Nuzulul Qur'an Menurut Berbagai Madzhab

July 14, 2014 Add Comment
Nuzulul Qur'an Menurut Berbagai Madzhab

Nuzulul Qur'an (turunnya Al-Qur'an) adalah hal yang sangat istimewa bagi umat Islam. Sebagaimana Al-Qur'an merupakan rahmat agung bagi umat ini, nuzulul Qur'an juga merupakan rahmat besar bagi umat ini. 

Mayoritas umat Islam di Indonesia berpendapat nuzulul Qur'an jatuh pada tanggal 17 Ramadhan. Bahkan banyak pula yang mengadakan acara khusus untuk memperingati nuzulul Qur'an setiap tahunnya. 

Di dalam Al-Qur'an, nuzulul Qur'an difirmankan Allah SWT dalam tiga ayat berikut ini: 


شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ 

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah:185) 

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ 

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan : 4) 

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ 

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan (lailatul qadar)(QS. Al-Qadr : 1) 

Sebagaimana QS. Al-Baqarah ayat 185 di atas, sebagian ayat Al-Qur'an bersifat menjadi bayan (penjelas) bagi sebagian ayat yang lain. Tidak ada pertentangan antar ayat Al-Qur'an. 

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا 

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisa' : 82) 

Demikian juga tiga ayat (QS. Al-Baqarah : 185, QS. Ad-Dukhan : 4, dan QS. Al-Qadr : 1) yang menjelaskan nuzulul Qur'an di atas. Ketiganya tidak bertentangan. Namun, dzahir ayat bertentangan dengan realitas sejarah, dimana Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah SAW selama 23 tahun. Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua madzhab pokok, dan dua madzhab lain sebagai berikut: 

Madzhab Pertama tentang Nuzulul Qur'an 
Madzhab pertama ini merupakan pendapat dari Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, yang kemudian menjadi pendapat jumhur ulama'. Bahwa yang dimaksud nuzulul Qur'an dalam 3 ayat tersebut adalah turunnya Al-Qur'an sekaligus ke Baitul Izzah di langit dunia. Ini untuk menunjukkan kepada malaikat-Nya betapa besar masalah ini. Kemudian Al-Qur'an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun. 10 tahun ketika periode Makkiyah, dan 13 tahun dalam periode Madaniyah. 

Dalil yang dipakai untuk memperkuat madzhab ini adalah: 
1. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Al-Qur'an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul qadar. Kemudian ia diturunkan selama dua puluh tahun" (HR. Hakim, Baihaqi, dan Nasai). Kemudian Ibnu Abbas membaca firman-Nya: 

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya (QS. Al-Furqan : 33) 

وَقُرْآَنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا 

Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al-Isra' : 106) 

2. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Al-Qur'an itu dipisahkan dari Adz-Dzkir, lalu diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia, maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi SAW" (HR. Hakim) 

3. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Allah menurunkan Al-Qur'an sekaligus ke langit dunia, pusat turunnya Al-Qur'an secara bertahap. Lalu, Allah menurunkannya kepada Rasul-Nya bagian demi bagian" (HR. Hakim dan Baihaqi) 

4. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Al-Qur'an diturunkan pada lailatul qadar pada bulan Ramadhan ke langit dunia sekaligus, lalu ia diturunkan secara berangsur-angsur" (HR. Thabrani) 

Madzhab Kedua tentang Nuzulul Qur'an 
Madzhab kedua tentang nuzulul Qur'an yaitu yang diriwayatkan oleh Amr bin Syarahil Asy-Sya'bi, (seorang tabi'in besar, ahli hadits dan fikih, guru Imam Abu Hanifah, yang wafat tahun 109 H) bahwa yang dimaksud dengan nuzulul Qur'an dalam tiga ayat di atas adalah permulaan turunnya Al-Qur'an itu dimulai pada lailatul qadar di bulan Ramadhan. Lalu turun secara bertahap selama 23 tahun. 

Dengan demikian, hanya ada satu macam cara turun menurut madzhab ini, yaitu secara bertahap kepada Rasulullah sebagaimana dinyatakan dalam ayat : 

وَقُرْآَنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا 

Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al-Isra' : 106) 

Orang musyrik yang diberitahu bahwa kitab samawi terdahulu turun sekaligus, menginginkan al-qur'an juga turun sekaligus. 

