WAWANCARA EKSTKUTIP DENGAN KETUA UMUM PBNU TENTANG WAHABI

September 27, 2013 Add Comment
WAWANCARA EKSTKUTIP DENGAN KETUA UMUM PBNU TENTANG WAHABI


Rekan Rekan dari Majalah Risalah NU melakukan wawancara dengan Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj. Berikut petikan wawancaranya :


Bagaimana sebenarnya Wahabi di Indonesia?


Itu sebenarnya sudah lama, tapi eksisnya sejak tahun 80-an setelah Arab Saudi membuka LIPIA (Lembaga llmu Pengetahuan Islam dan Arab). Ketika itu direkturnya masih bujangan yang kawin dengan orang Bogor. Kemudian menampakkan kekuatannya, bahkan mereka membuka yayasan-yayasan. Setahu saya ada 12 yayasan yang pertama kali dibentuk. Antara lain As-Shafwah, Assunnah, Annida, Al-Fitrah, Ulil Albab, yang semuanya didanai oleh masyarakat Saudi, bukan oleh negaranya. Contoh, Assunah dibangun oleh Yusuf Ba'isa di Cirebon, di Kali Tanjung, Kraksan. Sekarang ketuanya Prof. Salim Badjri, muridnya adalah Syarifuddin yang ngebom Polresta Cirebon beberapa waktu lalu. Dan satu lagi yang ngebom gereja Bethel di Solo namanya Ahmad Yusuf. Jadi, sebenarnya, Wahabi ajarannya bukan teroris, tapi bisa mencetak orang jadi teroris karena menganggap ini itu bid'ah, musyrik, lama-lama bagi orang yang diajari punya keyakinan,"Kalau begitu orang NU boleh dibunuh dong, kalau ada maulid nabi boleh di bom," dan seterusnya.

Soal pemalsuan kitab-kitab Sunni, khususnya kitab yang jadi referensi NU, bagaimana?

Kita sudah berjuang sekuat tenaga untuk mengkounter pendapat mereka. Kita jangan minder dan merasa kalah. Kalau hanya dihujat maulid nabi gak ada dalilnya, atau ziarah kubur gak ada dalilnya, sudah banyak buku yang ditulis untuk membantahnya. Misalnya yang ditulis pak Munawir-Yogya, Abdul Manan-Ketua PP LTM NU, Idrus santri Situbondo, Muhyiddin Abdus Somad dari Jember, dan lain sebagainya. Banyak yang menulis buku tentang dalil-dalil amaliah kita. Ziarah kubur dalilnya ini, maulid nabi dalilnya ini, tawassul dalilnya ini. Seperti saya sering mengatakan maulid nabi itu memuji-muji nabi Muhammad, semua sahabat juga memuji nabi Muhammad, setinggi langit bahkan. Nabi Muhammad diam saja tidak melarang. Tawassul, semua sahabat juga tawassul dengan Rasulullah. Tawassul dengan manusia, Rasulullah lho! Bukan Allahumma langsung, tapi saya minta tolong Rasullulah.sampai begitu! Litarhamna, rahmatilah kami. Labid bin Rabiah mengatakan, kami datang kepadamu wahai manusia yang paling mulia di atas bumi, agar engkau merahmati kami. Coba, minta rahmat kepada Rasulullah, kalau itu dilarang, kalau itu salah, Rasulullah pasti melarang, "jangan minta ke saya, musrik". Tapi Enggak tuh!

Dalam Al-Quran juga ada dalil, walau annahum idz dzalamu anfusahum jauka fastaghfarullaha wastaghfara lahumurrasul lawajadullaha tawabarrahima (surat Ahzab). Seandainya mereka yang zalim datang kepada Muhammad, mereka istigfar, dan kamu pun (Muhammad) memintakan istighfar untuk mereka, pasti Allah mengampuni.

Bagaimana dengan kitab-kitab Wahabi?

Ya kan sudah banyak yang diterjemah, bahkan kalau ada orang pergi haji pulang dapat terjemahan. Itu dari kitab-kitab Wahabi semua.

Siapa pendiri Wahabi?

Begini, Muhammad bin Abd Wahab, pendiri Wahabi itu mengaku bermazhab Hambali, tapi Hambali versi ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah adalah pengikut Hambali yang ekstrim. Imam Hambali itu imam ahli sunnah yang empat yang selalu mendahulukan nash atau teks daripada akal, jadi banyak sekali menggunakan hadist ahad. Kalau Imam Hanafi kebalikannya, dekat dengan akal. Murid Imam Hambali lebih ekstrim, lahirlah Ibnu Taimiyah yang kemudian punya pengikut Muhammad bin Abd Wahab. Di sini menjadi luar biasa, malah dipraktekkan menjadi tindakan, bongkar kuburan. Sementara Ibnu Taimiyah masih teori dan wacana.

