Mengenal Sosok as-Sarkhasi dan Ushul as-Sarkhasi-nya

August 12, 2013 Add Comment
Mengenal Sosok as-Sarkhasi dan Ushul as-Sarkhasi-nya


Image
Ushul as-Sarkhasi
Dalam kajian ushul al-fiqh nama Abu Bakr Muhammad bin Abi Sahl as-Sarkhasi adalah nama yang tidak asing lagi. Ia termasuk salah satu ulama cerdas yang berdiri di garda terdepan madzhab Hanafi. Kedigdayaan intelektual dan kezuhudan yang luar biasa telah menempatkan dirinya sebagai al-Imam al-Ajall az-Zahid Syam al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam).
Tahun kelahiran as-Sarkhasi tidak diketahui secara pasti, bahkan tahun wafatnya pun diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan ia meninggal dunia di penghujung tahun 490 H. Riwayat lain mengatakan ia wafat pada tahun 483 H, bahkan ada yang mengatakan ia berpulang ke rahmatullah di penghujung tahun 500 H. Di antara warisan intelektual as-Sarkhasi yang dapat kita nikmati ialah kitab Syarh as-Siyar al-Kabir, al-Mabsuth, dan Ushul as-Sarkhasi.
Tokoh yang satu ini merupakan pakar fiqh sekaligus ushul fiqh Madzhab Hanafi. Melalui kitabnya yang dikenal dengan nama Ushul as-Sarkhasi ia menuangkan pikiran-pikirannya mengenai ushul al-fiqh untuk membela keputusan-keputusan hukum dari kalangan madzhab-nya. Dengan demikian, corak ushl fiqh-nya mengikuti thariqah al-hanafiyyah bukan thariqah al-mutakallimin. 
Dalam pengantarnya, as-Sarkhasi mengemukakan alasan yang mendorongnya untuk menulis kitab tersebut. Bermula setelah menulis anotasi (syarh) terhadap beberapa kitab Muhammad bin al-Hasan, kemudian ia berfikir untuk menjelaskan al-ushul yang melandasi anotasinya agar dapat mempermudah dalam memahami al-furu’. [Jilid, I, h. 10].
 
Membincang ushul al-fiqh berarti membincang metodelogi dan proses terbentuknya sebuah ketetapan hukum fiqh. Seorang dianggap sebagai ahli fiqh sejati jika dirinya memiliki setidaknya tiga hal. Pertama, ia memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang disyariatkan.Kedua, memiliki keahlian khusus dalam mengetahui hal-hal yang disyariatkan melalui nashberserta maknanya dan dapat memferifikasi al-ushul dengan pelbagai al-furu’-nya. Atau dengan kata lain dalam mengetahui hal-hal yang disyari'atkan tadi ia menggunakan metode analisis hukum. Ketiga, mengamalkan semua semua.

Karenanya, orang yang hanya hafal hal-hal yang disyari'atkan saja tapi tidak menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, maka ia bukanlah ahli fiqh sejati, tetapi lebih tepat disebut sebagai rawi. Sedang seandainya, ia hafal hal-hal yang disyari'atkan tersebut dan menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, tetapi tidak mengamalkanya, maka ia hanya disebut sebagai ahli fiqh yang parsial (min wajh duna wajh). [jilid, I, h. 10].

Pandangan di atas acapkali -menurut Khaled Abou El Fadl- menimbulkan ketegangan antara kelompok ahli fiqh dengan kalangan ahli hadits yang proses analisis hukumnya sebagian besar bersifat mekanis, yaitu hanya mencari-cari hadits yang cocok untuk dipasang pada persoalan yang dihadapi dalam situasi faktual. [Khaled M. Abou El Fadl, Speaking of God’s diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin, Atas Nama Tuhan, Serambi, h. 91-92].