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآَنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا * وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. Al-Furqan : 32-33) 

Menurut Syaikh Manna Al-Qaththan, madzhab kedua yang diriwayatkan Asy-Sya'bi, dengan dalil shahih dan dapat diterima ini, tidak bertentangan dengan madzhab pertama. Selanjutnya Syaikh Manna Al-Qaththan mengatakan pendapat yang kuat adalah Al-Qur'an diturunkan dua kali : pertama, diturunkan sekaligus ke Baitul Izzah pada lailatul Qadar, dan kedua, diturunkan dari langit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia pernah ditanya oleh Athiyah bin Aswad: "Dalam hatiku ada keraguan tentang firman Allah 'bulan Ramadhan itu bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an', dan firman Allah 'kami menurunkannya pada lailatul qadar'. Padahal Al-Qur'an itu ada yang diturunkan pada bulan Syawal, dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Rabiul Awal". Ibnu Abbas menjawab: "Al-Qur'an diturunkan pada lailatul qadar sekaligus. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah serta perlahan-lahan sepanjang bulan dan hari" 

Madzhab Ketiga tentang Nuzulul Qur'an
 
Yakni yang berpendapat Al-Qur'an diturunkan ke langit dunia pada 23 malam kemuliaan (lailatul qadar), yang pada setiap malam-malam kemuliaan itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan setiap tahunnya. Dari jumlah untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasul sepanjang tahun. Ini hasil ijtihad sebagian mufassir. Pendapat ini tidak mempunyai dalil. 

Madzhab Keempat tentang Nuzulul Qur'an 
Yaitu pendapat bahwa Al-Qur'an diturunkan pertama-tama berangsur-angsur ke Lauh Mahfudz, sebagaimana firman Allah: 

بَلْ هُوَ قُرْآَنٌ مَجِيدٌ * فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ 

Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh. (QS. Al-Buruj : 22) 

Kemudian ke Baitul Izzah serentak, lalu turun sedikit demi sedikit dalam 23 tahun. Jadi menurut madzhab ini Al-Qur'an diturunkan dalam tiga tahap. 

Menurut Syaikh Manna Al-Qaththan, pendapat ini sebenarnya tidak bertentangan dengan kedua madzhab pokok, karena sebelum diturunkan ke Baitul Izzah, Al-Qur'an memang tersimpan di lauh mahfudz sebagaimana QS. Al-Buruj ayat 22 di atas. 

Tanggal Pertama Kali Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah 
Al-Qur'an yang diturunkan pertama kali kepada Rasulullah adalah surat Al-'Alaq (Iqra') di gua hira yang terkenal itu. Mengenai tanggalnya, para ulama memiliki banyak pendapat yang satu sama lain ada juga yang berselish jauh. Sebagian mengatakan bulan Rajab dan sebagian lainnya mengatakan bulan Ramadhan. Namun yang benar adalah bulan Ramadhan sebagaimana QS. Al-Baqarah ayat 185.

Dari pendapat bulan Ramadhan ini, terpecah lagi ke dalam beberapa pendapat. Sebagian mengatakan tanggal 7, sebagian berpendapat tanggal 17, dan ada juga yang berpendapat tanggal 18. Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury setelah melakukan penelitian mengatakan di dalam Rahiqul Makhtum bahwa wahyu pertama tersebut jatuh pada hari Senin, tanggal 10 Agustus 610 M, bertepatan dengan bulan Ramadhan. Pada bulan Ramadhan itu, hari Senin jatuh pada tanggal 7, 14, dan 21. Dengan mendasarkan kepada argumen bahwa Al-Qur'an pertama kali diturunkan pada lailatul qadar, dan lailatul qadar ada pada malam ganjil sepuluh hari terakhir Ramadhan, Syafiyurrahman Al-Mubarakfury menyimpulkan bahwa Al-Qur'an pertama kali diturunkan kepada rasulullah pada Tanggal 21 Ramadhan. 

Demikian penjelasan mengenai Nuzulul Qur'an menurut berbagai madzhab, semoga bermanfaat.Wallaahu a'lam bish shawab

 Sumber:  مابحث في علوم القران karya Syaikh Manna Al-Qaththan,  رحيق المختوم karya Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Fi Zhilalil Qur'an

