AL HALLAJ

September 26, 2013 Add Comment



Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.

Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."
Al Hallaj
Kehidupan Al-Hallaj
Masa kanak-kanak
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.

Masa remaja
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.

Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.

Menjadi guru
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.

Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
‘Akulah Kebenaran!’  dan hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.

Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.

Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.

Al-Hallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H). kehidupannya,
pengembaraannya dan pandangan hidupnya serta faham tasawufnya, semuanya telah menggegerkan dunia fiqih. Beratus ulama fiqh menentangnya dan beratus pula membelanya. Dia dihukum mati dengan kejam sekali, karena ajarannya dipandang oleh ulama-ulama dizamannya merusak kepada pokok kepercayaan Islam. Pendekatannya asal saja orang menyelami perkembangan ilmu tasawuf dalam Islam orang senantiasa akan bertemu dengan al-Hallaj. Dalam makalah ini akan mencoba menjelaskan tentang perjalanan hidup al-Hallaj dan ajaran yang seperti apa yang akhirnya membawa al-Hallaj dalam kematian.

Tasawuf secara tekstual dalam al-Qur’an tidak ditemukan, akan tetapi secara tersirat dalam tasawuf ada ajaran tawakal (QS.3;159), zuhd (QS.12;20), sabar (QS. 16-42) dll.  Yang kemudian diamalkan dalam dalam kehidupan sehari-hari oleh umat islam sebagaimana dicontohkan Rasul SAW. Orang kemudian menyebutnya tasawuf amali (akhlaki/syari’at/sunni), artinya amalan lahiriyah yang berkaitan dengan anggota jasmaniah manusia. Oleh karena itu seorang salik yang ingin mencapai wilayah esoteris (batin) harus melewati amalan lahiriyah[1]. Sayyid Haidar Amuli menyatakan bahwa hamba yang sampai
kehadirat Tuhan yang utuh dan menyeluruh adalah melalui syari’ah, thariqah dan hakik. Adapun tokoh-tokoh tasawuf amali diantaranya Hasan Bisri Junaidi al-Baghdadi, Al-Ghazali, Rabi’ah Adawiyah, Dzun al-Nun al-Misri. Ciri utama tasawuf amali adalah berupa perjumpaan atau penyaksian “syuhud visison” yang didapatkan melalui al-Maqomat-maqomat. Aliran ini berketetapan bahwa jagad raya dan isinya adalah ciptaaan Tuhan sehingga yang dicipta dan Pencipta terdapat jurang pemisah (Tuhan transenden) yang tidak dapat disatukan.
Seiring dengan perkembangan zaman, tasawuf islam mengalami persentuhan dengan peradaban Yunani, islam menularkan akidah dan ibadah kepada orang-orang yang mewarisi peradaban Yunani sebaliknya orang-orang yang berbau Yunani mewariskan peradabanya kepada orang-orang islam. Kemudian munculah pola fikir filsafat untuk memahami tasawuf. Plato berpendapat bahwa “yang ada” kekal dan tunggal ada di alam “idea”, sedang yang ada beraneka adalah bayangan dari “yang ada” sesungguhnya. Jadi Plato berusaha mencari yang transenden, non empiris. Salah satu yang ‘dikategorikan’ sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah seperti Al-Hallaj.
Pada umumnya penganut tasawuf falsafi bermazab syi’ah, pola fikirnya mu’tazilah sehingga orang menyebutnya tasawuf syi’i. Ciri utama tasawuf ini adalah terjadinya penyatuan (ittihad, union, jumbuh) dengan “yang ada” itu dalam mistik Jawa dikenal dengan istilah “Manunggaling Kawulo Gusti” (wihdatul wujud).Ana al-Haq (akulah Tuhan) perkataan al-Hallaj yang terkenal pada abad 9 – 10 H sampai mengantarkanya kepada kematianya yang tragis. Bagi ulama’ ortodoks (islam eksoteris) menolak pandangan penyatuan manusia dengan Tuhan. Ulama’ sufi sendiri yang sezaman dengan dirinya al-Hallaj, kaget. Seharusnya al-Hallaj dapat menyembunyikan pengalaman batiniyahnya untuk dirinya sendiri dan eksekusi atas dirinya merupakan murka Allah lantaran ia mengungkapkan segenap kerahasiaan ilahi. Tetapi al-Hallaj dengan kitab Tawasimnya menjawab jalan pikiranya sebenarnya, tanpa bermaksud mengaku dirinya sebagai Tuhan.

PEMBAHASAN
A.Biografi
Nama lengkapnya al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin
Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada
tahun 244 H/858 M. dan dia mulai dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Ketika
usia 16 tahun, yaitu di tahun 260 H (873 M), dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang besar dan terkenal, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tusturi di negeri Ahwaaz. Selama 2 tahun lamanya dia belajar kepada sufi besar itu. Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah dan belajar kepada Sufi ‘Amar al-Makki, di tahun 264 H (878 M) dia masuk ke Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu dia pun pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengamalan dalam ilmu tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang syeikh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntutannya. Dan tiga kali dia naik Haji ke Mekkah.

Saat pergi ke Mekkah untuk pertama kalinya dalam rangka menunaikan
ibadah haji, dan kembali ke Baghdad, mulailah ia memperoleh murid atau pengikut yang semakin lama semakin banyak. Ia juga melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Ahwaz, Khurasan, Turkistan, dan bahkan juga ke India. Dimanapun ia berada, ia melaksanakan dakwah, mengajak umat agar mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Hallajiyah, makin bertambah besar. Para pengikutnya itu yakin bahwa ia adalah seorang wali, yang memiliki berbagai kekeramatan.

Dia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara
kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi,
yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih. Al-
Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan
"pemerintah yang bersih" dari Nash al-Qusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya,
karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan
hanya merupakan lambang saja. Mungkin karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maka benar); dan menyatakan bahwa ibadah haji tidak wajib).

Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia
dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati
kepadanya. Dari Baghdad dapatlah ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas.
Disinilah ia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun pada tahun 301 H / 930 M. dapat ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.Konon al-Hallaj menghadapi hukuman itu dengan penuh keberanian dan berkata pada saat di salib : "Ya Allah, mereka adalah hamba-hambaMu, yang telah terhimpun untuk membunuhku, karena fanatik pada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Ampunilah mereka, sekiranya Engkau singkapkan kepada mereka apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan memperlakukan seperti ini".

B. Karya-karya al-Hallaj
Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku.
Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit
dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.

Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan,
kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.

C.Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
1. Hulul
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut,
demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan
meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian
itu memungkinkan untuk hulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain,
Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu
roh. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan.

Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat Al Qur'an:
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah
kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS.
Al-Baqarah : 34).

Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-
Haq" bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang
mengambil dalam dirinya.
Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan
maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-
Hallaj mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan semua kecenderungan
dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli), khayalan,
perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan
tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana
dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.

2.Al-Haqiqatul Muhammadiyah
Yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan
dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantaranyalah seluruh alam ini dijadikan.
Al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda
satu sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah
ada sebelum adanya segala yang maujud ini dan pengetahuan yang gaib. Yang
kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh tempat
dan waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.
Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil sebagai
manifestasi sempurna pada manusia. Dari sini al-Hallaj menampilkan Insan Kamil
itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri melainkan kepada diri Nabi Isa al-
Masih. Bagi al-Hallaj, Isa al-Masih adalah al-Syahid ala wujudillah, tempat tajalli
dan berujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada
pada kehidupan Isa al-Masih itu.

3.Kesatuan Segala Agama
Nama Agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan
yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja.
Nama berbeda, maksudnya satu. Segala agama adalah agama Allah
maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam
satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara
ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Pendirian ini
disandarkannya kepada ketentuan (takdir) yang telah ditentukan Tuhan Allah.
Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan
dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi perdalamlah pegangan dalam agama masing-masing.

D. Respon Ulama terhadap Ajaran al-Hallaj.
Berbagai ragam perkataan orang tentang al-Hallaj. Setengahnya mengkafirkan dan setengahnya lagi membela. Beberapa perkataan, terutama dari pihak kekuasaan pada masa itu tersiar bahwasanya ajaran al-Hallaj sangat merusak ketenteraman umum.
Kebanyakan kaum fiqhi mengkafirkannya,dengan alasan bahwasanya,
mengatakan bahwa dari manusia bersatu dengan Tuhan, adalah stirik yang besar, sebab mempersekutukan Tuhan dengan dirinya, oleh karena itu hukum bunuh yang diterimanya adalah hal yang patut. Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, pengrang yang ternama Ibnu Nadim dan lain lain berpendapat demikian. Tetapi ulama-ulama yang lain seperti Ibnu syuriah, seorang ulama yang sangat terkemuka dalam madzhab Malik, telah memberikan jawaban: “Ilmuku tidak mendalam tentang tentang dirinya, sebab itu saya tidak berkata apa-apa. Imam Ghozali seketika ditanya orang pula pendapatnya, tentang Al Hallaj “Ana’l Haaq” itu, telah menjawab:”Perkataan yang demikian keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah,Apabila cinta sudah sekian mendalamnya, tidak dirasakan lagi perpisahan diantara diri dengan yang dicintai.Sedangkan Ad-Damiri pengarang “Hayatul Hayawan” berkata: “bukanlah perkara mudah mudah menuduh seorang Islam keluar dari dalamnya. kalau kata-katanya masih dapat dita’wilkan (diartikan lain),lebih baik diartikan yang lain. Karena mengeluarkan seseorang dari lingkungan Islam, adalah perkara besar. Dan bergesa-gesa menjatuhkan hukum begitu, hanyalah perbuatan orang jahil.

ANALISIS
Hulul yaitu ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut). Dan menurut
al-Hallaj bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Sesuai
dengan ajarannya, al-Hallaj mengatakan "Aku adalah Haq".
Persatuan antara Tuhan dan Manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk
hulul. Agar manusia dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya.
Setelah manusia memahami dan bisa melaksanakan maka akan dengan mudah
memahami dan merasakan hulu seperti yang dialami oleh al-Hallaj.
Tentang pluralisme agama yang ada di dunia ini pada dasarnya itu hanyalah
perbedaan nama saja. Tetapi hakekatnya adalah satu. Mereka mempunyai tujuan yang sama yaitu menuju Allah. Hanya isi dan jalan yang ditempuh dalam menuju Tuhan (beribadah) berbeda. Jadi walaupun kita berlainan agama tidak perlu saling mencela dan berselisih. Yang terpenting adalah bagaimana kita lebih mendalami ajaran kita masing-masing.

KESIMPULAN
Nama al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-
Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H / 858 M. Al-Hallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H).
Karena ucapannya "Ana al-Haq (Akulah yang maha benar)", al-Hallaj dipenjara.
Yang akhirnya pada tahun 309 H / 921 M al-Hallaj dihukum mati.
Ajaran Tasawuf al-Hallaj yaitu tentang :
1. Hulul
2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah
3. Kesatuan segala agama.

Kitab karya al-Hallaj mencapai 48 buah buku. Kitabnya antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.

____________oOo___________


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Asmara As, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Islam Tidak Akan Pernah Kompromi Dengan Zina

September 26, 2013 Add Comment


Hubungan seksual itu boleh dan halal asalkan dilakukan bersama pasangan yang sah, yang diikat tali pernikahan. Kalau hubungan seks itu dilakukan bersama pasangan tanpa ikatan tali pernikahan, itu disebut zina. Dan inilah yang dilarang, mencoba melanggarnya berarti dia berani merintis jalan masuk neraka kelak di alam akherat.  Mari kita renungkan firman Allah berikut ini: “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia dapat (pembalasan) dosanya, akan dilipat-gandakan azab (siksa) untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina.” (Qur’an surat al-Furqan: 68-69).