Asal Usul Wahabi dari mana?

Bukan dari Mekkah, dari Najd, Riyadh. Orang Makkah asli, Madinah asli, Jiddah asli gak ada yang Wahabi, hanya tidak berani terang- terangan.Dulu hampir saja terjadi fitnah, ketika mahkamah Syar'iyyah al 'ulya (mahkamah tinggi syar'i) menghukumi Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki harus dibunuh karena melakukan kemusyrikan. Keputusannya sudah ditandatangani oleh Raja Khalid, tapi dimasukkan laci oleh Raja Fahd.waktu itu putera mahkota, katakanlah dibekukan! Kalau terjadi, gempar itu!

Untuk membendung gerakan Wahabi, apa yang harus diiakukan NU?

Saya yakin kalau yang keluaran pesantren gak terpengaruh. Saya di sana 13 tahun, sedikitpun, malah berbalik benci. Semua yang keluaran dari NU ke sana, seperti pak Agil Munawar, Masyhuri Na'im, gak ada yang Wahabi. Semua keluaran sana gak ada yang Wahabi kalau dari sini bekalnya kuat. Atau bukan NU, seperti Muslim Nasution dari Wasliyah, pak Satria Efendi dari PERTI, gak Wahabi meskipun di sana belasan tahun sampai doktor. Pak Maghfur Usman, Muchit Abdul Fattah, pulang malah sangat anti, Wahabinya.

Insya Allah Selama pesantren- NU masih eksis, Wahabi gak akan masuk. Wahabi pertama kali dibawa Tuanku Imam Bonjol yang tokoh Padri. Padri itu pasukan berjubah putih yang anti tahlil. Hanya waktu itu kekerasannya Imam Bonjol untuk menyerang Belanda. Padahal ke internal juga keras. Imam Bonjol itu anti ziarah kubur. Kuburannya di Manado. Waktu saya ke Menado ditawari, "mau ziarah kubur gak?" Ya waktu hidupnya gak seneng ziarah kubur, masak saya ziarahin?

Tentang pengikut Wahabi yang banyak dari kalangan Eksekutif?
Orang kalau sudah punya status sosiai, direktur, sudah dapat kedudukan, terhormat, kaya, yang kurang satu, ingin mendapatkan legitimasi sebagai orang soleh dan orang baik-baik. Nah, mereka kemudian mencari guru agama. Guru agama yang paling gampang ya mereka, ngajarinya gampang. Kalau ngaji sama orang NU kan sulit, detil. Kalau sama mereka yang penting ini Islam, ini kafir, ini halal, ini haram, doktrin hitam putih. Sehingga di antara orang-orang terdidik terbawa oleh aliran mereka. Karena masih instan faham agamanya. Kaiau kita gak, kita faham agamanya sejak kecil.

Inti gerakan Wahabi itu di semua lini ya?

Harus diingat bahwa berdirinya NU itu adalah karena perilaku Wahabi. Wahabi mau bongkar kuburan Nabi Muhammad, KH Hasyim bikin komite Hijaz yang berangkat Kiai Wahab, Haji Hasan Dipo (ketua PBNU pertama), KH Zainul Arifin membawa suratnya kiai Hasyim ketemu Raja Abdul Azis mohon, mengharap, atas nama umat Islam Jawi, mohon jangan dibongkar kuburan Nabi Muhammad. Pulang dari sana baru mendirikan Nahdlatul Ulama. Jadi memang dari awal kita ini sudah bentrok dengan Wahabi. Lahirnya NU didorong oleh gerakan Wahabi yang bongkar-bongkar kuburan, situs sejarah, mengkafir- kafirkan, membid'ah-bid'ahkan perilaku kita, amaliah kita. Tadinya diam saja, begitu yang mau dibongkar makam Nabi Muhammad, baru KH Hasyim perintah bentuk komite tersebut.

Seberapa Kuat Wahabi Sekarang?

Sebetulnya tidak kuat, sedikit. Tapi dananya itu yang luar biasa. Dan belum tentu orang yang ikut karena percaya Iho! Artinya kan semata-mata karena dapat uang. Uangnya luar biasa. Si Arab-arab itu, kan kebanyakan Arab bukan Habib. Jadi pada dasarnya mereka juga cari uang.

Ancamannya seberapa besar?

Yah, Kalau kita biarkan ya terancam. Kalau setiap hari radio MTA, TV Rodja ngantemin maulid nabi, ziarah kubur, lama-lama orang terpengaruh juga.