KIAI SAHAL DAN REALISME FIKIH

May 25, 2014 Add Comment


Dari perspektif fikih, lokalisasi pelacuran hukumnya boleh. Bagaimana bisa? Dalam Nuansa Fiqh Sosial, KH. Sahal Mahfudz memberi jawaban menarik. Kata Kiai Sahal, prostitusi jelas dilarang agama. Tapi sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi tak akan musnah hanya dengan diharamkan. Dalam kondisi demikian, terdapat dua pilihan yang sama-sama membawa kerusakan (mafsadah): atau membiarkan prostitusi menyebar secara gelap di masyarakat dan tak terkontrol, atau melokalisirnya sehingga bisa dikontrol. Kaidah fikih mengajarkan, bila ada dua pilihan yang sama-sama mengandung mafsadah, yang lebih ringanlah yang mesti dipilih. Atas dasar itulah Kiai Sahal berpendapat lokalisasi pekerja seks komersial bisa dibenarkan.
Pandangan di atas mungkin terasa mengejutkan bagi kalangan Islam yang, atas nama amar ma’ruf nahi munkar, menyatakan perang total terhadap segala bentuk kemunkaran. Prostitusi di mata mereka justru harus diberantas, bukan dilokalisir. Bahwa persoalannya kompleks, mereka tak mau tahu.
Sebenarnya, kalau acuannya kitab-kitab tentang kaidah fikih (qawa’id al fiqh), pendekatan frontal yang hitam putih terhadap kasus fikih justru jarang ditemukan. Yang lazim malah penekanan tentang pentingnya memperhitungkan kompleksitas masalahnya. Ada setidaknya tiga kaidah fikih yang menunjukkan hal itu.
Pertama, kaidah tentang keharusan menghilangkan kerusakan (dharar), baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Namun usaha menghilangkan kerusakan tak boleh dengan cara-cara yang merusak. Tak boleh juga melahirkan kerusakan baru. Dengan kata lain, yang perlu ditimbang bukan hanya isi hukumnya, tapi juga ongkos sosial dan solusi terhadap masalahnya. Dan seperti digambarkan dalam kasus lokalisasi di atas, terhadap sesuatu yang haram pun kita tak bisa langsung membumihanguskannya begitu saja,
Kaidah kedua, keadaan tak terelakkan atau suatu kemestian (dharurah) bisa membolehkan hal yang tadinya terlarang. Kaidah inilah yang dipakai, misalnya, oleh Al-Ghazali sebagai landasan fikih politiknya yang bertumpu pada realisme . Dalam Al Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali menegaskan, dalam situasi ketika tak mungkin lagi ditemukan pemimpin yang sesuai dengan kriteria syariah, maka penguasa yang tak sesuai kriteria syar’i bisa dianggap absah, asalkan mampu menegakkan tatanan sosial. Sebab, bila pemimpin seperti itu tak diakui lantaran tak sesuai syariah, maka umat akan berada dalam situasi yang lebih berbahaya menurut fikih, yakni situasi tanpa pemimpin yang niscaya melahirkan kekacauan sosial dan politik. Dengan kata lain, situasi yang tak terelakkan (dharurah) menyebabkan apa yang tadinya terlarang menjadi boleh.
Sedangkan kaidah ketiga berbunyi: budaya setempat bisa menjadi dasar hukum. Alih-alih memberangus tradisi lokal, hukum Islam justru mengakomodasinya. Kaidah ini meniscayakan adanya keragaman fikih, mengingat budaya lokal umat Islam juga beragam. Artinya, fikih yang cocok berlaku buat orang Islam Indonesia adalah “ fikih Indonesia,” sebagaimana yang cocok buat kaum Muslim Arab adalah “fikih Arab.” Mungkin inilah yang dimaksud Gus Dur sebagai “pribumisasi Islam.”
Tiga kaidah fikih di atas tak pelak mengarah pada kesimpulan berikut: hukum Islam bukanlah sebuah paket baku yang sudah jadi dari atas, yang tinggal diterapkan begitu saja pada situasi manapun dan kapanpun. Karena hukum Islam ternyata sangat mempertimbangkan kenyataan kongkret di mana kaum muslim berada. Hubungan antara keduanya bukanlah hubungan satu arah yang bersifat top-down, melainkan saling mempengaruhi. Kenyataan tak hanya melulu harus disesuaikan dengan suatu putusan syara’, melainkan juga bisa membuat putusan tersebut menyesuaikan diri dengannya. Saya menyebut fenomena ini sebagai “realisme fikih.”
Realisme fikih inilah yang saya kira mencirikan gagasan “fikih sosial” ala Kiai Sahal. Asumsi dasarnya, syariah mesti dilihat sebagai fikih, yang berarti “pemahaman.” Bagi Kiai Sahal, fikih selalu merupakan hasil ijtihad yang tak bersifat kaku dan sakral, melainkan lentur dan kontekstual. Putusan fikih yang pada suatu zaman dan tempat tertentu dianggap valid bisa saja tak lagi relevan di era lain atau di tempat lain. Untuk menggambarkan kelenturan fikih ini, Kiai Sahal mengutip seloroh KH. Wahab Hasbullah: pekih kuwi yen rupek yo diokoh-okoh, fikih itu kalau terasa menyempitkan ya dibuat longgar.
Tapi apa landasan bagi peng-“okoh-okoh”an fikih? Apa tolok ukur yang mendasari kontekstualisasi hukum Islam? Di mata Kiai Sahal, di luar wilayah ibadah murni (ibadah mahdhah), kontekstualisasi fikih harus bersandar pada prinsip kemaslahatan. Dalam dunia sosial-politik, prinsip ini bisa diterjemahkan sebagai terciptanya keadilan sosial.
Dalam konteks mutakhir, keadilan sosial dimaknai dalam kerangka demokrasi, yang bertaut erat dengan prinsip kesetaraan warga negara, apapun agamanya. Kesetaraan demokrasi inilah yang menurut Kiai Sahal merupakan muara bagi fikih politik untuk zaman ini. Konsekuenasinya, diktum-diktum fikih politik (fiqh al-siyasah) klasik yang bertentangan dengan muara fikih tersebut, seperti konsep dzimmi yang menempatkan kalangan nonmuslim sebagai warga negara kelas dua, menjadi tidak relevan lagi. Menarik bahwa alur penalaran fikih pada akhirnya membawa Kiai Sahal pada sikap menyetujui demokrasi sebagai sistem yang dianggap paling efektif merealisasikan kemasalahatan, yang nota bene merupakan tujuan syariah.
Dengan kerangka berpikir seperti itu, wajar kalau kemudian Kiai Sahal menolak ide formalisasi syariah. Dalam pidato iftitahnya di Munas NU 2006, misalnya, ia menggarisbawahi perlunya NU mengusung syariah “tanpa melalui jalan formalistik, lebih–lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, melainkan dengan cara lentur.” Sebab ia meyakini, “syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal.”
Ditinjau dari lensa fikih sosial, gerakan penerapan syariah yang belakangan marak di negeri kita sejatinya mengidap sejumlah masalah akut. Yang paling mencolok adalah diabaikannya prinsip kesetaraan yang menurut Kiai Sahal harusnya menjadi muara bagi syariah. Lihat saja betapa banyak perda syariah yang melanggar hak-hak perempuan dan kaum minoritas.
Ada anggapan, negara syariah mencerminkan Islam kaffah yang sesuai dengan teladan Islam salaf. Padahal upaya menempatkan hukum Islam sebagai hukum tunggal yang baku dan disahkan oleh negara justru tak dikenal pada masa Islam klasik. Positivisasi hukum Islam adalah fenomena modern, yang akarnya baru muncul pada paruh akhir abad 19, akibat dari persentuhan Dunia Islam dengan negara kolonialnya seperti Perancis. Model acuannya pun banyak mengambil dari sistem hukum Eropa. Sebelum itu, selama ratusan tahun korpus syariah praktis dirumuskan dan dikembangkan oleh para ulama fiqh “swasta” yang otonom dari negara dan tanpa pengesahan negara. Di tangan merekalah syariah tampil sebagai fiqh, yakni ranah ijtihad yang fleksibel dan meniscayakan keragaman pendapat. Inilah yang hendak dihidupkan lagi oleh Kiai Sahal melalui fikih sosialnya.
Walhasil, penolakan Kiai Sahal atas formalisasi syariah kiranya sejalan dengan fikih sosialnya. Karena baginya, dengan memahami syariah sebagai fikih dan bukan sebagai hukum positif, kita sejatinya memulihkan kembali karakter hukum Islam yang sesugguhnya, yakni yang lentur, kontekstual, dan berporos pada keadilan sosial. Bagi Kiai Sahal, inilah bentuk sejati penerapan syariah.
Akhmad Sahal, pengurus cabang istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika. Akun twitter: @sahal_AS
*Tulisan ini dimuat di Majalah TEMPO, ediisi 24/2/2014