Gaya penyusunan kitab as-Sarkhasi memang agak sedikit menyulitkan pembacanya. Sebab, dibutuhkan kemapuan prima dan ketelitian extra agar dapat menyambungkan hubungan antara bab yang satu dengan bab lainnya. Dan rasanya takterbantahkan bahwa argumen-argumen dan pemikiran ushul al-fiqh-nya yang nota benenya adalah sebagai penjelasan teoritis dari anotasinya atas kitab-kitab Muhammad bin Hasan layak untuk diperhitungkan.

Bab pertama yang dikupas as-Sarkhasi dalam kitabnya adalah mengenai amr (perintah) dannahy (larangan). Pilihan untuk meletakkan kedua hal tersebut pada pembahasan pertama bukan tanpa alasan. Menurutnya, pembahasan mengenai perintah dan larangan merupakan hal yang  mendasar karena sebagian besar ibtila` (ujian bagi manusia) itu berurusan dengan soal perintah dan larangan. Di samping itu, pengetahuan tentang keduanya akan dapat menyempurnakan pengetahun tentang ahkam dan perbedaan halal-haram. [Jilid, I, h. 11].

Adapun mengenai sumber-sumber hukum, yaitu al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas hanya disebutkan sekilas saja. Itu pun dalam rangka menjelaskan aborgasi (an-Nasikh wa al-Mansukh). [untuk lebih jelasnya lihat jilid, II, h. 65-86]. Lantas bagaimana kita bisa mengetahaui aborgasi? As-Sarkhasi mengatakan aborgasi dapat diketahui dengan sejarah. Dan pengetahuan tentang aborgasi juga dapat berguna menafikan adanya pertentantangan (ta’arudh) antar nash. Pandangan ini membawa kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya yang wajib adalah memahami sejarah (al-wajib fi al-ashl thalab at-tarikh).

Di samping itu dalam pandangan as-Sarkhasi asbab an-nuzul juga memeliki peran signifikan dalam menyelesaikan ta’arudh. Ia mengatakan bahwa apabila terjadi dua ayat yang saling bertentangan maka jalan keluarnya adalah kembali kepada asbab an-nuzul keduanya agar sejarah keduanya dapat diketahui. Jadi, pada dasarnya ta’arudh itu terjadi karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. [Jilid, II, h. 12 dan 13].

Konsekuensi dari pendekatan yang dilakukan as-Sarkhasi adalah bahwa kesimpulan hukum diambil dari kekhusuan sebab (al-‘ibrah bi khusush as-sabab). Hal ini juga menegaskan adanya hubungan antara realitas dan wahyu. Atau dengan kata lain, wahyu tidak turun diruang hampa. Tetapi, kembali kepada asbab an-nuzul bukan tanpa persoalan serius. Pandangan ini tetap menyisakan setidaknya dua persoalan yang harus segera diatasi. Pertama, tidak semua ayat al-Qur`an memiliki asbab an-nuzul. Kedua, riwayat yang beredar mengenai asbab an-nuzul masih dipertanyakan validitasnya. Lantas bagaiamana dengan jawaban as-Sarkhasi tentang kedua hal tersebut?

Karena keterbatasan ruang dan waktu saya tidak akan membahas bagaimana jawaban as-Sarkhasi mengenai kedua persoalan di atas. Tetapi hemat saya kitab Ushul as-Sarkhasi harus dibaca jika kita ingin melihat kepiawian argumentasi asr-Sarkhasi, terutama dalam membela dasar-dasar fiqh madzhab hanafi. Salam….

pondokpesantren.net
Tentang Kitab
Penulis   :  Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahl as-Sarkhasi
Judul : Ushul as-Sarkhasi
Penerbit  : Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Pentahqiq   : Abu al-Wafa al-Afghani
Cet   : Ke, II, tahun 1426 H / 2005 M
Tebal   : Dua jilid besar, 804 halaman.

