NO
|
NAMA
|
ALAMAT
|
1
|
K. IMAM BAIHAQI
|
Kebondalem
|
2
|
Gus Romly Alwi
|
Kebondalem
|
3
|
Gus Ahmad Dimyati
|
Kebondalem
|
4
|
K. Asmu’i
|
Kebondalem
|
5
|
Ustadz sirojul Munir
|
Kebondalem
|
6
|
Ustadz yasin
|
Kebondalem
|
7
|
Ustadz H. Zuhri
|
Kebondalem
|
8
|
Ustadz Habib Mustofa
|
Kebondalem
|
9
|
Ustadz Ali Wafa
|
Kebondalem
|
10
|
Ustadz Suprapto
|
Kebondalem
|
11
|
Ustadz Yusuf
|
Kebondalem
|
12
|
Ibu Laili Fauzia
|
Kebondalem
|
13
|
Ibu Robi’atul Adawiyah
|
Kebondalem
|
14
|
Ibu Siti Zaenab
|
Kebondalem
|
15
|
Ibu Saidah
|
Kebondalem
|
16
|
Ustadz sugi’
|
PPMT
|
18
|
Ustadz muhyidin
|
PPMT
|
19
|
Ustadz sholeh
|
PPMT
|
20
|
Ustadz Nur Hakim
|
PPMT
|
21
|
Ustadz Sa’dul Kholiq
|
PPMT
|
22
|
Ustadz Abi Tholhah
|
PPMT
|
23
|
Ustadz Aufi
|
PPMT
|
24
|
Ustadz Aminuddin
|
PPMT
|
25
|
Ustadz Luqman
|
PPMT
|
26
|
Ustadz Miftahuddin
|
PPMT
|
27
|
Ustadz Thoha Sugianto
|
PPMT
|
28
|
Ustadz Roghibin
|
PPMT
|
29
|
Ustadz Abdul Hamid
|
PPMT
|
30
|
Ustadz Solihuddin
|
PPMT
|
31
|
Ustadz Zakaria Anshori
|
PPMT
|
32
|
Ustadz Saiful Rohman
|
Bioro
|
33
|
Ustadz Abdul Rosyad
|
Jeruk Wangi
|
34
|
Ustadz Mustofa
|
Jeruk Wangi
|
35
|
Ustadz Syafi’uddin
|
Nggregeng
|
36
|
Ustadz Asyrofi
|
Bukur
|
37
|
Ustadz Antoni
|
Bukur
|
38
|
Ustadz Zainul
|
Banaran
|
39
|
Ustadz Kholifi
|
Kauman
|
40
|
Ustadz Anshori
|
Kauman
|
41
|
Ustadz Badlowi
|
Pandean
|
42
|
Ustadz Qomari
|
Pandean
|
43
|
Ustadz Jaelani
|
Bacem
|
44
|
Ustadz sya’roni
|
Bacem
|
45
|
Ustadz Sutarto
|
Bulurejo
|
46
|
Ustadz Ulin Nuha
|
Bulurejo
|
47
|
Ustadz Muhklisin
|
Bulurejo
|
48
|
Ustadz Ulil Absor
|
Bulurejo
|
49
|
Ustadz Badlowi
|
Brumbung
|
50
|
Ustadz Umar Hadi
|
Moro Rejo
|
51
|
Ustadz Subakir
|
Jati Sari
|
52
|
Ustadz Hamim
|
Kecik
|
53
|
Ustadz Romdhon
|
PPMT
|
54
|
Ustadz Wahab
|
Payak
|
55
|
Ustadz Syaifuddin Ma’mun
|
Banaran
|
56
|
Ustadz rofik
|
Kasembon
|
57
|
Ustadz Fathr Rohman
|
Banaran
|
58
|
Ustadz Muhaimin
|
Banaran
|
59
|
Ustadz Hamidi
|
Mlancu
|
60
|
Ustadz Shodiq
|
Urap- urap
|
61
|
Ustadz Irfan
|
Ngaglik
|
62
|
Ustadz Khoirul
|
Kacangan
|
63
|
Ustadz asrur Ma’arif
|
|
64
|
Ustadz Munir
|
|
65
|
Ustadz Ali Mashur
|
Social Icons
Kitab Aljabar, Karya Fenomenal Matematikus Agung
Sejatinya kitab ini berjudul al-Kitab al-mukhtasar fi hisab al-gabr wa’l-muqabala. Dalam bahasa Inggris kitab ini dikenal sebagai “The Compendious Book on Calculation by Completion and Balancing”. Kitab peletak dasar matematika modern itu biasa pula disebut Hisab al-jabr wal-muqabala. Kitab ini merupakan karya seorang ilmuwan Muslim pada abad ke-9 M yang sangat monumental.