JADWAL TEMPAT ZIARAH WALI SONGO Pon. Pes. “MA’HADUT THOLABAH” Th. 2014 M

March 31, 2014 Add Comment
JADWAL TEMPAT ZIARAH WALI SONGO Pon. Pes. “MA’HADUT THOLABAH” Th. 2014 M



                                                               

Nama Wali
Tempat
KH. Ahmad Thoha Romlan
Kandangan
KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU)
Tebuireng Jombang
KH. Abdurahman Wahid (Presiden ke-4)
Tebuireng Jombang
Syekh Jumadil Qubro (Walisongo Generasi ke-1)
Troloyo Trowulan Mojokerto
Syekh Bungkul
Jl. Darmo Surabaya Kota
Syekh Raden Rahmad (Sunan Ampel)
Ampel Denta Surabaya
Syekh Maulana Malik Ibrahim
Gresik
Syekh Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Lereng Gunung Giri Gresik
Syekh Raden Qosim (Sunan Drajad)
Sedayu Lamongan
Syekh Asmoro Qondi (Raden Asmoro)
Tuban
Syekh Makdum Ibrahim (Sonan Bonang)
Tuban
Syekh Raden Umar Sa’id (Sunan Muria)
Lereng Gunung Muria
Syekh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)
Menara Kudus, Kudus
Syekh Raden Sa’id (Sunan Kalijaga)
Kadilangu Demak
Masjid Agung Demak
Demak
Syekh Raden Fatah ( Raja Islam Pertama Di Jawa)
Demak Bintoro
Syekh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati)
Cirebon Jawa Barat
Sultan Hasanuddin (Pahlawan Nasional)
Banten Jawa Barat
Syekh Maulana Yusuf
Pandeglang Serang Jawa Barat
Masjid Istiqlal
Jakarta
Wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Jakarta
Syekh Panjalu (Wisata Keliling Danau)
Tasikmalaya Jawa Barat
Syekh Haji Abdul Muhyi
Pamijahan Tasikmalaya
Goa Saparwadi
Bantarkalong Pamijahan
Syekh Dalhar
Gunung Pring Muntilan Jateng
Syekh Pandanaran (Sunan Bayat)
Bayat Klaten Jateng
Malioboro/Pasar Klewer
Yogyakarta/Solo Jateng