Syekh Nawawi Banten

August 12, 2013 Add Comment
Syekh Nawawi Banten
Syekh Nawawi Banten (1230-1314 H/1813-1897 M) alias Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani Asy-Syafi’i adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau, dan Kiai Mahfudz Termas (wafat 1919-20 M).

Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani. Ia masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon). Istrinya yang pertama bernama Nasimah, juga lahir di Tanara. Darinya, Syekh Nawawi dikaruniai tiga putri, Nafisah, Maryam, dan Rubi’ah. Istrinya yang kedua, Hamdanah, memberinya satu putri: Zuhrah. Konon, Hamdanah yang baru berusia berlasan tahun dinikahi sang kiai pada saat usianya kian mendekati seabad. Pada usia 15 tahun, Nawawi muda pergi belajar ke Tanah Suci Makkah, karena saat itu Indonesia –yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada masyarakat.

Tak lama ia mengajar, hanya tiga tahun, karena kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, yang membuat ia tidak bebas bergiat. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana. Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, ia wafat pada 1316 H/ 1898 M.

Penulis Multi DimensiJejak Syekh Nawawi, baik melalui murid dan pengikutnya maupun melalui kitabnya, yang masih berpengaruh dan dipakai di pesantren hingga kini, benar-benar pantas menempatkannya sebagai nenek moyang gerakan intelektual Islam di Nusantara. Bahkan, sangat boleh jadi, ia merupakan bibit penggerak (King Maker) militansi muslim terhadap Belanda penjajah.

Sebagai pengarang yang paling produktif, Kiai Nawawai Banten punya pengaruh besar di dikalangan sesama orang Nusantara dan generasi berikutnya melalui pengikut dan tulisannya. Tak kurang dari orientalis Dr. C. Snouck Hurgronje memujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati. Ia menerbitkan lebih dari 38 kitab. Sumber lain mengatakan lebih dari 100 kitab.

Ia menulis kitab dalam hampir setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Berbeda dari pengarang Indonesia sebelumnya, ia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah (komentar) atas kitab yang telah digunakan di pesantren serta menjelaskan, melengkapi, dan terkadang mengkoreksi matan (kitab asli) yang dikomentari.

Sejumlah syarah-nya benar-benar menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (ia menulis paling sedikit dua kali jumlah itu) masih beredar dan 11 kitabnya yang paling banyak digunakan di pesantren. Syekh Nawawi Banten berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Ia memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya dan memperkayanya dengan menulis karya baru berdasarkan kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya. Semua kyai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka.

Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, pun termasuk siswanya. Muridnya yang lain antara lain, K.H. Hasyim Asy-ari, K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Raden Asnawi, dan K.H. Tubagus Asnawi.

Karya-karya Monumentalnyabeberapa karya monumentalnya antara lain adalah Qathr al-Ghaits, merupakan syarah dari kitab akidah terkenal, Ushul qBis, karya Abu Laits al-Samarqandi, yang di Jawa lebih dikenal sebagai Asmaraqandi. Bersama karya Ahmad Subki Pekalongan, Fath al-Mughits, yang merupakan terjemahan Jawa Ushul 6 Bis, Qathr al-Ghaits banyak dipakai dan menjadikanUshul 6 Bis lebih terkenal.

Ushul 6 Bis ialah karya tentang ushuluddin yang terdiri atas enam bab yang masing-masing dibuka dengan kata bismillah. Pada abad ke-19, Ushul 6 Bis merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari di pesantren tingkat rendah Indonesia. Dua kitab lain yang diajarkan di tingkat yang sama ialah kitab fiqh at-Taqrib fi al-Fiqh karya Abu Syuja’ al-Isfahani dan Bidayah al-Hidayah, ringkasan Ihya karya al-Ghazali.

