesantren. Lalu, bisakah pesantren memainkan peran yang sebegitu penting dalam konteks keindonesiaan dimasa-masa yang akan datang ? Jawabannya terserah pada pemangku/pengasuh/pengurus/pengajar dari pesantren. Wallahu A’lam

Recent Post