NB :
  1. Berangkat Tanggal 20 Juni 2014
  2. Kontribusi Rp.340.000
  3. Bus full AC + Video
  4. Dana harus lunas sebelum berangkat dan dapat diangsur
  5. Jam 15.00 wib peserta harus sudah berkumpul dihalaman PPMT Kebondalem, Kandangan
  6. Jadwal bisa berubah tergantung situasi dan kondisi

KH Idham Cholid (NU) dan Buya Hamka ( MUHAMMADIYAH)

March 31, 2014 Add Comment
KH Idham Cholid (NU) dan Buya Hamka ( MUHAMMADIYAH)

Foto: KH Idham Cholid (NU) dan Buya Hamka ( MUHAMMADIYAH)

kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci. 

Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.

Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.

KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya.

 Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.

Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.

Namun, sayangnya banyak dari orang-orang yang mengaku menjadi pengikut pemimpin mereka malah tidak bisa mencontoh sifat kebesaran jiwa yang ditunjukan para pemimpinnya. 

Banyak diantara mereka saling meributkan, menyibukan diri dengan mencari-cari perbedaan, dan menyalahkan satu sama lain yang berbeda pendapat dan tidak jarang saling mengejek dan menghina bahkan sampai menyesatkan sesama muslim yang berseberangan dengannya.

 Mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukannya hanya memecah belah umat dan sungguh ini adalah perbuatan yang lebih hina di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Ini adalah fakta dan memang benar adanya. Contoh yang paling nyata adalah menjamurnya tulisan-tulisan di berbagai media khususnya media online seperti blog atau website yang memaparkan pendapat-pendapat yang dianggap paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain sesama muslim yang berbeda pendapat dengannya. 

Apa yang mereka utarakan sebenarnya hanyalah foto copy alias copy paste dan taqlid dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah mufti tertinggi. 

Tidak seperti para Imam Ahlus Sunnah yang sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah khususnya dalam keragaman amal syariat.

Kenyataan ini memang sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka para imam Ahlus Sunah, tetapi tidak mampu meneladani akhlak para imamnya. 

Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap sebagian orang tersebut, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka yang mencela dan mensesat-sesatkan bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa. 

Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja. 

Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani. Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’ 

Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.

sumber : https://www.facebook.com/gusdurhumor?fref=ts

"SILAHKAN SHARE"

Kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci.

Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.

Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.

KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya.

Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.

Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.

Namun, sayangnya banyak dari orang-orang yang mengaku menjadi pengikut pemimpin mereka malah tidak bisa mencontoh sifat kebesaran jiwa yang ditunjukan para pemimpinnya.

Banyak diantara mereka saling meributkan, menyibukan diri dengan mencari-cari perbedaan, dan menyalahkan satu sama lain yang berbeda pendapat dan tidak jarang saling mengejek dan menghina bahkan sampai menyesatkan sesama muslim yang berseberangan dengannya.

Mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukannya hanya memecah belah umat dan sungguh ini adalah perbuatan yang lebih hina di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Ini adalah fakta dan memang benar adanya. Contoh yang paling nyata adalah menjamurnya tulisan-tulisan di berbagai media khususnya media online seperti blog atau website yang memaparkan pendapat-pendapat yang dianggap paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain sesama muslim yang berbeda pendapat dengannya.

Apa yang mereka utarakan sebenarnya hanyalah foto copy alias copy paste dan taqlid dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah mufti tertinggi.

Tidak seperti para Imam Ahlus Sunnah yang sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah khususnya dalam keragaman amal syariat.

Kenyataan ini memang sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka para imam Ahlus Sunah, tetapi tidak mampu meneladani akhlak para imamnya.

Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap sebagian orang tersebut, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka yang mencela dan mensesat-sesatkan bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa.

Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja.

Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani. Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’

Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.

Pembelaan Gus Dur Atas Fitnah yang Menimpa Habaib

March 31, 2014 Add Comment
Pembelaan Gus Dur Atas Fitnah yang Menimpa Habaib


Tatkala pernyataan ketua umum MUI KH. Hasan Basri yang dimuat di surat kabar harian terbit tahun 1993 bahwa: “Tidak ada anak keturunan Rasulullah di Indonesia bahkan di dunia karna sudah dinyatakan terputus dikarenakan tidak adanya lagi keturunan Hasan dan Husein.”