Kitab Madarij al-Su’ud Ila Ikhtisah al-Burud, yang berbahasa Arab dalam berbagai terbitan merupakan adaptasi Indonesia kitab karya Ja’far bin Hasan al-Barzinji tentang Maulid an-Nabi (‘Iqd al-Jawahir). Karya acuan lain yang paling penting ialah Minhaj at-Thalibin dan komentarnya atas karya Khatib Syarbini, Mughni al-Muhtaj. Minhaj yang menjadi dasar utama semua teks juga dianggap sebagai sumber riil otoritas.

Teks dasar dalam bidang akidah ialah Umm Al-Barahin (disebut juga Al-Durrah) karya Abu’Abdullah M. bin Yusuf al-Sanusi (wafat 895 H/ 1490 M). Syarah yang lebih mendalam, yang dikenal sebagai as-Sanusi, ditulis oleh pengarangnya sendiri. Karya lain yang sebagain didasarkan atas As-Sanusi ialah Kifayah al-‘Awwam karya Muhammad bin Muhammadal-Fadhdhali (wafat 1236 H/ 1821 M) yang sangat popular di Indonesia.

Murid Fadhali, Ibrahim Bajuri (wafat 1277 H/1861 M) menulis syarah-nya, Taqiq al-Maqam ‘Ala Kifayah al’Awwam, yang dicetak bersama Kifayah dalam edisi Indonesia. Syarah ini di-hasyiyah-kan oleh Nawawi Banten dalam karya yang banyak dibaca orang, Tijan ad-Durari.

Tidak hanya itu, syekh Nawawi juga menulis kitab yang digunakan untuk anak-anak dan remaja. Kitab singkat berbentuk sajak bagi mereka yang berusia belia dan baru mengerti bahasa Arab, ‘Aqidah al-Awwam, ditulis oleh Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Makki yang giat kira-kira 1864. Syekh Nawawi menulis syarah yang terkenal atasnya, Nur Azh-Zhalam.

Nasha’ih al-‘Ibad juga merupakan karya lain Syekh Nawawi. Kitab ini merupakan syarah atas karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, an-Nabahah ‘ala Isti’dad. Kitab ini memusatkan pembahasan atas adab berperilaku dan seiring dijadikan karya pengantar mengenal akhlak bagi santri yang lebih muda.

Syekh Nawawi juga menulis syarah berbahasa Arab atas Bidayah al-Hidayah karya Abu Hamid al-Ghazali dengan judul Maraqi al-‘Ubudiyah yang lebih popular, jika dinilai dari jumlah edisinya yang berbeda-beda yang masih dapat ditemukan hingga sekarang. ‘Uqd al-Lujain fi Huquqf az-Zaujain ialah karya Nawawi tentang hak dan kewajiban istri. Ini adalah materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan dan syarah-nya dalam bahasa Jawa beredar, Hidayah al-‘Arisin oleh Abu Muhammad Hasanuddin dari Pekalongan dan Su’ud al-Kaumain oleh Sibt al-Utsmani Ahdari al-Jangalani al-Qudusi.

Tokoh Sufi Qodiriyah
Syekh Nawawi juga dicatat sebagai tokoh sufi yang beraliran Qadiriyah, yang didasarkan pada ajaran Syaikh Abdul-Qadir al-Jailani (wafat 561 H/ 1166M). Sayang, hingga riwayat ini rampung ditulis, penulis belum mendapatkan bahan rujukan yang memuaskan tentang Syekh Nawawi Banten sebagai pengikut tarekat Qadiriyah ataukah tarekat gabungan Qadiriyah wa Naqshabandiyah.

Padahal, pembacaan sejak lama kitab Manaqib Abdul Qadir pada kesempatan tertentu merupakan indikasi kuatnya tarekat ini di Banten. Bahkan, Hikayah Syeh, terjemahan salah satu versi Manaqib, Khulashah al-Mafakhir fi Ikhtishar Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadirkarangan ‘Afifuddin al-Yafi’i (wafat 1367M), sangat boleh jadi dikerjakan di Banten pada abad ke-17, mengingat gaya bahasanya yang sangat kuno. Lebih dari itu, pada pertengahan abad ke-18, Sultan Banten ‘Arif Zainul ‘Asyiqin, dalam segel resminya menggelari diri al-Qadiri.