End

Publiser By. Von Edison Alouisci
Majalah Risalah NU No. 38/Tahun VI/1434H/2013

MENGEMBANGKAN TRADISI MUSYAWARAH

September 26, 2013 Add Comment

MENGEMBANGKAN TRADISI MUSYAWARAH

A. Arti Musyawarah

Musyawarah selain memang perintah secara eksplisit (syarah) dalam al Qur-an Surah Ali Imran 159 yang datangnya dlm wujud amr/perintah:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".
“Wasyawirhum fil amri” (“bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan kalian”).
Juga datang dari wujud khabariyah sebagai suatu yang sangat baik “Wa amru syuhadainahum (dan urusanmu saling saksikan).
Musyawarah artinya meminta pendapat orang banyak yang didasari otak yang jernih, fikiran yang waras, dan akal yang sehat.   Kemudian sikap kita terhadap pendapat yang banyak tersebut adalah mengacu kepada petunjuk al Qur-an surah Azzumar ayat 17-18 :
فَبَشِّرْ عِبَادِي الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
…..sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku,yaitu orang-orang yang mendengarkan fatwa-fatwa, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya….”
Ahsan artinya “yang paling baik” karena berbentuk ism tafdil. Artinya menambil ; memilih yang paling baik. Sedangkan yang terbaik adalah yang bersumber dari al Qur-an, (Qs. Azzumar : 23).
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ
"Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran…”

“Bulat air di pembuluh, bulat kata dimufakat”,demikianlah pepatah mengatakan. Mencari kata sepakat memang tak semudah membalikan telapak tangan. Kendatipun seperti itu banyak cara untuk mendapatkannya. Salah satunya dengan musyawarah. Musyawarah secara lughawi (bahasa) berasal dari kata syawara, artinya mengeluarkan madu dari sarangnya. Makna ini meluas dan dapat digunakan untuk setiap pekerjaan mengeluarkan sesuatu yang lain. Dalam tafsir Al-Maraghi, musyawarah ialah menkonsultasikan pendapat kepada orang lain untuk menyatakan kebenaran. Allah swt. menyinggung musyawarah dalam tiga tempat, yaitu QS. Al-Baqarah: 233, QS. Ali-Imran: 159, dan QS. Asy-syura: 38. Ayat
pertama berbicara musyawarah dalam konteks keluarga, sedangkan ayat kedua fokus pada musyawarah yang mencakup tentang kemasyarakatan, dan ayat terakhir sebagai sanjungan Allah swt. kepada mereka yang melakukan musyawarah.

Adab Bermusyawarah
Musyawarah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan kehidupan. Di lingkungan manapun yang terdapat interaksi sosial, musyawarah kerap dilakukan. Bagaimana agar hakikat musyawarah yang mengakui keterbatasan diri dan sarana memohon petunjuk kepada Allah dan Rasul-Nya berjalan lancar dan baik? Berikut ada beberapa catatan sikap-sikap yang harus dimiliki untuk mencapai musyawarah yang baik berdasarkan QS. Ali Imran: 159.
Pertama, lemah lembut (linta lahun). Semestinya seorang peserta musyawarah apalagi seorang pemimpin tidak mengeluarkan
kata-kata kasar. Jika tutur kata dan sikap kasar yang muncul maka yang terjadi adalah peserta lain menjadi tidak simpati (law kunta fadhan ghaliidhal qalbi lan fadhuu min haulik). Kedua, sikap memaafkan dan meminta maaf kepada sesame peserta musyawarah (fa’fu anhum wastahgfir lahum). Tidak ada musyawarah tanpa pihak lain, karena itu hendaknya persinggungan pendapat yang terkadang membuat hati terluka, dijadikan ladang amal untuk memaafkan orang lain. Ketiga, kesiapan untuk menerima hasil musyawarah, setelah musyawarah tersebut selesai (faidzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallah). Yang terakhir inilah yang paling penting. Bagaimana tidak, silang argumentasi dan fenomena lain dalam musyawarah tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada kesiapan untuk melaksanakannya. Allah swt. sangat membenci orang yang hanya mengeluarkan gagasan, akan tetapi enggan melaksanakannya (kabura maqtan ‘indallahi
antaquulu ma laa taf ’alun).
Sedangkan pada surat Asy Syuro ayat 38 Allah berfirman :
Yang artinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang memenuhi (mematuhi) seruan Tuhannya, dan mendirikan sholat ,sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada kepada mereka”
Penjelasan surat Asy Syuro :38
Ayat dimuka tidak boleh ditafsirkan secara sendirian , karena firman Allah dari ayat sampai dengan ayat 39 dalam surat Asy Syuro itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Ayat 29 mengungkapkan bukti-bukti kemahakusaan Allah dalam bentuk kejadian langit ,bumi dan segenap makhluq yang melata di bumi.Ayat 30 menuding manusia sebagai sumber bencana di muka bumi, tetapi Allah SWT telah berkenaan memberikan ampunan kepada sebagai umat manusia dalam jumlah yang cukup besar.Ayat 31 mengingatkan manusia dengan kekuasaannya setinggi apa pun tidak diperkenankan merasa mampu menguasai segala-galanya di muka bumi ,karena ia dalam menghadapi berbagai macam bahaya tidak mempunyai pelindung dan penolong selain Allah.
Sedangkan ayat 32 mengungkapkan bukti-bukti kemahakuasaan Allah dalam bentuk kejadian lautan yang dapat diarungi oleh kapal-kapal.Selanjutnya bukti-bukti kemahakuasaan Allah itu pada ayat 33 di ungkapkan dalam bentuk kejadian angina yang dapat berhembus sepoi-sepoi untuk dapat di nikmati oleh manusia.Di ayat 34 dijelaskan bahwa angina itu bias berhembus sekencang-kencangnya sehingga menimbulkan bencana.Sedangkan khusus pada ayat 38 dalam Asy Syuro , ternyata di dalamnya terkandung terkandung isyarat bahwa “bermusyawarah” itu bobot kewajibannya sejajar dengan mematuhi segenap perintah Allah , mendirikan sholat, dan menunaikan zakat.Betapa tingginya nilai keutamaan prilaku “suka bermusyawarah”! karena memang berhubungan langsung dengan kehidupan bermasyarakat.
Tentang musyawarah di jelaskan juga pada Hadits Riwayat Ibnu Murdawaih yakni :
Yang terjemahannya :
“Dari Ali bin Abu Thalib karramallahu wajhah, ia berkata : Rasulullah SAW telah ditanya tentang kemauan yang tangguh ,maka jawab beliau : “yaitu meminta pendapat kepada ahli piker kemudian mengikuti (pendapat) mereka” (HR.Ibnu Murdawaih).
Musyawarah yang dapat menelorkan keputusan yang baik dan benar ,tentunya bukan asal musyawarah ,melainkan musyawarah yang banyak melibatkan para ahli pikir dalam Hadits di muka adalah orang yang mumpuni dalam suatu bidang keilmuan tertentu.
Kandungan Hadits dan Korelasinya dengan surat As Syuro :38