Terang saja pernyataan ini membuat para ulama khususnya para habaib tidak menerimanya. Al-Habib Muhamnad al-Habsyi Kwitang, yang pada waktu itu dalam keadaan sakit, meminta kepada al-Habib Nauval bin Jindan untuk tampil membela kehormatan anak cucunya Rasulullah Saw. Dan peristiwa tersebut boleh dikatakan petistiwa terdahsyat atas fitnah yang ditujukan kepada para habaib, sampai memakan waktu lebih dari dua tahun peristiwa tersebut masih hangat diperbincangkan. Sampai-sampai sebuah majalah mengeluarkan berita di sampul utamanya dengan judul “APA JASAMU HAI PARA HABIB”.

Al-Habib Nauval dari satu mimbar ke mimbar lainnya menyeru kepada para ulama: “Hai kalian para ulama, bangkit kalian jangan mau diperalat oleh siapapun. Kami para habaib tidak butuh pengakuan. Tapi kalau kalian hanya diam atas fitnahan terhadap kami, sesungguhnya kalianlah yang paling rugi serugi-ruginya.”

Sedangkan Gus Dur, yang menyempatkan hadir di Pondok Pesantren al-Fachriyah di Cileduk sekitar tahun 1994, diantara pidato yang disampaikan adalah: “Hanya orang bodoh yang mengatakan batu permata dibilang batu koral. Dan yang paling bodoh batu permata kok dihargakan batu kerikil. Mereka para cucunya Rasulullah Saw. datang ke negeri ini merupakan karunia Tuhan yang terbesar. Dan hanya orang-orang yang kufur nikmat kalau tidak mau mensyukurinya.”

Kedatangan beliau memberi dukungan kepada al-Habib Nauval bin Salim bin Jindan yang sedang menentang pimpinan MUI waktu itu, yakni KH. Hasan Basri, yang tidak mengakui adanya keturunan Nabi Saw. Peristiwa tersebut merupakan hal yang sulit dilupakan.

Biografi Syeh Salim bin Sumair Al-Hadhromi, pengarang kitab Safinatun Najah

March 31, 2014 Add Comment
Biografi Syeh Salim bin Sumair Al-Hadhromi, pengarang kitab Safinatun Najah



Nama dan Kelahiran

Al-Allamah Asy-Syaikh Salim bin Abdulloh bin Sa’ad bin Abdulloh bin Sumair Al-Hadhromi Asy-Syafi’I, dikenal sebagai seorang ulama’ ahli fiqih (al-faqih), pengajar (al-mu’allim), hakim agama (al-qodhi), ahli politik (as-siyasi) dan juga ahli dalam urusan kemiliteran (al-khobir bisy-syu’unil ‘askariyah). Beliau dilahirkan didesa “Dzi Ashbuh” salah satu desa dikawasan Hadhromaut, Yaman. 

Perkembangan dan pendidikan

Syekh Salim me¬mulai pendidikannya dalam bidang agama dengan belajar Al-Qur'an di bawah peng¬awasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh Al-Allamah Abdullah bin Sa'ad bin Sumair, hingga beliau mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Lalu beliau ikut mengajarkan Al-qur’an sehingga beliau mendapat gelar “Al-Mu’allim”. Al Mu’allim adalah sebutan yang biasa diberikan oleh orang – orang Hadhromaut kepada seorang pengajar Al-Qur’an. Mungkin saja sebutan tersebut diilhami dari Hadits Nabi;

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik baik orang diantara kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya” (Shohih Bukhori, no.5027)

Beliau juga belajar ilmu – ilmu agama lainnya pada ayahnya dan pada ulama’ – ulama’ hadhromaut yang jumlahnya sangat banyak pada masa itu, yaitu pada abad ke – 13 Hijriyah. 

Berdakwah dan Mengajar

Setelah belajar kepada beberapa ulama’ dan telah menguasai berbagai ilmu agama beliau mengabdikan dirinya untuk mengajarkan ilmunya, mulailah berdatangan para pernuntut ilmu untuk menimba ilmu pada beliau, diantara murid beliau yang masyhur adalah Al-Habib Abdulloh bin Thoha Al-hadar Al-Haddad dan Syekh Al-Faqih Ali bin Umar Baghuzah. Semenjak itu nama beliau menjadi masyhur dan dipuji dimana mana, setingkat dengan guru beliau, Asy-Syaikh Al-Allamah Abdulloh bin Ahmad Basudan.

Keahlian dibidang politik dan kemiliteran

Selain penguasaan yang mendalam akan ilmu – ilmu agama, Syekh Salim juga dikenal sebagai seorang ulama’ yang ahli dalam urusan politik dan tim ahli dalam masalah perlengkapan peperangan. Dikisahkan, pada suatu ketika Syekh Salim diminta agar membeli per¬alatan perang tercanggih pada saat itu, maka beliau berangkat ke Singapura dan mengirimnya ke Hadhromaut. Beliau juga merupakan salah seorang yang berjasa dalam mendamaikan Yafi’ dan Kerajaan Katsiriyah. 