Seabad kemudian, mukminin dari Kalimantan di Makkah, Ahmad Khatib Sambas (wafat 1878), mengajarkan tarekat Qadiriyah yang digabungkan dengan Naqshabandiyah. Kedudukannya sebagai pemimpin tarekat digantikan oleh Syaikh Abdul Karim Banten yang juga bermukim di Makkah. Di tangannya, tarekat gabungan ini berkembang pesat di Banten dan mempengaruhi meletusnya Geger Cilegon pada 1888 dan amalannya melahirkan debus.

Begitulah, Syeikh Nawawi bin ‘Umar al-Bantani yang hidup kira-kira satu abad setelah ‘Abd as-Samad al-Falimbani disebut dalam isnad kitab tasawuf yang diterbitkan oleh ahli isnad kitab kuning Syekh Yasin Padang (Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani) sebagai mata rantai setelah ‘Abd as-Samad.

Syekh Nawawi yang sangat produktif itu juga menulis kitab syarah, Salalim al-Fudhala’, atas teks pelajaran tasawuf praktis Hidayah al-Adzkiya’ (Ila Thariq al-Auliya’) karya Zain ad-Din al-Malibari yang ditulis dalam untaian sajak pada 914 H/ 1508-09 M. kitab ini popular di Jawa, misalnya disebutkan dalam Serat Centhini. Salalim dicetak di tepi Kifayah al-Ashfiya’ karya Sayyid Bakri bin M. Syaththa’ ad-Dimyati.

Penyumbang Ilmu FiqhSyekh Nawawi termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan sangat penting bagi perkembangan ilmu fiqh di Indonesia. Mereka memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqh penting dan mereka mendidik generasi ulama yang menguasai dan memberikan perhatian kepada fiqh.

Ia menulis kitab fiqh yang digunakan secara luas, Nihayat al-Zain. Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrat al-‘Ain, yang ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M). ulama India ini adalah murid Ibnu Hajar al-haitami (wafat 973 M), penulis Tuhfah al-Muhtaj, tetapi Qurrat dan syarah yag belakangan ditulis al-Malibari sendiri tidak didasarkan pada Tuhfah.

Qurrat al-‘Ain belakangan dikomentari dan ditulis kembali oleh pengarangnya sendiri menjadiFath al-Muin. Dua orang yang sezaman dengan Syekh Nawawi Banten di Makkah tapi lebih muda usianya menulis hasyiyah (catatan) atas Fath al-Mu’in. Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi menulis empat jilid I’aanah at-Thalibbin yang berisikan catatan pengarang dan sejumlah fatwa mufti Syafi’i di Makkah saat itu, Ahmad bin Zaini Dahlan. Inilah kitab yang popular sebagai rujukan utama.

Syekh Nawawi Banten juga menulis dalam bahasa Arab Kasyifah as-Saja’, syarah atas dua karya lain yang juga penting dalam ilmu fiqh. Yang satu teks pengantar Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M). yang lain ialahSafinah an-Najah ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir, ulama Hadrami yang tinggal di Batavia (kini: Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.

Kitab daras (text book) ar-Riyadh al Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dh Furu’ asy-Syari’ah yang membahas butir pilihan ajaran dan kewajiban agama diperkenalkan oleh Kyai Nawawi Banten pada kaum muslimin Indonesia. Tak banyak diketahui tentang pengarangnya, Muhammad Hasbullah. Barangkali ia sezaman dengan atau sedikit lebih tua dari Syekh Nawawi banten. Ia terutama dikenal karena syarah Nawawi, Tsamar al-Yani’ah. Karyanya hanya dicetak di pinggirnya.