1.Jika ayat 38 dalam surat Asy Syuro menekankan kewajiban bermusyawarah ,maka hadits Ibnu Murdawaih tersebut di muka justru menekankan pentingnya rekrutmen yang tepat terhadap orang-orang yang akan didudukkan dalam suatu lembaga musyawarah.

2.Jika musyawarah yang ditekankan dalam Surat Asy Syuro : 38 bobot kewajibannya disejajarkan dengan kewajiban mematuhi perintah Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat ,maka Hadits Ibnu Murdawaih tersebut di muka justru menekankan musyawarah sebagai cirri khas orang-orang yang berobsesi keumatan.

3.Jika ayat dalam surat Asy Syuro menyebutkan perintah bermusyawarah ,maka Hadits Ibnu Murdawaih tersebut di muka justru mengukuhkan perintah itu dengan menambah penekanan tentang kewajiban bagi semua pihak untuk mengikuti hasil keputusan musyawarah ,baik hasil keputusan itu memuaskan atau tidak.

Dan yang terpenting, musyawarah ini akan memberikan pengaruh tertib pada diri kita terhadap masyarakat kita sendiri. Sehingga kebaikan itu secara automatis akan kepada diri kita sendiri terlebih dahulu, misalkan saja jika kita sebelum terjun dalam usaha da’wah ini, kita ini dikenal sebagai orang yang kurang baik di tengah-tengah masyarakat kita.
Maka dengan adanya musyawarah, ketika kita akan bertemu khususi misalnya, maka kita akan mendapatkan nasehat-nasehat atau pesan-pesan dari teman kita yang lain untuk berlaku sabar, tenang, tidak tergesa-gesa. Dan Insya Allah, adab-adab dan juga akhlaq ini akan lebih memberikan warna, karakter baik dan sedikit-demi-sedikit akan menghilang karakter tidak baik kita dan juga memberikan kesan yang baik kepada kaum muslimin di sekitar kita. Kita tetapkan untuk selalu ikut serta dalam musyawarah, apakah itu di masjid sendiri ataupun di halaqah bahkan di markaz kota kita.
Kedudukan Musyawarah Dalam Islam