Allah juga telah memperingatkan tentang buruknya perbuatan zina dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan  yang keji dan merupakan jalan yang buruk.”  (Qur’an surat al-Isra: 32).
Sesunggunya setiap orang memiliki  peluang yang sama untuk berbuat zina dengan siapa saja, kapan saja, dimana saja, asalkank mau melakukannya. Nah, yang hebat tentu dia yang tidak mau melakukan zina, padahal  kesempatan itu sangat terbuka baginya. Jadi janganlah bangga bagi yang punya hobi zina,karena tak ada hebatnya, karena itu juga bukan prestasi. Sebab banyak orang yang memiliki kesempatan luas untuk berzina, tapi tidak mau untuk melalukannya. Kalau demikian faktanya, lalu apa hebatntnya perbuatan zina itu? Nggak ada hebatnta bukan? Tapi ada lho, orang yang menganggapnya sebagai prestasi, dan karena itu dia merasa bangga karena berhasil ‘menaklukkan’ pasangan untuk diajaknya berbuat zina.
Bagaimana agar tidak terjerumus pada perbuatan zina?  Nabi Muhammad sang panutan ummat sejagat pernah memberikan kiat jitu, yaitu agar Anda memperkuat iman dalam dada. Inilah sabda beliau yang sangat terkenal dikalangan orang-orang beriman: “Tidak (akan) berzina orang yang berzina ketika akan berzina ia beriman. Tidak(akan) mencuri orng yang mecuri ketika akan mencuri ia beriman. Dan tidak (akan) meminum arak ketika akan meminumnya ia beriman.” (Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Jadi menurut Nabi Muhammad, seseorang itu tidaklah akan melakukan zina jikalau pada waktu akan berzina imannya lebih dominant  ketimbang nafsunya. Begitu juga tidak akan mencuri, tidak akan minum arak, tidak akan korupsi, kalau saja ketika akan melakkukan maksiat-maksiat itu imannya sedang kuat-kuatnya (lebih dominant atau sempurna). Lantaran pada saat itu imannya tidak sempurna, tidak kuat, tidak lebih dominant dibanding maksiat yang akan dilakukannya, maka lunturlah perasan takutnya akan dosa yang ada dibalik perbuatan maksiat tersebut. Sehingga begitu mudah dia melakukannya, akhirnya dia menjadi pelaku pelanggaran larangan Allah swt. Hal ini juga bisa terjadi  akibat dari selalu menuruti keinginan hawa nafsu yang lebilh dominant  ketimbang iman yang ada di dalam hatinya.
Alangkah jeleknya  stigma yang diberikan Allah kepada orng-orang yang dalam menjalani kehidupannya senantiasa diperbudak keinginan nafsunya. Apalagi kalau sampai menyembah nafsu dengan cara rela mengorbankan apa saja asalkan nafsunya terpuaskan. Orang-orang hamba nafsu ini  oleh Allah dianalogikan sama seperti binatang ternak. Dan kenyataannya memanglah demikian adanya. Bahkan orang ini bisa lebih sesat daripada binatang, jika dikaitkan dengan perilaku binatang dalam melampiaskan nafsu seksnya. Apa pasalnya? Ya, hanya ayam, kambing, (maaf) anjing atau babi dan binatang lain  saja yang pantas melakukan zina. Sebab mereka nggak perelu nikah, tak perlu ikatan resmi. Kita lihat, ayam melakukakn hubungan intimnya dengan ayam betina yang mana saja, tanpa pilih-pilih. Begitu juga kambing, sapi, anjing dan binatang-binatang yang lain.
Jadi, kala  seseorang tidak ingin dianggap seperti binatang, lakukanlah hubungan seks hanya dengan istri-istri anda yang sah. Jangan dengan yang lain. Allah swt berfirman  dalam Al-Qur’an: “Istri-istrimu adalah (seperti) sawah ladang tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanammu itu menurut kehendakmu. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang beriman.”
Zina tidak lain adalah perbuatan seks menyimpangkeji dan ‘kotor’ menurut pandangan akal maupun menurut pandangan agama. Anda tahu, semua agama pasti melarang perbuatan zaina ini. Karena bisa menimbulkan efek negative yang sangat kompleks. Zina basa merusak tatanan social,  juga secara psikologis bisa berdampak buruk bagi pelakunya. Bisa bikin malu kalau kepergok, atau merasa dikejar dosa jika sang pelaku masih ada setitik iman di hatinya.
Mungkin di antara kita ada yang menganggap zina adalah perbuatan yang biasa-biasa saja. Tapi jika anda tahu dari akibat zina secara massal, mungkin juga anda akan tercengang betapa zina itu bisa memunculkan dampak negative yang sangat serius bagi kehidupan manusia. Karena itulah Islam tidak kompromi dengan PERBUATAN ZINA. Hukum Islam memberikan hukuman berat bagi para pelakunya untuk  menimbulkan efek jera bagi masyarakat. Jika terbukti melakukan zina, maka pelaku zina tersebut bisa dihukum cambuk 100 kali atau dirajam (dilempar batu sampai mati). Jika hukuman ini dipraktekkan dengan benar, dijamin bisa meredam pertumbuhan perilaku zina dalam kehidupan masyarakat.
Mari kita lihat sebagian kecil dari akibat zina tersebut seperti kita saksikan dalam kehidupan nyata sehari-hari di zaman modern  ini.
Zina menyebabkan garis keturunan (nasab) jadi tidak jelas.
Zina bisa menyebarkan wabah penyakit kelamin.
Zina bisa membuat muda-muda enggan menikah.
Zina bisa mengancam keharmonisan rumah tangga
Zina bisa menyebabkan turunnya tingkat kelahiran
Zina bisa memicu tindakan criminal.
Terima kasih atas perhatiannya terhadap tema yang sangat penting ini demi terwujudnya kehidupan ummat yang lebih baik.