Adalah Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi sang penulis kitab matematika itu. Matematikus Muslim asal Persia itu merampungkan kitab yang sangat populer dan menjadi rujukan para ahli matematika sepanjang zaman itu pada 820 M. Berkat kitab inilah, dunia matematika modern mengenal istilah Aljabar. Aljabar berasal dari bahasa Arab al-gabr yang berarti ”pertemuan” atau ”hubungan.” Aljabar merupakan cabang matematika yang dapat dicirikan sebagai generalisasi dan perpanjangan aritmatika. Aljabar juga merupakan nama sebuah struktur aljabar abstrak, yaitu aljabar dalam sebuah bidang. Carl B. Boyer dalam karyanya bertajuk “The Arabic Hegemony”: A History of Mathematics, mengungkapkan, Kitab Aljabar karya Khawarizmi menguraikan perhitungan yang lengkap dalam memecahkan akar positif polynomial persamaan sampai dengan derajat kedua.
Boyer menambahkan, kitab karya Khawarizmi itu juga memperkenalkan metode dasar “mengurangi” dan “keseimbangan/balancing”, yang mengacu pada perubahan syarat-syarat mengurangi sisi lain sebuah persamaan yaitu pembatalan syarat-syarat seperti sisi berlawanan dari persamaan.
Boyer menambahkan, kitab karya Khawarizmi itu juga memperkenalkan metode dasar “mengurangi” dan “keseimbangan/balancing”, yang mengacu pada perubahan syarat-syarat mengurangi sisi lain sebuah persamaan yaitu pembatalan syarat-syarat seperti sisi berlawanan dari persamaan.
Kitab Aljabar juga telah menjadi rujukan ilmuwan sepanjang masa, baik itu bagi matematikus Islam maupun Barat. Beberapa saintis terkemuka juga telah menerbitkan buku dengan nama Kitab al-Gabr wa-l-muqabala, diantaranya; Abu Hanifa al-Dinawari serta Abu Kamil Shuja ibnu Aslam.
Selain itu, Abu Muhammad al-’Adli, Abu Yusuf al-Missisi, ‘Abd Al-Hamid ibnu Turk, Sind ibnu ‘Ali, Sahl ibnu Bišr, dan Sarafaddin al-Tusi juga termasuk ilmuwan Muslim yang banyak terpengaruh pemikiran Khawarizmi.
R Rashed dan Angela Armstrong dalam karyanya bertajuk The Development of Arabic Mathematics, menegasakan bahwa Aljabar karya Al-Khwarizmi memiliki perbedaan yang signifikan dibanding karya Diophantus, yang kerap disebut-sebut sebagai penemu Aljabar. Dalam pandangan kedua ilmuwan itu, karya Khawarizmi jauh lebih baik di banding karya Diophantus.
“Teks karya Khwarizmi begitu berbeda, tidak hanya dari buku karya orang Babilonia, tetapi juga dari karya Arithmatika-nya Diophantus. Ini tidak lagi menyangkut sejumlah masalah untuk diselesaikan, namun sebuah pertunjukan yang dimulai dengan istilah sederhana yang kombinasinya memberikan semua kemungkinan untuk persamaan dasar, yang mulai saat ini secara eksplisit merupakan objek studi yang benar,” papar Rasheed dan Armstrong.
Hal senada diungkapkan sejarawan sains JJ O’Connor dan EF Robertson pada karyanya berjudul History of Mathematics. Menurutnya, karya matematikus Persia itu merupakan karya yang revolusioner. “Mungkin salah satu kemajuan yang paling signifikan yang dibuat ahli matematika Arab hingga saat ini adalah karya Khawarizmi, yakni Kitab Aljabar,” ujar O’Connor dan Robertson.
Menurut keduanya, Kitab Aljabar sungguh sangat revolusioner, karena mampu beralih dari ari konsep matematika Yunani yang didasarkan pada geometri. ‘Dalam pandangan O’Connor dan Robertson, Kitab Aljabar yang ditulis Khwarizmi berisikan teori pemersatu yang menyediakan angka-angka/bilangan rasional, angka-angka irasional, besar/jarak geometri, dan lain-lain.