Term Musyawarah dewasa ini semakin banyak dibicarakan di kalangan ilmuan Islam, terutama sekali sejak masuknya pengaruh teori politik Barat ke dalam dunia Islam pada pertengahan abad ke sembilan belas, kendatipun bagi umat Islam perintah musyawarah ini telah ada semenjak Al-Qur’an diturunkan. Prakteknya sendiripun telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW sendiri dan selanjutnya juga diikuti oleh Khulafa al-Rasyidin.
Dalam konteks politik semangat musyawarah di kalangan umat Islam muali hilang semenjak dirobah sistem khalifah ke sistem kerajaan yang dimulai oleh Mu’awwiyah, Abbasiah, sampai Turki Usmani. Namun musyawarah dalam masyarakat, yang tidak berhubungan dengan politik, baik itu dalam rumah tangga maupun masyarakat tertentu tetap berjalan. Hanya saja dalam kadar yang berbeda, menurut pemahaman mereka terhadap isi Al-Qur’an yang menganjurkan musyawarah kepada umatnya dan juga situasi dan tradisi kebudayaan setempat.
Pembahasan mengenai musyawarah semakin penting untuk merespon tuduhan Barat bahwa Islam adalah agama otoriter, dan tidak menghargai hak asasi manusia dalam kebebasan berpendapat.
Padahal jauh sebelum Barat mengenal demokrasi dan hak asasi manusia, Islam telah mensyari’atkannya. Berangkat dari diskursus ini tulisan ini ingin membahas bagaimana musyawarah itu dibicarakan dalam Al-Qur’an, kenapa dibicarakan dan apa faedah yang dapat dituai dari pensyariatan tersebut.
Pengertian Musyawarah
Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab. Kata syura berasal dari kata kerja syawara – yusyawiru yang berartai menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syawara adalah tasyawara artinya berunding, saling bertukar pendapat; syawir, meminta pendapat atau musyawarah. Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.
Musyawarah dalam Al-Qur’an
Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang membicarakan masalah musyawarah pertama terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 223 yang artinya :
“Apabila keduanya (suami isteri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya".
Ayat ini menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak mereka, seperti menyapih anak. Lebih jauh melalui berhubungan dengan rumah tangga (suami isteri) baik masalah pendidikan anak-anak mereka, harta benda dan rencana pengembangan masa depan mereka harus dimusyawarahkan antara suami isteri.
Kedua terdapat dalam surah Ali Imran ayat 159 yang artinya: “Maka dengan rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauh diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada-Nya.
Ayat ini diturunkan seusai perang Uhud. Ketika itu sebagian sahabat ada yang melanggar perintah Nabi. Akibat pelanggarana itu akhirnya menyeret kaum muslimin ke dalam kegagalan sehingga kaum musyirikin dapat mengalahkan mereka (kaum muslimin) dan Rasulullah SAW mengalami luka-luka. Namun Nabi SAW tetap bersabar, tahan uji dan bersikap lemah lembut, tidak mencela kesalahan para sabahatnya dan tetap bermusyawarah dengan sahabat. Sikap Rasulullah itu adalah karena menuruti wahyu Allah.
Kedudukan Musyawarah dalam Islam
Munurut Al-Maraghi ayat 159 yang terdapat dalam surat Ali Imran itu merupakan perintah kepada Nabi untuk berpegang kepadanya. Karena itu Nabi tetap melakukan musyawarah seperti sebelum-sebelumnya walau dalam keadaan kritis. Kalau Nabi sebagai orang yang maksum, yaitu jauh dari pengaruh hawa nafsu, diperintahkan untuk bermusyawarah dalam masalah urusan umat, maka kita sebagai manusia yang tidak maksum lebih-lebih lagi harus melakukannya.
Nampaknya Nabi SAW memang gemar sekali melakukan musyawarah, sehingga Abu Hurairah mengatakan :
“Aku belum pernah melihat seseorang banyak melakukan musyawarah selain Nabi SAW. Nabi sendiri pernah bersabda “Hendaklah kamu selesaikan segala urusan kamu dengan musyawarah”
Demikian juga Rasul menyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani: “Tidak akan gagal orang yang senantiasa mengerjakan istikharah untuk menentukan pilihan dan tidak menyesal orang yang mengimplementasikan musyawarah”.

Urgensi Musyawarah

Al-Qur’an memandang orang-orang yang beriman sebagai orang -orang yang memutuskan urusannya melalui musyarakah (amruhum syura bainahum).
Seperti kita pahami bahwa Al-Qur’an telah menetapkan peranan kaum muslimin untuk menegakan suatu tatanan sosial politik tertentu dan menyeimbangkan ekstrem-ekstrem. Demikian juga kehidupan internal dan bentuk masyarakat muslimin haruslah egalitarian dan terbuka yang tidak dinodai oleh elitisme, dan tidak ada kerahasiaan. Selanjutnya kehidupan internal dan tingkah laku masyarakat berkisar pada kehendak baik untuk saling berbuat baik dan bekerjasama.
Diantara manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan musyawarah adalah :

1. Mencerminkan kualitas pemahaman pada masalah yang dibicarakan dan ukuran cinta serta keikhlasan kepada masyarakat.

2. Dapat menggali apa yang tersembunyi dalam pemikiran seseorang. Kemampuan akal manusia biasanya terbatas, dengan musyawarah, hal itu dapat saling menyempurnakan.