SEJARAH MUNCULNYA QAUL JADID DAN QAUL QADIM

September 11, 2013 Add Comment

       Qaul qadim adalah pendapat As Syafi’i yang pertama kali di fatwakan ketika beliau tinggal di Baghdad (Th. 195 H.) setelah beliau diberi wewenang untuk berfatwa oleh sang guru “Muslim Bin Khalid” seorang Ulama’ besar yang menjadi mufti besar di Makkah dan Imam Malik yang dicatat tinta emas sejarah sebagai pendiri Madzhab Malikiyah dan yang pertama kali mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan hadits dalam bentuk kitab Sunan.
          Asy Syafi’i tinggal di Bagdad selama 2 tahun, ketika itu pengaruh madzhab Syafi’i mulai tersebar luas dikalangan masyarakat, kemudian untuk sementara waktu beliau terpaksa pergi meninggalkan Bagdad untuk Menuju Makkah untuk memenuhi panggilan hati yang masih haus ilmu pengetahuan.
     Kemudian pada tahun 198 H. Imam Syafi’i kembali ke Baghdad untuk merawat dan mengembangkan benih-benih madzhab yang telah ditebarkan, dan pada saat itulah pengaruh madzhab Syafi’i berkembang pesat, hampir tidak ada lapisan masyarakat Baghdad yang tidak tersentuh oleh roda pemikiran Imam Syafi’i.
            Diantara pilar-pilar pendukung Madzhab Syai’i yang masyhur adalah : Ahmad bin Hambal (yang kemudian terkenal dengan pendiri Madzhab Hambali), Az-Zafaroni, Abu Tsur dan Al Karobisi. Empat orang inilah yang tercatat sebagai periwayat Qaul qaddim yang tertuang dalam kitab Al Hujjah.
            Kemudian Imam Syafi’i merasa terpanggil untuk memperluas lagi ladang madzhabnya, dengan berbekal semangat dan tekad yang tidak kunjung padam akhirnya As Syafi’i menetapkan langkahnya untuk mengembara menuju negri Mesir, di sana Imam As Syafi’i mulai meneliti dan menelaah lebih dalam lagi ketetapan fatwa-fatwa beliau selama di Baghdad, kemudian muncul lah rumusan-rumusan baru yang kemudian terkenal dengan istilah qaul jadid yang tertulis dalam kitab Al Umm, Al Imla, Mukhtashor Muzanidan Al Buwaithi.
             Di antara pendukung dan periwayat qaul jadid yang terkenal adalah Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Robi’, Al Jaizi, Al Murodi, Al Harmalah, Muhammad Abdillah bin Abdullah bin Az zubair Al Maliki

A.    STATUS QAUL QADDIM MENURUT ASHHAB

Menurut Al Asnawi, pendapat Imam Syafi’i yang tertuang dalam qaul qaddim merupakan madzhab diluar madzhab Syafi’i kecuali kalau pendapat tersebut sama dengan qaul jadid, dikarenakan kedudukan qaul qaddim sudah dihapus (mansukh) oleh qaul jadid, sebagai bukti bahwa Imam Syafi’i melarang para mridnya untuk meriwayatkan qaul qaddim dan tulisan-tulisan beliau yang terdapat kitab Al Hujjah yang tidak sesuai dengan qaul jadid dihapus dengan menggunakan air (lihat Hamisy Fatawi Al Kurdi).
Pendapat senada juga dilontarkan oleh Tajuddin Al Kindi yang terkenal dengan Ibnu Farkah Al Kindi ia menegaskan, bahwa qaul qaddim sama sekali tidak bisa digunakan sebagai rujukan untuk berfatwa.
Di lain pihak Syekh Ibnu Abqis Salam berpendapat, bahwa qaul qaddim boleh digunakan sebagai tendensi hukum, sebab dengan munculnya qaul jadid bukan berarti menghapus (nasikh) terhadap ketetapan qaul qaddim melainkan hanya sebatas tarjih saja (penilaian kuat dan lemahnya suatu pendapat) dengan pengertian qaul jadid lebih kuat dibandingkan qaul qaddim bukan berarti menafikan sama sekali terhadap keberadaan qaul qaddim.
Pada akhirnya Al Asnawi berprediksi, bahwa khilafiah di atas hanya fokus pada qaul qaddim yang tidak dicabut secara langsung oleh Imam Syafi’i. Yang jelas qaul qaddim dicabut oleh Imam Syafi’i, para ulama’ konsensus tentang ketidak absahanya sebagai madzhab dan tidak boleh untuk digunakan, pendapat ini diperkuat oleh riwayat yang dikutip Syekh Abu Hamid dari Az Za’faroni (perowi qaul qaddim) bahwasanya Imam Syafi’i telah mencabut sebagian Qaul Qaddim sebelum pergi ke Mesir.
Meskipun qaul qaddim yang telah dicabut ini sebagai pendapat diluar madzhab, namun ada sebagian qaul yang boleh digunakan karena dianggap Rajjih Addilahnya (kuat dalil-dalilnya) menurut penelitian As Shhabut Tarjih.

Qaul qaddim yang boleh digunakan terdapat 17 permasalahan menurut Ashhab Syafi’i, bahkan menurut Al Kurdi masalah-masalah qaul qaddim yang boleh dipakai kalau diteliti melebihi 30 permasalahan.

Maroji' : Mengenal Istilah & Rumusan Fuqaha'

GOLONGAN PENUNTUT ILMU

September 03, 2013 Add Comment


Imam Al-Ghazali dalam Muqaddimah kitab Bidayatul hidayah menjelaskan tentang Golongan penuntut Ilmu : 

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْوَالٍ: رَجُلٌ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيَتَّخِذَهُ زَادَهُ إِلَى الْمَعَادِ، وَلَمْ يَقْصُدْ بِهِ إِلاَّ وَجْهَ اللهِ وَالدَّارَ اْلآخِرَةَ؛ فَهَذَا مِنَ الْفَائِزِيْنَ

Dan ketahuilah bahwa manusia dalam menuntut ilmu itu terbagi kepada tiga keadaan: Pertama, orang yang mencari ilmu untuk menjadikannya sebagai bekal menuju negeri akhirat, maka niatnya dalam mencari ilmu itu tiada lain kecuali untuk memperoleh keridhaan Allah dan kebahagiaan hidup di akhirat. Maka orang yang demikian ini termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung.