O’Connor dan Robertson menambahkan semua bilangan tersebut diperlakukan sebagai “objek aljabar”. Hal itu dinilai sebagai sebuah perkembangan bagi matematika. Pasalnya, Kitab Aljabar telah membuka jalan baru bagi konsep yang telah ada sebelumnya.
“Dan ini merupakan sarana yang dapat menjadi kendaraan bagi pembangunan masa depan s. Aspek lain yang penting adalah aspek pengenalan gagasan Aljabar yang telah disediakan matematika yang akan diterapkan untuk dirinya sendiri dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya,” papar O’Connor dan Robertson.
Kitab karya Khawarizmi itu merupakan sebuah kompilasi dan perluasan aturan yang diketahui untuk memecahkan persamaan kuadrat dan untuk beberapa masalah lain, dan dianggap sebagai dasar aljabar moderen. Buku yang sangat populer ini mulai diperkenalkan ke dunia dunia Barat lewat terjemahan bahasa Latin oleh Robert of Chester berjudul Liber algebrae et almucabala.
Karena buku ini tidak memberikan sejumlah kutipan untuk penulis sebelumnya, sehingga tak diketahui pendapat siapa saja yang digunakan Khwarizmi sebagai referensi dalam karyanya itu. Sejarawan matematika modern mengomentari kitab itu berdasarkan analisis tekstual dari buku dan seluruh tubuh pengetahuan tentang dunia Muslim kontemporer.
Pastinya yang paling berhubungan dalam karya Khawarizmi adalah ilmu matematika India. Pasalnya, ia telah menulis buku berjudul Kitab al-Jam wa-l-tafriq-bi-hisab al-Hind atau The Book of Addition and Subtraction According to the Hindu Calculation yang membahas sistem bilangan Hindu-Arab.
Buku persamaan pengurangan kuadrat acak ke salah satu dari enam jenis dasar dan menyediakan metode aljabar dan geometri untuk memecahkan dasar utama. “Pengurangan angka-angka abstrak modern dalam aljabarnya Khawarizmi adalah retorik menyeluruh, dengan tidak ada yang sinkopasi ditemukan pada Aritmatika Yunani atau karya Brahmagupta. Bahkan angka-angka yang ditulis lebih banyak dalam kata-kata daripada simbol,” tutur Carl B Boyer, dalam karyanya bertajuk A History of Mathematics.
Dengan demikian persamaan akan dijelaskan secara lisan dalam bentuk istilah “kuadrat” (sekarang menjadi “x2″), “akar” (sekarang menjadi “x”) dan “angka”(biasa dibilang angka, seperti ’40-2′). Enam jenis persamaan dengan angka-angka modern, adalah:
* kuadarat sama dengan akar ( ax2 = bx )
* kuadrat sama dengan angka/bilangan ( ax2 = c )
* akar sama dengan angka ( bx = c )
* kuadrat dan akar sama dengan angka ( ax2 + bx = c )
* kuadrat dan angka sama dengan akar ( ax2 + c = bx )
* akar dan angka sama dengan kuadrat ( bx + c = ax2 )
* kuadrat sama dengan angka/bilangan ( ax2 = c )
* akar sama dengan angka ( bx = c )
* kuadrat dan akar sama dengan angka ( ax2 + bx = c )
* kuadrat dan angka sama dengan akar ( ax2 + c = bx )
* akar dan angka sama dengan kuadrat ( bx + c = ax2 )
Bagian berikutnya dari buku ini membahas contoh-contoh praktis dari penerapan peraturan yang telah dijelaskan. Bagian berikut, berkaitan dengan penerapan masalah pengukuran luas dan volume atau isi. Bagian terakhir berkaitan dengan perhitungan yang melibatkan aturan yang sulit dari warisan Islam.
Kisah Hidup Bapak Aljabar
Bapak Aljabar. Begitulah ilmuwan yang bernama lengkap Abu ‘Abdallah Muhammad ibnu Musa al-Khwarizmi itu kerap dijuluki. Ia merupakan seorang ahli matematika dari Persia yang dilahirkan pada tahun 194 H/780 M, tepatnya di Khwarizm, Uzbeikistan. Karena itulah, ia kerap kali disapa dengan panggilan Khawarizmi.