3. Akan menghasilkan sebuah pendapat  yang lebih cenderung kepada kebenaran.

4. Dapat mewujudkan kesatuan hati untuk mewujudkan suatu usaha.

Etika Musyawarah yaitu Displin, mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak dan pendapat yang lebih mengenal masalah dan rasional.
Musyawarah adalah merupakan suatu jalan untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan bahkan dalam suatu negara. Karena musyawarah adalah merupakan suatu bentuk pemberian penghargaan terhadap diri manusia yang ingin diperlakukan sama dalam derajatnya sebagai manusia untuk ikut bersama baik dalam aktivitas kerja maupun pemikiran. Dengan mengikutsertakan anggota-anggota masyarakat dalam permusyawaratan selain akan menambah ide demi kesempurnaan suatu pemecahan masalah atau suatu rencana, para peserta juga dapat melepaskan suatu yang terpendam dalam hatinya sehingga bebas dari ketidakpuasan dan sekaligus terciptanya rasa memiliki terhadap keputusan tersebut.Dan perasaan ini biasanya berlanjut pada pertanggungjawaban.

Wallahu A'lam Bisshowab

Sekilas Poto PPMT

September 26, 2013 Add Comment
 K. Jailani sedang mengajar kelas III Aliyah



 Santri sedang istirahat sambi ngopi setelah kegiatan

beginilah santri, dikit-dikit ngopi, jagongan dan Rokok an, tapi yang pasti semua itu di lakukan ketika jam kosong, kalau masalah belajar tidak di ragukan lagi, Insya Allah Barokah, hehehe

 Kegiatan Rutin Santri PPMT Jum'at legi makan-makan Berkat

makan bersama lebih terasa nikmatnya, apa lagi disaat perut yang sedang lapar, kalau di pondok masalah makan pasti terasa nikmat karena di pondok itu sering laparnya dari pada kenyangnya, bukan begitu?? hehe

 Musyawarah dewan Asatidz

 Acara pembai'atan Ustadz yang muqim di PPMT

Kegiatan pembai'atan Ustadz sekaligus pengangkatan pengurus dan ustadz baru ini rutin diadakan pada Akhir Tahun, terlihat tegang di raut wajah para Asatidz yang di bai'at. Semoga mereka bisa menjalankan tugasnya dengan Istiqomah.



Ro'an Menyirami Halaman PPMT disaat musim kemarau

ketika musim kemarau tiba debu-debu yang berada di halaman PPMT sangat mengganggu, beterbangan ke lantai-lantai asrama dan membuat lantai-lantai asrama jadi kotor, untuk mengatasi agar tidak terlalu sering menyapu lantai para santri ini menyirami halaman pondok, selain bersih dari debu juga membuat suasana menjadi adem ^_^

Lomba Cerdas Cermat Santri PPMT tingkatan Ibtida'iyah dan Tsanawiyah

Pembuatan papan nama PPMT

Berhubung papan nama yang lama sudah rusak dan tulisanya tidak bisa dibaca lagi maka para pengurus ini membuatkan papan nama baru supaya tulisanya lebih jelas lagi

Silaturrahmi ke rumah teman Santri PPMT

Mumpung masih liburan bersilaturrahmi di rumah teman2 santri yang lainya >>> Lumayan dapat makan gratis, hehehe.























AL HALLAJ

September 26, 2013 Add Comment



Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.

Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."
Al Hallaj
Kehidupan Al-Hallaj
Masa kanak-kanak
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.

Masa remaja
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.

Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.

Menjadi guru
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.

Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.

Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
‘Akulah Kebenaran!’  dan hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.

Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.

Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.

Al-Hallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H). kehidupannya,
pengembaraannya dan pandangan hidupnya serta faham tasawufnya, semuanya telah menggegerkan dunia fiqih. Beratus ulama fiqh menentangnya dan beratus pula membelanya. Dia dihukum mati dengan kejam sekali, karena ajarannya dipandang oleh ulama-ulama dizamannya merusak kepada pokok kepercayaan Islam. Pendekatannya asal saja orang menyelami perkembangan ilmu tasawuf dalam Islam orang senantiasa akan bertemu dengan al-Hallaj. Dalam makalah ini akan mencoba menjelaskan tentang perjalanan hidup al-Hallaj dan ajaran yang seperti apa yang akhirnya membawa al-Hallaj dalam kematian.