Kemudian beliau diangkat men¬jadi penasehat khusus Sultan Abdullah bin Muhsin. Sultan tersebut pada awalnya sangat patuh dan tunduk dengan segala saran, arahan dan nasehat beliau. Namun lama kelamaan sang sultan tidak lagi mau menuruti saran dan nasehat beliau dan bahkan meremehkan saran – saran beliau. Akhirnya beliau memutuskan untuk hijrah menuju India, lalu beliau hijrah ke negara pulau jawa.

Kehidupan di Batavia

Setelah menetap di Batavia (Kini menjadi Jakarta) sebagai seorang ulama terpandang yang segala tindakan¬nya menjadi perhatian para pengikutnya, maka perpindahan Syekh Salim ke pulau Jawa tersebar secara luas dengan cepat, mereka datang berduyun-duyun kepada Syekh Salim untuk menimba ilmu atau meminta do'a darinya. Melihat hal itu maka Syekh Salim mendirikan berbagai majlis ilmu dan majlis dakwah, hampir dalam setiap hari beliau menghadiri majlis¬majlis tersebut, sehingga akhirnya semakin menguatkan posisi beliau di Batavia, pada masa itu. Syekh Salim bin Sumair dikenal sangat tegas di dalam mempertahankan kebenaran, apa pun resiko yang harus diha-dapinya. Beliau juga tidak menyukai jika para ulama mende¬kat, bergaul, apalagi menjadi budak para pejabat. Seringkali beliau memberi nasihat dan kritikan tajam kepada para ulama dan para kiai yang gemar mondar-mandir kepada para pejabat pemerintah Belanda. 

Martin van Bruinessen dalam tulisan¬nya tentang kitab kuning (tidak semua tulisannya kita sepakati) juga sempat memberikan komentar yang menarik terhadap tokoh kita ini. Dalam beberapa alenia dia menceritakan per¬bedaan pandangan dan pendirian yang terjadi antara dua orang ulama besar, yaitu Sayyid Usman bin Yahya dan Syekh Salim bin Sumair yang telah menjadi perdebatan di kalangan umum. Pada saat itu, tampaknya Syekh Salim kurang setuju dengan pendirian Sayyid Usman bin Yahya yang loyal kepada pemerintah kolonial Belanda. Sayyid Usman bin Yah_ya sendiri pada waktu itu, sebagai Mufti Batavia yang diangkat dan disetujui oleh kolonial Belanda, sedang berusaha menjern¬batani jurang pemisah antara `Alawiyyin (Habaib) dengan pemerintah Belanda, sehingga beliau merasa perlu untuk mengambil hati para pejabatnya. 

Oleh karena itu, beliau mem¬berikan fatwa-fatwa hukum yang seakan-akan mendukung program dan rencana mereka. Hal itulah yang kemudian menyebabkan Syekh Salim terlibat dalam polemik panjang dengan Sayyid Usman yang beliau anggap tidak konsisten di dalam mempertahankan kebenaran. Entah bagaimana penye¬lesaian yang terjadi pada waktu itu, yang jelas cerita tersebut cukup kuat untuk menggambarkan kepada kita tentang sikap dan pendirian Syekh Salim bin Sumair yang sangat anti de¬ngan pemerintahan yang dholim, apalagi para penjajah dari kaum kuffar. 

Pengamalan ibadah

Walaupun Syekh Salim seorang yang sangat sibuk dalam berbagai kegiatan dan jabatan, namun beliau adalah seorang yang sangat banyak berdzikir kepada Allah SWT dan juga dikenal sebagai orang yang ahli membaca Al Qur'an. Syekh Ahmad Al-Hadhromi Al-Makiy menceritakan bahwa Syekh Salim mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an ketika melakukan thowaf di Baitulloh.

Karya – karya tulis 

Beliau telah meninggalkan beberapa karya ilmiah di antaranya Kitab "Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii Maulah" (perahu keselamatan di dalam mempelajari kewajiban seorang hamba kepada Tu¬hannya), yang banyak diajarkan di madrasah diniyah dan pondok pesantren di Indonesia. Selain itu beliau juga menulis kitab Al-Fawaid AI-Jaliyyah Fiz-Zajri ‘An Ta’athil Hiyal Ar-Ribawiyah (faedah –faedah yang jelas mengenai pencegahan melakukan hilah – hilah ribawi), satu kitab yang ditulis untuk mengecam rekayasa (hilah) untuk memuluskan praktek riba.