Sullam al-Munajat merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalahkarangan Abdullah bin ‘Umar al-Hadrami, sedangkan Tausyih Ibn Qasim merupakan komentarnya atas Fath al-Qarib. Walau bagaimanapun, masih banyak yang belum kita ketahui tentang Syekh Nawawi Banten. (ditulis oleh Martin Muntadhim S.M.) [ ]

TANTANGAN YANG DIHADAPI PARA PEMUKA AGAMA, ULAMA' DAN KIYAI

August 12, 2013 Add Comment

Oleh : H. S. Prodjokusumo

                Para pemuka agama khususnya agama Islam yaitu kiyai, ulama’ dan para pemimpin ormas islam dan pesantren dalam era globalisasi dewasa ini menghadapi banyak tantangan, baik yang bersifat interen maupun eksteren.
                Para pemimpin agama itu mempunyai ummat/qaum/pengikut yang diberi bimbingan dan arahan dalam kehidupan beragama. Moderenisasi dalam segala bidang kehidupan telah berpengaruh besar dalam terhadap pola pikir, prilaku, dan pola kehidupan manusia, termasuk ummat yang berada dalam bimbingan para pemuka agama.
                Seseorang dalam kedudukan apa saja dalam kndisi bagaimanapun pada umumnya yang dipikirkan dan diupayakan dalam sehari-hari, adalah yang pertama yang diutamakan yaitu bagaimana cara agar hidupnya lebih ringan, ekonomi rumah tangganya bertambah baik, dapat membiayai sekolah anak-anaknya, agar dapat mengawinkan anaknya yang sudah dewasa dan lain-lainya.
                Orang tidak bisa cepat tidur, orang melewatkan waktunya untuk berenung, mondar mandir mencari pekuang untuk mendapatkan tambahan penghasilan itu terjadi setiap hari dimana-mana.
                Apa yang dapat diberikan oleh pemuka agama kepada ummatnya yang sedemikian rupa itu? Nasehat, tuntunan dan bimbingan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Sampai dimana dampak nasehat yang terkandung dalam ceramah, khutbah dan sebagianya itu terhadap problem yang dihadapi oleh ummat yang sedang dalam keadaan krisis ekonomi rumah tangga? Terhadap masalah pelik yang dihadapi oleh buruh terhadap majikanya, terhadap sengketa tanah yang dihadapi oleh petani?
                Hal-hal tersebut masih disebut masalah interen yaitu pemuka agama dan ummatnya. Dengan dugaan bahwa warga Indonesia yang memeluk agama Islam itu berjumlah 160 juta orang, berapa juta yang berada dalam bimbingan langsung oleh para pemuka agama, seperti para santri oleh kiyainya, organisasi Islam oleh para pemimpinya. Kami kira belum ada 40% dari 160 juta jiwa, sehingga yang 60% lainya belum terjangkau oleh bimbingan para pemuka agama.
                Pada umumnya dari mereka itu merasa bahwa dirinya masih belum memerlukan bimbingan pemuka agama, bahkan mereka belum merasakan kebutuhan agama, tidak punya masalah apa-apa dengan kehidupan beragama, hal seperti ini yang boleh disebut tantangan eksteren.
                Para pemuka agama dan para budayawan, misalnya sangat memprihatinkan terhadap penayangan tv yang isinya banyak yang bertentangan dengan norma-norma agama, , khususnya Islam, bagi mereka yang merasa tiak punya masalah tentang agama, akan mengambil sikap masa bodoh dan tida kada kepedulian sama sekali.
                Akan tetapi semua orang akan merasa prihatin terhadap meningkatnya kasus perkosaan, perampokan, pembunuhan dan sebagainya, karena dalam dirinya ada rasa kehawatiran kalau sampai kasus seperti itu dapat menimpa dirinya atau keluarganya. Bukan pertama-tama  karena agama.
                Yang menjadi tantangan para pemuka agama yaitu bagaimana caranya agar dakwahnya, khuthbahnya dan bimbinganya dapat menjangkau yang 60% pemeluk agama Islam. Kendala yang dihadapi para pemuka agama itu sangat banyak.
                Satu persatu hal itu menjadi tantangan besar dan berat bagi seluruh pemuka agama. “apabila pemuka agama tidak dapat menjawab problematika ummatnya, kemungkinan besar ummat itu akan meninggalkan agamanya *pemuka agama)