Tasawuf secara tekstual dalam al-Qur’an tidak ditemukan, akan tetapi secara tersirat dalam tasawuf ada ajaran tawakal (QS.3;159), zuhd (QS.12;20), sabar (QS. 16-42) dll.  Yang kemudian diamalkan dalam dalam kehidupan sehari-hari oleh umat islam sebagaimana dicontohkan Rasul SAW. Orang kemudian menyebutnya tasawuf amali (akhlaki/syari’at/sunni), artinya amalan lahiriyah yang berkaitan dengan anggota jasmaniah manusia. Oleh karena itu seorang salik yang ingin mencapai wilayah esoteris (batin) harus melewati amalan lahiriyah[1]. Sayyid Haidar Amuli menyatakan bahwa hamba yang sampai
kehadirat Tuhan yang utuh dan menyeluruh adalah melalui syari’ah, thariqah dan hakik. Adapun tokoh-tokoh tasawuf amali diantaranya Hasan Bisri Junaidi al-Baghdadi, Al-Ghazali, Rabi’ah Adawiyah, Dzun al-Nun al-Misri. Ciri utama tasawuf amali adalah berupa perjumpaan atau penyaksian “syuhud visison” yang didapatkan melalui al-Maqomat-maqomat. Aliran ini berketetapan bahwa jagad raya dan isinya adalah ciptaaan Tuhan sehingga yang dicipta dan Pencipta terdapat jurang pemisah (Tuhan transenden) yang tidak dapat disatukan.
Seiring dengan perkembangan zaman, tasawuf islam mengalami persentuhan dengan peradaban Yunani, islam menularkan akidah dan ibadah kepada orang-orang yang mewarisi peradaban Yunani sebaliknya orang-orang yang berbau Yunani mewariskan peradabanya kepada orang-orang islam. Kemudian munculah pola fikir filsafat untuk memahami tasawuf. Plato berpendapat bahwa “yang ada” kekal dan tunggal ada di alam “idea”, sedang yang ada beraneka adalah bayangan dari “yang ada” sesungguhnya. Jadi Plato berusaha mencari yang transenden, non empiris. Salah satu yang ‘dikategorikan’ sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah seperti Al-Hallaj.
Pada umumnya penganut tasawuf falsafi bermazab syi’ah, pola fikirnya mu’tazilah sehingga orang menyebutnya tasawuf syi’i. Ciri utama tasawuf ini adalah terjadinya penyatuan (ittihad, union, jumbuh) dengan “yang ada” itu dalam mistik Jawa dikenal dengan istilah “Manunggaling Kawulo Gusti” (wihdatul wujud).Ana al-Haq (akulah Tuhan) perkataan al-Hallaj yang terkenal pada abad 9 – 10 H sampai mengantarkanya kepada kematianya yang tragis. Bagi ulama’ ortodoks (islam eksoteris) menolak pandangan penyatuan manusia dengan Tuhan. Ulama’ sufi sendiri yang sezaman dengan dirinya al-Hallaj, kaget. Seharusnya al-Hallaj dapat menyembunyikan pengalaman batiniyahnya untuk dirinya sendiri dan eksekusi atas dirinya merupakan murka Allah lantaran ia mengungkapkan segenap kerahasiaan ilahi. Tetapi al-Hallaj dengan kitab Tawasimnya menjawab jalan pikiranya sebenarnya, tanpa bermaksud mengaku dirinya sebagai Tuhan.

PEMBAHASAN
A.Biografi
Nama lengkapnya al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin
Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada
tahun 244 H/858 M. dan dia mulai dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Ketika
usia 16 tahun, yaitu di tahun 260 H (873 M), dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang besar dan terkenal, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tusturi di negeri Ahwaaz. Selama 2 tahun lamanya dia belajar kepada sufi besar itu. Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah dan belajar kepada Sufi ‘Amar al-Makki, di tahun 264 H (878 M) dia masuk ke Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu dia pun pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengamalan dalam ilmu tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang syeikh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntutannya. Dan tiga kali dia naik Haji ke Mekkah.

Saat pergi ke Mekkah untuk pertama kalinya dalam rangka menunaikan
ibadah haji, dan kembali ke Baghdad, mulailah ia memperoleh murid atau pengikut yang semakin lama semakin banyak. Ia juga melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Ahwaz, Khurasan, Turkistan, dan bahkan juga ke India. Dimanapun ia berada, ia melaksanakan dakwah, mengajak umat agar mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Hallajiyah, makin bertambah besar. Para pengikutnya itu yakin bahwa ia adalah seorang wali, yang memiliki berbagai kekeramatan.

Dia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara
kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi,
yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih. Al-
Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan
"pemerintah yang bersih" dari Nash al-Qusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya,
karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan
hanya merupakan lambang saja. Mungkin karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maka benar); dan menyatakan bahwa ibadah haji tidak wajib).

Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia
dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati
kepadanya. Dari Baghdad dapatlah ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas.
Disinilah ia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun pada tahun 301 H / 930 M. dapat ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.Konon al-Hallaj menghadapi hukuman itu dengan penuh keberanian dan berkata pada saat di salib : "Ya Allah, mereka adalah hamba-hambaMu, yang telah terhimpun untuk membunuhku, karena fanatik pada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Ampunilah mereka, sekiranya Engkau singkapkan kepada mereka apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan memperlakukan seperti ini".

B. Karya-karya al-Hallaj
Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku.
Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit
dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.

Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan,
kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.

C.Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
1. Hulul
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut,
demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan
meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian
itu memungkinkan untuk hulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain,
Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu
roh. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan.

Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat Al Qur'an:
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah
kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS.
Al-Baqarah : 34).

Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-
Haq" bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang
mengambil dalam dirinya.
Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan
maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-
Hallaj mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan semua kecenderungan
dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli), khayalan,
perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan
tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana
dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.

2.Al-Haqiqatul Muhammadiyah
Yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan
dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantaranyalah seluruh alam ini dijadikan.
Al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda
satu sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah
ada sebelum adanya segala yang maujud ini dan pengetahuan yang gaib. Yang
kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh tempat
dan waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.
Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil sebagai
manifestasi sempurna pada manusia. Dari sini al-Hallaj menampilkan Insan Kamil
itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri melainkan kepada diri Nabi Isa al-
Masih. Bagi al-Hallaj, Isa al-Masih adalah al-Syahid ala wujudillah, tempat tajalli
dan berujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada
pada kehidupan Isa al-Masih itu.

3.Kesatuan Segala Agama
Nama Agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan
yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja.
Nama berbeda, maksudnya satu. Segala agama adalah agama Allah
maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam
satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara
ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Pendirian ini
disandarkannya kepada ketentuan (takdir) yang telah ditentukan Tuhan Allah.
Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan
dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi perdalamlah pegangan dalam agama masing-masing.

D. Respon Ulama terhadap Ajaran al-Hallaj.
Berbagai ragam perkataan orang tentang al-Hallaj. Setengahnya mengkafirkan dan setengahnya lagi membela. Beberapa perkataan, terutama dari pihak kekuasaan pada masa itu tersiar bahwasanya ajaran al-Hallaj sangat merusak ketenteraman umum.
Kebanyakan kaum fiqhi mengkafirkannya,dengan alasan bahwasanya,
mengatakan bahwa dari manusia bersatu dengan Tuhan, adalah stirik yang besar, sebab mempersekutukan Tuhan dengan dirinya, oleh karena itu hukum bunuh yang diterimanya adalah hal yang patut. Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, pengrang yang ternama Ibnu Nadim dan lain lain berpendapat demikian. Tetapi ulama-ulama yang lain seperti Ibnu syuriah, seorang ulama yang sangat terkemuka dalam madzhab Malik, telah memberikan jawaban: “Ilmuku tidak mendalam tentang tentang dirinya, sebab itu saya tidak berkata apa-apa. Imam Ghozali seketika ditanya orang pula pendapatnya, tentang Al Hallaj “Ana’l Haaq” itu, telah menjawab:”Perkataan yang demikian keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah,Apabila cinta sudah sekian mendalamnya, tidak dirasakan lagi perpisahan diantara diri dengan yang dicintai.Sedangkan Ad-Damiri pengarang “Hayatul Hayawan” berkata: “bukanlah perkara mudah mudah menuduh seorang Islam keluar dari dalamnya. kalau kata-katanya masih dapat dita’wilkan (diartikan lain),lebih baik diartikan yang lain. Karena mengeluarkan seseorang dari lingkungan Islam, adalah perkara besar. Dan bergesa-gesa menjatuhkan hukum begitu, hanyalah perbuatan orang jahil.

ANALISIS
Hulul yaitu ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut). Dan menurut
al-Hallaj bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Sesuai
dengan ajarannya, al-Hallaj mengatakan "Aku adalah Haq".
Persatuan antara Tuhan dan Manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk
hulul. Agar manusia dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya.
Setelah manusia memahami dan bisa melaksanakan maka akan dengan mudah
memahami dan merasakan hulu seperti yang dialami oleh al-Hallaj.
Tentang pluralisme agama yang ada di dunia ini pada dasarnya itu hanyalah
perbedaan nama saja. Tetapi hakekatnya adalah satu. Mereka mempunyai tujuan yang sama yaitu menuju Allah. Hanya isi dan jalan yang ditempuh dalam menuju Tuhan (beribadah) berbeda. Jadi walaupun kita berlainan agama tidak perlu saling mencela dan berselisih. Yang terpenting adalah bagaimana kita lebih mendalami ajaran kita masing-masing.

KESIMPULAN
Nama al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-
Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H / 858 M. Al-Hallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H).
Karena ucapannya "Ana al-Haq (Akulah yang maha benar)", al-Hallaj dipenjara.
Yang akhirnya pada tahun 309 H / 921 M al-Hallaj dihukum mati.
Ajaran Tasawuf al-Hallaj yaitu tentang :
1. Hulul
2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah
3. Kesatuan segala agama.

Kitab karya al-Hallaj mencapai 48 buah buku. Kitabnya antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.

____________oOo___________


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Asmara As, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Recent Post