وَرَجُلٌ طَلَبَهُ لِيَسْتَعِيْنَ بِهِ عَلَى حَيَاتِهِ الْعَاجِلَةِ، وَيَنَالَ بِهِ الْعِزَّ وَالْجَاهَ وَالْمَالَ، وَهُوَ عَالِمٌ بِذَلِكَ مُسْتَشْعِرٌ فِيْ قَلْبِهِ رَكَاكَةَ حَالِهِ وَخِسَّةَ مَقْصَدِهِ، فَهَذَا مِنَ الْمُخَاطِرِيْنَ. فَإِنْ عَاجَلَهُ أَجَلُهُ قَبْلَ التَّوْبَةِ خِيْفَ عَلَيْهِ مِنْ سُوْءِ الْخَاتِمَةِ، وَبَقِيَ أَمْرُهُ فِيْ خَطِرِ الْمَشِيْئَةِ؛ وَإِنْ وَفَقَ لِلتَّوْبَةِ قَبْلَ حُلُوْلِ اْلأَجَلِ، وَأَضَافَ إِلَى الْعِلْمِ الْعَمَلَ، وَتَدَارَكَ مَا فَرَّطَ فِيْهِ مِنَ الْخَلَلِ - الْتَحَقَ بِالْفَائِزِيْنَ، فَإِنَّ: التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ

Kedua, orang yang mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan segera (duniawi), untuk meraih kemuliaan, kedudukan dan kekayaan. Sebenarnya di dalam hatinya dia mengetahui dan menyadari bahwa tujuan yang demikian itu adalah buruk dan hina. Orang ini termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbahaya (mengkhawatirkan keadaannya). Apabila ajalnya menjemput sebelum dia bertaubat, maka dikhawatirkan dia akan mengalami su-ul khatimah, dan nasibnya di hari Kiamat berada dalam kehendak Allah. Namun jika dia mendapat kesempatan bertaubat sebelum ajal menghampirinya, bergegas untuk melakukan amal sesuai dengan ilmunya, menyempurnakan kekurangannya di masa lalu, maka ada kemungkinan dia digabungkan dengan orang-orang yang beruntung. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak mempunyai dosa.”

وَرَجُلٌ ثَالِثٌ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِ الشَّيْطَانُ؛ فَاتَّخَذَ عِلْمَهُ ذَرْيعَةً إِلَى التَّكَاثُرِ بِالْمَالِ، وَالتَّفَاخُرِ بِالْجَاهِ، وَالتَّعَزُّزِ بِكَثْرَةِ اْلأَتْبَاعِ، يَدْخُلُ بِعِلْمِهِ كُلَّ مُدْخَلٍ رَجَاءَ أَنْ يَقْضِىَ مِنَ الدُّنْيَا وَطَرَهُ، وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ يُضْمِرُ فِيْ نَفْسِهِ أَنَّهُ عِنْدَ اللهِ بِمَكَانَةٍ، لاتِّسَامِهِ بِسِمَةِ الْعُلَمَاءِ، وَتَرَسُّمِهِ بِرُسُوْمِهِمْ فِي الزِّىِّ وَالْمَنْطِقِ، مَعَ تَكَالُبِهِ عَلَى الدُّنْيَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، فَهَذَا مِنَ الْهَالِكِيْنَ، وَمِنَ الْحَمْقَى الْمَغْرُوْرِيْنَ، إِذِ الرَّجَاءُ مُنْقَطِعٌ عَنْ تَوْبَتِهِ لِظَنِّهِ أَنَّهُ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ، وَهُوَ غَافِلٌ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: يَأَيُهَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنََ مَالاَ تَفْعَلُوْنَ

Ketiga, orang yang telah dikuasai oleh setan; orang ini menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mengumpulkan harta, berbangga-bangga dengan kedudukan dan merasa hebat dengan banyaknya pengikut. Dia menggunakan ilmunya untuk meraih segala yang diharapkan dan dihajatkannya dari keuntungan dunia. Walaupun demikian, dia masih terpedaya lagi dengan menyangka bahwa dia mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah, karena tampilannya menyerupai tampilan para ulama, bergaya dengan gaya mereka, baik dalam perkataan maupun sikap formal. Padahal lahir batin dia adalah orang yang sangat rakus terhadap kekayaan dunia. Orang yang seperti ini termasuk dalam golongan orang yang binasa, bodoh dan tertipu. Sangat tipis harapan ia dapat bertaubat kepada Allah karena dia telah menyangka bahwa dirinya termasuk dalam golongan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dia lalai terhadap firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yangberiman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (QS. As-Shaff: 2)

وَهُوَ مِمَّنْ قَالَ فِيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَا مِنْ غَيْرِ الدَّجَّالِ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الدَّجَّالِ، فَقِيْلَ: وَمَا هُوَ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: عُلَمَاءُ السُّوْءِ

Dan orang ini sesungguhnya temasuk dalam golongan yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Selain daripada dajjal, ada satu pekara yang sangat aku takutkan untuk kalian fitnahnya daripada dajjal. Lalu ada sahabat yang bertanya: “Apakah itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab: “Para ulama su’, yakni ulama yang jelek.”

وَهَذَا لِأَنَّ الدَّجَّالَ غَايَتُهُ اْلإِضْلاَل، وَمِثْلُ هَذَا الْعَالِمُ وَإِنْ صَرَفَ النَّاسَ عَنِ الدُّنْيَا بِلِسَانِهِ وَمَقَالِهِ، فَهُوَ دَاعٍ لَهُمْ إِلَيْهَا بِأَعْمَالِهِ وَأَحْوَالِهِ، وَلِسَانُ الْحَالِ أفصح مِنْ لِسَانِ الْمَقَالِ، وَطِبَاعُ النَّاسِ إِلَى الْمُسَاهَمَةِ فِي اْلأَعْمَالِ أَمْيَلُ مِنْهَا إِلَى الْمُتَابَعَةِ فِي اْلأَقْوَالِ

Yang demikian itu karena dajjal tujuannya sudah sangat jelas, yakni menyesatkan manusia. Lain halnya dengan ulama jelek ini, mereka mengajak manusia berpaling dari dunia dengan lisan dan perkataan mereka, namun mereka mengajak manusia kepada dunia dengan amal dan perbutan mereka. Padahal bahasa perilaku lebih besar pengaruhnya daripada bahasa ucapan, dan tabiat manusia lebih cenderung mengikuti amal daripada mengikuti perkataan.