Selain terkenal sebagai seorang ahli matematika yang agung, ia juga adalah astronomer, dan geografer yang hebat. Berkat kehebatannya, Khawarizmi terpilih sebagai ilmuwan penting di pusat keilmuwan yang paling bergengsi pada zamannya, yakni Bait al-Hikmah atau House of Wisdom yang didirikan khalifah Abbasiyah di metropolis intelektual dunia, Baghdad.
Bait al-Hikmah merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi. Dalam kurun dua abad, Bait al-Hikmah ternyata berhasil melahirkan banyak pemikir dan intelektual Islam. Di antaranya, nama-nama ilmuwan seperti Khwarizmi.
Khawarizmi adalah seorang ilmuwan jenius pada masa keemasan Islam di kota Baghdad, pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah. Ia sangat berjasa besar dalam mengembangkan ilmu aljabar dan aritmetika. K
Kitab Aljabr Wal Muqabalah (Pengutuhan Kembali dan Pembandingan) merupakan pertama kalinya dalam sejarah dimana istilah aljabar muncul dalam kontesk disiplin ilmu. Nama aljabar diambil dari bukunya yang terkenal tersebut. Karangan itu sangat populer di negara-negara barat dan diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin dan Italia. Bahasan yang banyak dinukil oleh ilmuwan barat dari karangan Khawarizmi adalah tentang persamaan kuadrat.
Sumbangan Al-Khwarizmi dalam ilmu ukur sudut juga luar biasa. Tabel ilmu ukur sudutnya yang berhubungan dengan fungsi sinus dan garis singgung tangen telah membantu para ahli Eropa memahami lebih jauh tentang ilmu ini. Ia mengembangkan tabel rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, kosinus dan kotangen serta konsep diferensiasi.
Selain mengarang al-Maqala fi Hisab-al Jabr wa-al-Muqabilah, ia juga diketahui telah menulis beberapa buku dan banyak diterjemahkan kedalam bahasa latin pada awal abad ke-12, oleh dua orang penerjemah terkemuka yaitu Adelard Bath dan Gerard Cremona. Risalah-risalah aritmetikanya, satu diantaranya berjudul Kitab al-Jam’a wal-Tafreeq bil Hisab al-Hindi (Menambah dan Mengurangi dalam Matematika Hindu).
Buku-buku itu terus dipakai hingga abad ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa. Khawarizmi meninggal pada tahun 262 H/846 M di Baghdad.(rp
sumber: SARKUB
Salam Aswaja by Tim Menyan United
Rukyatul Hilal Syarat Sah Menentukan Awal Bulan Ramadhan
Metodologi penentuan awal bulan qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (ru'yatul hilal bil fi'ly). Sedangkan metode perhintungan astronomi (hisab) dipakai untuk membantu prosesi rukyat.
Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan ru'yatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Adapun dasar hukumnya antara lain:a. Hadist muttafaq alaihi(diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) yang berbunyi:
حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
"Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)
Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanyalah menetapkan "melihat bulan" (rukyatul hilal) sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya ataupun apalagi cara menghitungnya. Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah SAW di atas yang menyuruh menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari apalagi tidak berhasil melihat walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada.
b. Kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian seorang muslim tanpa menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan. Sebagaimana dalam hadits:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
"Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok." (HR Abu Daud 283/6)
c.Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan:
وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
"Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di belahan bumi Barat".
Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah Barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah Timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian Timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di Barat.
d. Dalam kita Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan:
َإِنْ ثَبَتَتْ رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ
"Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya sepertihalnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini"
e. Dalam kita Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan:
أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ
"Adapun sebab diwajibkannya puasa ada dua, yang pertama: terlihatnya bulan, dengan syarat ru'yahnya melalui kabar yang sudah tersebar luas."
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya rukyah ini, yaitu diantaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan (ikhtilaf matholi').
f. Bughyatul Mustarsyidin
لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ
Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari.
g. Al-‘Ilm al-Manshur fi Itsbat al-Syuhur
قَالَ سَنَدُ الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ
Para tokoh madzhab Malikiyah berpendapat: “Bila seorang penguasa mengetahui hisab tentang (masuknya) suatu bulan, lalu ia menetapkan bulan tersebut dengan hisab, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma’ ulama salaf bertentangan dengannya.” (Red: Ulil H.)
Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan ru'yatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Adapun dasar hukumnya antara lain:a. Hadist muttafaq alaihi(diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) yang berbunyi:
حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanyalah menetapkan "melihat bulan" (rukyatul hilal) sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya ataupun apalagi cara menghitungnya. Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah SAW di atas yang menyuruh menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari apalagi tidak berhasil melihat walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada.
b. Kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian seorang muslim tanpa menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan. Sebagaimana dalam hadits:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
c.Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan:
وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah Barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah Timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian Timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di Barat.
d. Dalam kita Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan:
َإِنْ ثَبَتَتْ رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ
"Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya sepertihalnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini"
e. Dalam kita Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan:
أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya rukyah ini, yaitu diantaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan (ikhtilaf matholi').
f. Bughyatul Mustarsyidin
لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ
g. Al-‘Ilm al-Manshur fi Itsbat al-Syuhur
قَالَ سَنَدُ الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ
KH. HASYIM ASY'ARI DAN KH. AHMAD DAHLAN
"Sang Pencerah dan Sang Penakluk Badai"
1. KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, 1868-1923)
Beliaulah Muhammad Darwis bin Abu Bakar bin Muhammad Sulaiman bin Murtadha bin Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Sulaiman (Ki Ageng Gribig) bin Muhammad Fadhlullah (Prapen) bin Maulana â€کAinul Yaqin (Sunan Giri).
Muhammadiyyah lahir 18 November 1912/8 Dzullhijjah 1330, dengan pondasi ayat: "Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maâruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran ayat 104).
2. KH. Hasyim Asyâari (Jombang, 1875-1947)
Beliaulah Muhammad Hasyim bin Asy'ari bin Abu Sarwan bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Abdurrahman (Pangeran Samhud Bagda) bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Maulana 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Nahdlatul Ulama lahir 31 Januari 1926/
MBAH HASYIM ASY'ARI DAN MBAH AHMAD DAHLAN
Oleh: KH. Yahya Cholil Staquf
Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim bin Asy:ari Basyaiban adalah kyai semesta. Guru dari segala kyai di tanah Jawa. Beliau kyai paripurna. Apapun yang beliau dawuhkan menjadi tongkat penuntun seumur hidup bagi santri-santriny
Nahdlatul Ulama adalah warisan beliau yang terus dilestarikan hingga para cucu-santri dan para buyut-santri, hingga sekarang. Segerombol jama"ah dalam merek jam'iyyah yang kurang rapi, sebuah ikatan yang ideologinya susah diidentifikasi,
Barangkali karena memang Nahdlatul Ulama itu ikatan yang azali, cap yang dilekatkan pada ruh sejak dari sononya, sebagaimana Hadhratus Syaikh sendiri mencandranya:
"Antara aku dan kalian ada tautan cinta
Tersembunyi dibalik rahasia alam
Arwah kita sudah saling mencinta
Sebelum Allah mencipta lempungnya Adam."
Ke-NU-an sejati ada di hati, bukan nomor anggota.
Kyai Abdul Karim Hasyim, putera Hadhratus Syaikh sendiri, menolak ikut ketika NU keluar dari Masyumi. Demikian pula salah seorang santri Hadhratus Syaikh, Kyai Majid, ayahanda Almarhum Prof. Dr. Nurcholis Majid. Mereka berdua memilih tetap di dalam Masyumi. Apakah mereka tak lagi NU? Belum tentu. Mereka memilih sikap itu karena berpegang pada pernyataan Hadhratus Syaikh semasa hidupnya (NU keluar dari Masyumi sesudah Hadlratusy Syaikh wafat): "Masyumi adalah satu-satunya partai bagi ummat Islam Indonesia!"
Apakah sikap pilihan mereka itu mu'tabar atau tidak, adalah soal ijtihadi. Tapi saya sungguh ingin mempercayai bahwa di hati mereka berdua tetap bersemayam ke-NU-an yang berpendar-penda
Pada suatu hari di awal abad ke-20, salah seorang santri datang ke Tebuireng untuk mengadu. Santri itu Basyir namanya, berasal dari kampung Kauman, Yogyakarta. Kepada kyai panutan mutlaknya itu, santri Basyir mengadu tentang seorang tetangganya yang baru pulang dari mukim di Makkah, yang kemudian mEmbuat odo-odo (aneh) sehingga memancing kontroversi di antara masyarakat kampungnya.
"Siapa namanya?", tanya Hadhratus Syaikh.
"Ahmad Dahlan"
"œBagaimana ciri-cirinya?"