NAMA-NAMA DEWAN ASATIDZ DAN ASATIDZAH MADRASAH ISLAMIYAH HIDAYATUL MUBTADI'IN (PPMT Kebondalem)

August 03, 2013 Add Comment


NO
NAMA
ALAMAT
1
K. IMAM BAIHAQI
Kebondalem
2
Gus Romly Alwi
Kebondalem
3
Gus Ahmad Dimyati
Kebondalem
4
K. Asmu’i
Kebondalem
5
Ustadz sirojul Munir
Kebondalem
6
Ustadz yasin
Kebondalem
7
Ustadz H. Zuhri
Kebondalem
8
Ustadz Habib Mustofa
Kebondalem
9
Ustadz Ali Wafa
Kebondalem
10
Ustadz Suprapto
Kebondalem
11
Ustadz Yusuf
Kebondalem
12
Ibu Laili Fauzia
Kebondalem
13
Ibu Robi’atul Adawiyah
Kebondalem
14
Ibu Siti Zaenab
Kebondalem
15
Ibu Saidah
Kebondalem
16
Ustadz sugi’
PPMT
18
Ustadz muhyidin
PPMT
19
Ustadz sholeh
PPMT
20
Ustadz Nur Hakim
PPMT
21
Ustadz Sa’dul Kholiq
PPMT
22
Ustadz Abi Tholhah
PPMT
23
Ustadz Aufi
PPMT
24
Ustadz Aminuddin
PPMT
25
Ustadz Luqman
PPMT
26
Ustadz Miftahuddin
PPMT
27
Ustadz Thoha Sugianto
PPMT
28
Ustadz Roghibin
PPMT
29
Ustadz Abdul Hamid
PPMT
30
Ustadz Solihuddin
PPMT
31
Ustadz Zakaria Anshori
PPMT
32
Ustadz Saiful Rohman
Bioro
33
Ustadz Abdul Rosyad
Jeruk Wangi
34
Ustadz Mustofa
Jeruk Wangi
35
Ustadz Syafi’uddin
Nggregeng
36
Ustadz Asyrofi
Bukur
37
Ustadz Antoni
Bukur
38
Ustadz Zainul
Banaran
39
Ustadz Kholifi
Kauman
40
Ustadz Anshori
Kauman
41
Ustadz Badlowi
Pandean
42
Ustadz Qomari
Pandean
43
Ustadz Jaelani
Bacem
44
Ustadz sya’roni
Bacem
45
Ustadz Sutarto
Bulurejo
46
Ustadz Ulin Nuha
Bulurejo
47
Ustadz Muhklisin
Bulurejo
48
Ustadz Ulil Absor
Bulurejo
49
Ustadz Badlowi
Brumbung
50
Ustadz Umar Hadi
Moro Rejo
51
Ustadz Subakir
Jati Sari
52
Ustadz Hamim
Kecik
53
Ustadz Romdhon
PPMT
54
Ustadz Wahab
Payak
55
Ustadz Syaifuddin Ma’mun
Banaran
56
Ustadz rofik
Kasembon
57
Ustadz Fathr Rohman
Banaran
58
Ustadz Muhaimin
Banaran
59
Ustadz Hamidi
Mlancu
60
Ustadz Shodiq
Urap- urap
61
Ustadz Irfan
Ngaglik
62
Ustadz Khoirul
Kacangan
63
Ustadz asrur Ma’arif

64
Ustadz Munir

65
Ustadz Ali Mashur

Recent Post