فَمَا أَفْسَدَهُ هَذَا الْمَغْرُوْرُ بِأَعْمَالِهِ أَكْثَرَ مِمَّا أَصْلَحَهُ بِأَقْوَالِهِ، إِذْ لاَ يَسْتَجْرِىءُ الْجَاهِلُ عَلَى الرَّغْبَةِ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ بِاسْتِجْرَاءِ الْعُلَمَاءِ، فَقَدْ صَارَ عِلْمُهُ سَبَبًا لِجُرْأَةِ عِبَادِ اللهِ عَلَى مَعَاصِيْهِ، وَنَفْسُهُ الْجَاهِلَةُ مُدِلَّةٌ مَعَ ذَلِكَ تُمَنِّيْهِ وَتُرَجِّيْهِ، وَتَدْعُوْهُ إِلَى أَنْ يَمُنَّ عَلَى اللهِ بِعِلْمِهِ، وَتُخَيِّلَ إِلَيْهِ نَفْسُهُ أَنَّهُ خَيُْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ

Akibatnya, kerusakan yang timbul sebagai dampak amal mereka lebih banyak daripada kebaikan yang ditimbulkan oleh perkataan mereka. Orang yang tidak berilmu (baca: masyarakat awam) tidak akan berani mencintai dunia kecuali setelah melihat keberanian ulama jelek mencintai dunia. Maka ilmu yang mereka miliki itu menjadi sebab beraninya manusia bermaksiat kepada Allah. Lebih daripada itu, nafsu mereka yang bodoh menghadirkan angan-angan tentang posisi mereka yang tinggi di sisi Allah, mendorong mereka merasa telah berbuat banyak untuk Allah dengan ilmu mereka, dan nafsu mereka menghadirkan hayalan dalam diri mereka bahwa mereka lebih baik dari kebanyakan manusia.

فَكُنْ أَيُّهَا الطَّالِبُ مِنَ الْفَرِيْقِ اْلأَوَّلِ، وَاحْذَرْ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْفَرِيْقِ الثَّانِيْ، فَكَمْ مِنْ مُسَوِّفٍ عَاجَلَهُ اْلأَجَلُ قَبْلَ التَّوْبَةِ فَخَسِرَ، وَإِيَّاكَ ثُمَّ إِيَّاكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْفَرِيْقِ الثَّالِثِ، فَتَهْلِكَ هَلاَكًا لاَ يُرْجَى مَعَهُ فَلاَحُكَ، وَلاَ يُنْتَظَرُ صَلاَحُكَ

Oleh karena itu wahai para penuntut ilmu, jadikanlah dirimu bersama dengan golongan yang pertama, dan berhati-hatilah agar engkau tidak termasuk ke dalam golongan yang kedua. Janganlah engkau menunda-nunda taubat, berapa banyak orang yang menunda-nunda taubat kemudian ajal menjemput, padahal ia belum sempat bertaubat, lalu ia menjadi orang yang merugi. Dan jangan sekali-kali engkau termasuk dalam golongan yang ketiga. Jika sampai engkau termasuk di dalamnya maka engkau akan terjerumus ke jurang kebinasaan yang tidak dapat diharapkan keberuntungannya dan tidak dapat ditunggu lagi kebaikannya.

فَإِنْ قُلْتَ: فَمَا بِدَايَةُ الْهِدَايَةِ لِأُجَرِّبَ بِهَا نَفْسِيْ؟ فَاعْلَمْ، أَنَّ بِدَايَتَهَا ظَاهِرَةُ التَّقْوَى، وَنِهَايَتَهَا بَاطِنَةُ التَّقْوَى؛ فَلاَ عَاقِبَةَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى، وَلاَ هِدَايَةَ إِلاَّ لِلْمُتَّقِيْنَ

Maka apabila engkau bertanya: Apakah permulaan jalan menuju hidayah itu agar aku dapat menguji diriku dengannya? Ketahuilah, bahwa permulaan jalan menuju hidayah itu ialah ketakwaan yang bersifat zahir, sedangkan puncaknya adalah ketakwaan yang bersifat batin. Sungguh tidak ada keberuntungan hakiki yang akan dicapai kecuali dengan ketakwaan, sebagaimana halnya tidak ada hidayah kecuali untuk orang-orang yang bertakwa.

وَالتَّقْوَى: عِبَارَةٌ عَنِ امْتِثَالِ أَوَامِرِ اللهِ تَعَالَى، وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ، فَهُمَا قِسْمَانِ وَهَا أَنَا أُشِيْرُ عَلَيْكَ بِجُمَلة مُخْتَصَرَةٍ مِنْ ظَاهِرِ عِلْمِ التَّقْوَى فِي الْقِسْمَيْنِ جَمِيْعًا، وَأُلْحِقُ قِسْمَا ثَالِثًا لِيَصِيْرَ هَذَا الْكِتَابُ جَامِعًا مُغْنِيًا وَاللهُ الْمُسْتَعَانِ

Dan ketakwaan meliputi dua hal: melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhkan diri dari segala hal yang dilarang-Nya. Aku akan jelaskan kepadamu dua bagian takwa zahir tersebut dengan penjelasan yang ringkas, dan aku aku tambahkan bagian ketika yang berhubungan dengan amal hati agar kitab ini menjadi lebih lengkap dan menyeluruh. Semoga Allah memberi pertolongan.


Sumber :
بداية الهداية - أبو حامد الغزالي : الصفحة : 2-1


Kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghozali : 1-2

BAGI NU YANG UTAMA ADALAH DEMI KEMERDEKAAN, BUKAN UNTUK MENGEJAR NAMA BAIK, PANGKAT MAUPUN JABATAN

September 03, 2013 Add Comment



“Biografi Pemuda NU KH. Zainul Arifin, Panglima Hizbullah”

Memperingati Hari Lahir Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia KH. Zainul Arifin (2 September 1909-2 Maret 1963) ke-104. Zainul Arifin (Pohan) politisi NU, panglima Hizbullah Masyumi, aktif di BP KNIP (parlemen), Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali I (1953-1955) dan Ketua DPRGR dari 1960 hingga wafatnya 1963.