Santri Basyir menggambarkanny
"Oh! Itu Kang Dahlan!" Hadhratus Syaikh berseru gembira. Orang itu, beliau sudah mengenalnya. Teman semajlis dalam pengajian-penga
"Tidak apa-apa", kata Hadhratus Syaikh, "yang dia lakukan itu ndalan (ada dasarnya). Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia".
Santri Basyir patuh. Maka ketika kemudian Kyai Ahmad Dahlan medirikan Muhammadiyah, Kyai Basyir adalah salah seorang tangan kanan utamanya.
Apakah Kyai Basyir "tak pernah NU:? Belum tentu. Puteranya, Azhar bin Basyir, beliau titipkan kepada Kyai Abdul Qodir Munawwir (Kakak ipar Kyai Ali Ma'shum) di Krapyak, Yogyakarta, untuk memperoleh pendidikan al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pengajian-penga
Belakangan, Kyai Azhar bin Basyir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan AR Fahruddin. Kepada teman sekombong saya, Rustamhari namanya, anak Godean yang menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM, saya gemar meledek: "Kamu nggak usah macam-macam", kata saya waktu itu, "ketuamu itu ORANG NU!"
***************
"Semoga Allah memberikan kemanfaatan kepada kita berkat ilmu beliau berdua dan wafatkanlah kami dalam thariqah mereka berdua."
Aamiin yaa Mujiibassaailii
PENGERTIAN AHLI SUNNAH (ASWAJA) & NAHDLATUL 'ULAMA' (NU)
pengetian ASWAJA adalah kelompok yang selalu berpegang pada sunah Rosululloh dan metode sahabatnya yang tercermin dalam aspek:
1. I’tiqod diniyyah (keyakinan keagamaan)
2. A’mal al-badaniyyah (amal ibadah)
3. Akhlaq al-qolbiyyah (budi pekerti)
Istilah Aswaja ini muncul sekitar periode tiga ratus Hijriyah, dipelopori oleh Imam Abi Hasan al-Asy’ari murid dari salah seorang tokoh Mu’tazilah bernama Syaikh Ali al-Juba’i. Menurut Imam as-Subuki, selama 40 tahun lamanya al-Asy’ari berada dibelakang kelompok ini. Namun setelah melalui perenungan panjang nanmendalam, Imam al-Asy’ari akhirnya sampai pada kesimpulan adanya kejanggalan-kejanggalan dari ajaran yang telah lama digelutinya ini, khususnya mengenai posisi akal pikir manusia di hadapan Nash al-Qur’an ataupun Hadits, serta kewajiban Alloh berbuat membalas kebajikan terhadap hambanya yang telah menjalankan kebajikan. (lihat: Dzohrul Islam)
Adapun Imam Al-Asy’ari yakni ‘Aly bin Isma’il bin Abi Bisyri Ishaq Bin Salim Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Bardah Bin Abi Musa Al-Asy’ary (yaitu Abdillah Bin Qais, shahabat Nabi) lahir tahun 260 H. dan Imam Al-Maturidy yakni Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Al-Hanafy bukanlah pencetus pertama dalam bidang ilmu Kalam, namun Beliau berdualah yang mengokohkan Imam Madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah). Imam Abu Hasan Al-Asy’ari adalah pengikut Madzhab Syafi’i sedangkan Imam Abu Manshur Al-Maturidy adalah pengikut Madzhab Abu Hanifah. (Lihat: TobaqotusSyafiiyyah Kubro, Tajuttarojim dan Al A’lam)
Syaikh ‘Izzuddin Bin Abd. Salam menjelaskan bahwa aqidah yang digagas oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ary telah disepakati dan menjadi konsensus ‘Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Fudlola’u (pembesar) Hanabilah. Sepakat pula Guru Besar Madzhab Malikiyah Imam Abu ‘Umar Bin Al-Hajib di zaman Beliau, demikian pula Guru Besar Madzhab Hanafiyah Syaikh Jamaluddin Al-Hushairy.