Berpulang ke Rahmatulloh

Syaikh Salim meninggal di Batavia pada tahun 1271 Hijriyah

Ulama-ulama Indonesia Di Haromain

March 31, 2014 Add Comment
Ulama-ulama Indonesia Di Haromain


Embrio NU di Indonesia
Banyak diantara kita yang kepaten obor, kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda. Hal itupun tidak bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlitul Ulama itu. Karena pengertian-pengertian mulai dari sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan NU, bagaimana asal usul atau awal mulanya Mbah Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlus sunah wal jamaah harus diberi wadah di Indonesia ini.
Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunah bukan semata-mata KH Hasyim Asy’ari ingin berinovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlus Sunah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlu Sunah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H. Pada kurun itu ulama Indonesia sangat mewarnai, dan perannya dalam menyemarakan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram tidak kecil. Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat terkenal, tidak satupun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ilmi Syari’ah, fi thoriqoh wa fi ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf. Dintaranya dari Sambas, Ahmad bin Abdu Somad Sambas. Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kyai Tholhah Gunung jati Cirebon. Kiai Tholhah ini adalah kakek dari Kiai Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiai Syarifudin bin Kiai Zaenal Abidin Bin Kiai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur panjang, usianya seratus tahun lebih. Adik seperguruan beliau diantaranya Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiai kholil lahir pada tahun 1227 H. Dan diantaranya murid-murid Syeh Ahmad sambas yaitu Syekh Abdul Qodir Al Bantan, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber Kiai Asnawi Banten. Ulama lain yang sangat terkenal sebagai ulama ternama di Masjidil Harom adalah Kiai Nawawi al Bantani. Beliau lahir pada tahun 1230 H dan meninggal pada tahun 1310 H, bertepatan dengan meninggalnya mufti besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah di Masjidil Harom adalah Sayid Ahmad An Nahrowi Al Banyumasi, beliau diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125. Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Sayidi Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi. Syekh Abdul Qadir Al Bantani murid lain Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas, yang mempunyai murid Kiai Abdul Latif Cibeber dan Kiai Asnawi Banten. Adapun ulama- alama yang lain yang ilmunya luar biasa adalah Sayidi Syekh Ubaidillah Surabaya, beliau melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiai Ubaidah Giren Tegal, terkenal sebagai Imam Asy’ari-nya Indonesia. Dan melahirkan seorang ulama, auliya besar, Sayidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayidi Syekh Muhamad Abdul Malik. Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim di Haromain yang mengajak adalah Kiai Ubaidah tersebut, di Jabal Abil Gubai, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantaranya murid muridnya lagi di Mekah Sayidi Syekh Abdullah Tegal. Lalu Sayidi Syekh Abdullah Wahab Rohan Medan, Sayid Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi syekh Muhmmad Ilyas Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdu Somad al Bimawi, dan Sayidi Syekh Abdullah dan Sayidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas sebelum Kiai Mahfudz dan sebelum Kiai Dimyati. Dijaman Sayidi Syekh Ahmad Khatib Sambas ataupun Sayidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen. Inilah ulama-ulama indonesia diantara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin jogja, Kyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh pada waktu itu yang di Haromain. Seharusnya kita bangga dari warga keturunan banagsa kita cukup mewarnai di Haromain, beliau-beliau memegang peranan yang luar biasa. Salah satunya guru saya sendiri Sayyidi Syekh Abdul Malik yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar di Masjidil Haram khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun. Beliau adalah muridnya Syekh Mahfudz Al Turmidzi. Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU, kalau dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya saja, jadi kita harus tahu dari mana saja ajaran Ahli Sunah Wal Jamaah yang diambil oleh Syekh Hasyim Asy’ari. Bukan sembarang orang tapi yang benar-benar orang-orang tabahur ilmunya, dan mempunyai maqomah, kedudukan yang luar biasa. Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlu Sunah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husen berkuasa di Hijaz), khsusunya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah. Kemudian hal itu di pikirkan oleh kiai Hasyim Asy’ari disamping mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali. Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi nara sumber-sumbernya, beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah. Akhirnya di istiharohi oleh para ulama-ulama Haromain, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini mengiakan jalan terus kalau tidak, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah kholil Bangkalan. Oleh sebab itu tidak heran jika Mukatamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M. Untuk menghormati Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Tidak heran karena sudah dari sananya, kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang soleh, Kiai Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiai Irfan, Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi. Kiai Irfan bertanya pada saya “kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi; “ini cucunya Habib Hasyim Yai”. Akhirnya saya di beri wasiat, katanya; ‘mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kiai Yasin, Kiai Sanusi ikut serta pada waktu itu. Disitu diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan, lalu bersama Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, ‘Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlu Sunah Wal Jamaah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis’. Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemudian Mbah Kyai kholi bilang sama Kyai Hasyim Asyari laksanakan apa niatmu saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.’ Kata Kiai Hasyim Asy’ari ini bagaimana kyai, kok tidak mau ditulis semua. Terus mbah Kiai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Itu tawadluknya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur. Inilah sedikit perjalanan Nahdlotul Ulama. Inilah perjuangan pendiri Nahdlotul ulama. Para pendirinya merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal yang demikian itu tolong ditulis, biar anak-anak kita itu tidak terpengaruh oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu? Apa sih Ahlu Sunah itu? La ini permasalahan kita. Upaya pengenalan itu yang paling mudah dilakukan dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya foto Hadrotu Syekh Kiai Hasyim Asy’ari. (Disampaikan pada Harlah NU di Kota Pekalongan.

Recent Post