Beliau lahir pada tanggal 2 September tahun 1909 M di Barus, sebuah kota kecil di pantai barat Sumatera Utara. Kota yang terkenal karena produk kapur barusnya sejak 160 Masehi. Kota ini pun semakin harum karena telah melahirkan banyak ulama-ulama besar, diantaranya Hamzah Fansuri, seorang sufi yang terkenal dengan kitab tasawufnya.

Pengetahuan kemiliteran H. Zainul Arifin muda didapatkannya dari pelatihan militer pertama oleh tentara Jepang. Kemenonjolan dan ketangkasannya membuat dia diangkat sebagai Komandan Batalion Hizbullah dan kemudian diangkat menjadi Panglima Hizbullah. Anggotanya yang ribuan orang, terutama di Jawa dan Sumatera sebagian besar mangikuti pendidikan militer gaya Jepang di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Dalam kapasitas sebagai panglima Hizbullah itu, KH. Zainul Arifin kerap melakukan inspeksi pasukan, terutama di basis-basis pejuangan umat Islam yaitu pondok-pondok pesantren. Konsolidasi yang terus-menerus dengan peningkatan keterampilan bertempur, membuat Hizbullah menjadi wadah laskar rakyat yang disegani dan berwibawa.

Beliau pernah menduduki jabatan Sekretaris pada Pucuk Pimpinan TNI atau semacam Sekretaris Jenderal (Sekjen) Deparetemen Pertahanan Keamanan sekarang. Ketika Hizbullah dilebur ke dalam TNI (1945). KH. Zainul sangat kecewa dan prihatin ketika banyak anggota Sabilillah dan Hizbullah yang tidak lulus untuk masuk TNI padahal mereka itu yang paling gigih dalam perjuangan kemerdekaan. Kebijakan itu diangggapnya sebagai upaya sistematis para bekas perwira KNIL yang berkuasa dalam TNI untuk menyingkarkan para laskar rakyat pejuang yang nasionalis.

Bahkan sejarah perjuangan luar biasa NU dan Hizbullah pun secara sistematis dikaburkan dari lembaran sejarah, seperti kritik seorang peneliti dan pemerhati Indonesia dari Belanda, Martin Van Bruinessen- NU tak pernah mendapat tempat memadai dalam berbagai kajian pada tingkat lokal dan regional mengenai perjuangan kemerdekaan. Namun para kiai dan santri itu sendiri meminta agar KH. Zainul tidak memperpanjang masalah itu. Bagi kyai-santri berjuang semata-mata lillahi ta’ala untuk memerdekakan bangsa ini, bukan untuk mengejar nama baik, pangkat maupun jabatan. Hanya beberapa laskar Hizbullah yang diterima di TNI, bagi mereka yang tidak lolos masuk TNI mereka menerima dengan ikhlas dan kembali ke pondok pesantren untuk mendidik generasi muda.

Pada tahun 1947, KH. Zainul Arifin diangkat sebagai anggota KNIP berkedudukan di Yogyakarta. Ketika Belanda melancarkan agresi untuk mencengkeramkan kukunya kembali di tanah air. KH. Zainul ikut bergerilya dan menjabat sebagai staf Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa. Salah satu tugasnya adalah mengonsolidasikan wadah-wadah perjuangan yang tersebar di mana-mana, termasuk dengan kelompok gerilya Jenderal Besar Sudirman.

Ketika shalat Idul Adha tahun 1962 di Masjid Baiturrahim di halaman Istana Merdeka dengan Imam KH. Zainul Arifin dan Bung Karno sebagai makmum. Saat melaksanakan
sembahyang itu tiba-tiba mendapat serangan udara secara mendadak. Serangan
itu dilakukan oleh sisa-sisa gerombolan pemberontak PRRI Permesta yang mau
menghancurkan Indonesia untuk kepentingan penjajah. Bung Karno selamat dalam
insiden yang amoral itu, tetapi KH. Zainul Arifin mengalami-luka-luka.

Dari peristiwa tersebut kesehataanya mulai memburuk dan beliau wafat pada tanggal 2 Maret tahun 1963 M dalam usia 54 tahun. Sebagai seorang pejuang, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dan ketika itu beliau masih menduduki jabatan sebagai wakil ketua DPR-GR.

Lahu al-Fatihah...

Mengenal Sosok as-Sarkhasi dan Ushul as-Sarkhasi-nya

August 12, 2013 Add Comment
Mengenal Sosok as-Sarkhasi dan Ushul as-Sarkhasi-nya


Image
Ushul as-Sarkhasi
Dalam kajian ushul al-fiqh nama Abu Bakr Muhammad bin Abi Sahl as-Sarkhasi adalah nama yang tidak asing lagi. Ia termasuk salah satu ulama cerdas yang berdiri di garda terdepan madzhab Hanafi. Kedigdayaan intelektual dan kezuhudan yang luar biasa telah menempatkan dirinya sebagai al-Imam al-Ajall az-Zahid Syam al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam).
Tahun kelahiran as-Sarkhasi tidak diketahui secara pasti, bahkan tahun wafatnya pun diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan ia meninggal dunia di penghujung tahun 490 H. Riwayat lain mengatakan ia wafat pada tahun 483 H, bahkan ada yang mengatakan ia berpulang ke rahmatullah di penghujung tahun 500 H. Di antara warisan intelektual as-Sarkhasi yang dapat kita nikmati ialah kitab Syarh as-Siyar al-Kabir, al-Mabsuth, dan Ushul as-Sarkhasi.
Tokoh yang satu ini merupakan pakar fiqh sekaligus ushul fiqh Madzhab Hanafi. Melalui kitabnya yang dikenal dengan nama Ushul as-Sarkhasi ia menuangkan pikiran-pikirannya mengenai ushul al-fiqh untuk membela keputusan-keputusan hukum dari kalangan madzhab-nya. Dengan demikian, corak ushl fiqh-nya mengikuti thariqah al-hanafiyyah bukan thariqah al-mutakallimin. 
Dalam pengantarnya, as-Sarkhasi mengemukakan alasan yang mendorongnya untuk menulis kitab tersebut. Bermula setelah menulis anotasi (syarh) terhadap beberapa kitab Muhammad bin al-Hasan, kemudian ia berfikir untuk menjelaskan al-ushul yang melandasi anotasinya agar dapat mempermudah dalam memahami al-furu’. [Jilid, I, h. 10].
 