Pengakuan Syaikh ‘Izzuddin tersebut juga diakui Syaikh Taqiyuddin As-Subuky sesuai pendapat yang diliput putra Beliau yakni Syaikh Tajuddin As-Subuki, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Az-Zubaidi sebagaiman berikut:
أهل السنة من المالكية والشافعية وأكثر الحنفية بلسان أبي الحسن الأشعري
Syaikh Tajuddin As-Subuky memaparkan: Sepengetahuan saya bahwa semua ‘Ulama pengikut Imam Malik semuanya adalah Asya’iroh tidak ada yang keluar, ‘Ulama Syafi’iyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan yang beranggapan bahwa Allah adalah merupakan jisim (benda) atau Mu’tazilah, Hanafiyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan Mu’tazilah dan ‘Ulama Hanabilah yang mulia identik dengan Asya’iroh kecuali golongan yang berkeyakinan Allah adalah jisim. Golongan yang menganggap Allah sebagai jisim lebih banyak daripada golongan pengikut Madzhab lain. Sebagian Ulama yang mengikuti Faham Asy’ariyyah:
- Al Ustadz Abu Sahl As Sho’luki – Al Ustadz Abu Ishaq Al Isfiroyini
- As Syaikh Abu Bakar Al Qoffal – As Syaikh Abu Zaid Al Marwazi
- Al Ustadz Abu Abdulloh bin Khofif – As Syaikh Zahir bin Ahmad As Sarkhisi
- Al Hafidz Abu Bakar Al Jurjani Al Ismailiy – As Syaikh Abu Bakar Al Awdani
- As Syaikh Abu Muhammad Atthobari Al Iroqi – As Syaikh Abu Al Hasan Abdul Aziz At Thobari
- As Syaikh Abu Ja’far As Salma An Naqqosh – As Syaikh Abu Abdillah Al Asbihani As Syafi’i
- As Syaikh Abu Muhammad Al Qorosyi Az Zuhri – As Syaikh Abu Manshur bin Khamsaad
(Lihat: TobaqotusSyaiiyyah Kubro)
Adapun Muhadditsin (ahli Hadits) dan Shufiyah (ahli Tasawwuf) karena sudah sepakat dengan aqidah Al-Asy’ary dan Al-Maturidy maka mereka juga tergolong dari Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan demikian, orang-orang yang mengingkari golongan Shufiyah (ahli Tasawwuf) dan orang-orang yang tidak sepakat dengan Madzhab empat bukanlah termasuk Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan memakai istilah yang dipakai oleh golongan tertentu tersebut.
Mengenai pendalaman lebih lanjut atas faham Aswaja ini, diatas telah di paparkan dengan melalui pelacakan terhadap Hadits-hadits yang dinilai valid. Sebab tiada jalan lain untuk bisa memperoleh pemahaman keagamaan sesuai ajaran Rosululloh dan para Sahabatnya, kecuali melalui telaah hadits secara kritis.
Namun untuk saat ini, dimana dengan terpautnya masa dengan Rosululloh SAW. yang menyebabkan kesulitan telaah Al qur’an beserta sebab-musabab turunnya Al Qur’an (Asbabunnuzul) dan hadist beserta sebab-mubabab turunnya hadist (asbabulwurud) kecuali dengan meneliti Manuskrip, kitab-kitab Al Mu’tabar (yang dianggap valid) maka pendalaman hanya bisa dilakukan melalui kajian mendalam atas kitab-kitab karya Ulama’ Salaf. Karena pada dasarnya, kitab-kitab tersebut merupakan penjabaran dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits, yang dihasilkan melalui analisa selektif dan konprehensif dengan tingkat kecermatan yang sangat tinggi. Dan agar kita terhindar dari sabda Nabi tentang laknat bagi orang yang menafsiri qur’an seenaknya, sebagai berikut:
سنن الترمذى – (ج 11 / ص 171)
3204 – حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِىِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Artinya: Dari sahabat Anas bin Malik RA., beliau berkata: “Rosululloh SAW. bersabda”:“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an (mengambil dalil dari Al Qur’an) dengan tanpa ilmu, maka tetapkanlah tempat duduknya bagian dari neraka (niscaya akan masuk neraka)”.
Imam Al Munawi Menjelaskan Hadist diatas sebagai berikut:
فيض القدير الجزء السادس ص 190
من قال في القرآن وفي رواية للترمذي وغيره من قال في كتاب الله وفي رواية من تكلم في القرآن برأيه أي بما سنح في ذهنه وخطر ببالهمن غير دراية بالأصول ولا خبرة بالمنقول فأصاب أي فوافق هواه الصواب دون نظر كلام العلماء ومراجعة القوانين العلميةومن غير أن يكون له وقوف على لغة العرب ووجوه استعمالها من حقيقة ومجاز ومجمل ومفصل وعام وخاص وعلم بأسباب نزول الآيات والناسخ والمنسوخ منها وتعرف لأقوال الأئمة وتأويلاتهم فقد أخطأ في حكمه على القرآن بما لم يعرف أصله وشهادته على الله تعالى بأن ذلك هو مراده أما من قال فيه بالدليل وتكلم فيه على وجهالتأويل فغير داخل في هذا الخبر.
Artinya: ““Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”, dalam sebagian riwayat Imam turmudzi dan lainnya (di tulis dengan:) “Barangsiapa berkata dalam kitab Alloh”, dalam sebagian riwayat (dengan:) “Barangsiapa berbicara dalam Al Qur’an dengan pikirannya”, yakni: dengan pemikiran yang timbul dihati yang kotor tanpa mengetahui dengan dasar-dasar dan kebaikan dalil manqul (naqli: Al Qur’an dan Hadist) kemudian mendapat kebenaran yang mencocoki hawa nafsunya, tanpa memandang pendapat para ulama, tanpa merujuk kaidah-kaidah keilmuan, tanpa menyandarkan pada tata bahasa arab, penggunaan hakikat-majaz global-terperinci umum-khusus, tanpa mengetahui sebab-musabab turunnya ayat, Nasikh-mansukh (al Qur’an yang menyalin dan disalin), dan tanpa mengetahui Qoul-qoul para Imam serta penakwilan beliau-beliau. Maka orang tersebut benar-benar keliru menghukumi dengan Al Qur’an dengan sesuatu yang tidak diketahui asalnya dan persaksian atas Alloh, semua hal diatas adalah maksud dari hadist “Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…, Adapun Ulama yang berkata dalam al Qur’an dengan menggunakan dalil dan berbicara sesuai ta’wil bukanlah orang yang masuk dalam pengertian hadist ini (“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…).”
Untuk mengenal lebih mudah golongan Ahli Sunah wal Jama’ah dalam konteksterkini, KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ menandaskan, ciri ahli Sunah wal Jama’ah, adalah mereka:
- Yang dibidang Fiqh mengikuti faham Imam Abi Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i bin Idris atau Imam Ahmad bin Hambal.
- Dibidang Tasawwuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid al-Baghdady dan Imam Ghozali.
- Dan bidang Tauhid mengikuti Imam Abu al-Asy’ari atau Imam Abu Mansur al-Maturidi.
Hubungan antara Ahli Sunah wal Jama’ah dengan NU dan organisasi keagamaan lainnya, dapat dilihat dari bagaimana gaya masing-masing organisasi tersebut memahami ajaran agama Islam. Sebab patokan atau pakem yang dijadikan rujukan oleh masing-masing adalah sama, yakni al-Qur’an dan Hadits Nabi. Hanya bagaimana kemudian dua sumber tersebut dipahami, secara mendetail dan pengamalan yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad, yakni berahlak mulia dan dengan Mauidzotul hasanah tanpa menyakiti sesama. Oleh karena itu alangkan indahnya apabila kita kembalikan semua ajaran islam sesuai garis-garis dasar yang telah di firmankan Alloh SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Nisâ`: 59)
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (159)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (Q.S. al An’am 159)
Dan sebagai penutup kami mengajak para Alim-Ulama, para cendekiawan Muslim, para santri dan segenap masyarakat untuk menjadi benteng terakhir ajaran islam, sesuai Sabda Nabi SAW.:
تحفة الأحوذي – (ج 6 / ص 449)
أَمَّا حَدِيثُ جَابِرٍ فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ عَنْهُ مَرْفُوعًا : ” إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَوَّلَهَا ، فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ” . قَالَ الْمُنْذِرِيُّ : فِيهِ اِنْقِطَاعٌ ، وَأَمَّا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْحَاكِمِ وَقَالَ صَحِيحٌ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ .
سنن ابن ماجه – (ج 1 / ص 322)
275 – حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ أَبِى السَّرِىِّ الْعَسْقَلاَنِىُّ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّرِىِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَوَّلَهَا فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ».
“Apabila akhir umat ini melaknat (generasi) awalnya, (maka hendaklah orang-orang yang mempunyai ilmu pada ketika itu memperlihatkan ilmunya), maka barangsiapa yang menyembunyikan hadist (ilmu pada waktu tersebut), benar-benar (seumpama) seseorang yang menyembunyikan apa yang telah Alloh turunkan (diwahyukan kepada Sayyidina Muhammad SAW!!!)”.
Wallohu A’lam Bisshowab….
Subscribe to:
Posts (Atom)