Membincang ushul al-fiqh berarti membincang metodelogi dan proses terbentuknya sebuah ketetapan hukum fiqh. Seorang dianggap sebagai ahli fiqh sejati jika dirinya memiliki setidaknya tiga hal. Pertama, ia memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang disyariatkan.Kedua, memiliki keahlian khusus dalam mengetahui hal-hal yang disyariatkan melalui nashberserta maknanya dan dapat memferifikasi al-ushul dengan pelbagai al-furu’-nya. Atau dengan kata lain dalam mengetahui hal-hal yang disyari'atkan tadi ia menggunakan metode analisis hukum. Ketiga, mengamalkan semua semua.

Karenanya, orang yang hanya hafal hal-hal yang disyari'atkan saja tapi tidak menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, maka ia bukanlah ahli fiqh sejati, tetapi lebih tepat disebut sebagai rawi. Sedang seandainya, ia hafal hal-hal yang disyari'atkan tersebut dan menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, tetapi tidak mengamalkanya, maka ia hanya disebut sebagai ahli fiqh yang parsial (min wajh duna wajh). [jilid, I, h. 10].

Pandangan di atas acapkali -menurut Khaled Abou El Fadl- menimbulkan ketegangan antara kelompok ahli fiqh dengan kalangan ahli hadits yang proses analisis hukumnya sebagian besar bersifat mekanis, yaitu hanya mencari-cari hadits yang cocok untuk dipasang pada persoalan yang dihadapi dalam situasi faktual. [Khaled M. Abou El Fadl, Speaking of God’s diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin, Atas Nama Tuhan, Serambi, h. 91-92].

Gaya penyusunan kitab as-Sarkhasi memang agak sedikit menyulitkan pembacanya. Sebab, dibutuhkan kemapuan prima dan ketelitian extra agar dapat menyambungkan hubungan antara bab yang satu dengan bab lainnya. Dan rasanya takterbantahkan bahwa argumen-argumen dan pemikiran ushul al-fiqh-nya yang nota benenya adalah sebagai penjelasan teoritis dari anotasinya atas kitab-kitab Muhammad bin Hasan layak untuk diperhitungkan.

Bab pertama yang dikupas as-Sarkhasi dalam kitabnya adalah mengenai amr (perintah) dannahy (larangan). Pilihan untuk meletakkan kedua hal tersebut pada pembahasan pertama bukan tanpa alasan. Menurutnya, pembahasan mengenai perintah dan larangan merupakan hal yang  mendasar karena sebagian besar ibtila` (ujian bagi manusia) itu berurusan dengan soal perintah dan larangan. Di samping itu, pengetahuan tentang keduanya akan dapat menyempurnakan pengetahun tentang ahkam dan perbedaan halal-haram. [Jilid, I, h. 11].

Adapun mengenai sumber-sumber hukum, yaitu al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas hanya disebutkan sekilas saja. Itu pun dalam rangka menjelaskan aborgasi (an-Nasikh wa al-Mansukh). [untuk lebih jelasnya lihat jilid, II, h. 65-86]. Lantas bagaimana kita bisa mengetahaui aborgasi? As-Sarkhasi mengatakan aborgasi dapat diketahui dengan sejarah. Dan pengetahuan tentang aborgasi juga dapat berguna menafikan adanya pertentantangan (ta’arudh) antar nash. Pandangan ini membawa kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya yang wajib adalah memahami sejarah (al-wajib fi al-ashl thalab at-tarikh).

Di samping itu dalam pandangan as-Sarkhasi asbab an-nuzul juga memeliki peran signifikan dalam menyelesaikan ta’arudh. Ia mengatakan bahwa apabila terjadi dua ayat yang saling bertentangan maka jalan keluarnya adalah kembali kepada asbab an-nuzul keduanya agar sejarah keduanya dapat diketahui. Jadi, pada dasarnya ta’arudh itu terjadi karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. [Jilid, II, h. 12 dan 13].

Konsekuensi dari pendekatan yang dilakukan as-Sarkhasi adalah bahwa kesimpulan hukum diambil dari kekhusuan sebab (al-‘ibrah bi khusush as-sabab). Hal ini juga menegaskan adanya hubungan antara realitas dan wahyu. Atau dengan kata lain, wahyu tidak turun diruang hampa. Tetapi, kembali kepada asbab an-nuzul bukan tanpa persoalan serius. Pandangan ini tetap menyisakan setidaknya dua persoalan yang harus segera diatasi. Pertama, tidak semua ayat al-Qur`an memiliki asbab an-nuzul. Kedua, riwayat yang beredar mengenai asbab an-nuzul masih dipertanyakan validitasnya. Lantas bagaiamana dengan jawaban as-Sarkhasi tentang kedua hal tersebut?

Karena keterbatasan ruang dan waktu saya tidak akan membahas bagaimana jawaban as-Sarkhasi mengenai kedua persoalan di atas. Tetapi hemat saya kitab Ushul as-Sarkhasi harus dibaca jika kita ingin melihat kepiawian argumentasi asr-Sarkhasi, terutama dalam membela dasar-dasar fiqh madzhab hanafi. Salam….

pondokpesantren.net
Tentang Kitab
Penulis   :  Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahl as-Sarkhasi
Judul : Ushul as-Sarkhasi
Penerbit  : Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Pentahqiq   : Abu al-Wafa al-Afghani
Cet   : Ke, II, tahun 1426 H / 2005 M
Tebal   : Dua jilid besar, 804 halaman.

Recent Post