MENGEMBANGKAN TRADISI MUSYAWARAH
A. Arti Musyawarah
Musyawarah selain memang perintah secara eksplisit (syarah) dalam al
Qur-an Surah Ali Imran 159 yang datangnya dlm wujud amr/perintah:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu
ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".
“Wasyawirhum fil amri” (“bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan kalian”).
Juga datang dari wujud khabariyah sebagai suatu yang sangat baik “Wa amru syuhadainahum (dan urusanmu saling saksikan).
Musyawarah artinya meminta pendapat orang banyak yang didasari otak
yang jernih, fikiran yang waras, dan akal yang sehat. Kemudian sikap
kita terhadap pendapat yang banyak tersebut adalah mengacu kepada
petunjuk al Qur-an surah Azzumar ayat 17-18 :
فَبَشِّرْ عِبَادِي الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
“…..sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku,yaitu
orang-orang yang mendengarkan fatwa-fatwa, lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya….”
Ahsan artinya “yang paling baik” karena berbentuk ism tafdil. Artinya
menambil ; memilih yang paling baik. Sedangkan yang terbaik adalah yang
bersumber dari al Qur-an, (Qs. Azzumar : 23).
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ
"Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran…”
“Bulat air di pembuluh, bulat kata dimufakat”,demikianlah pepatah
mengatakan. Mencari kata sepakat memang tak semudah membalikan telapak
tangan. Kendatipun seperti itu banyak cara untuk mendapatkannya. Salah
satunya dengan musyawarah. Musyawarah secara lughawi (bahasa) berasal
dari kata syawara, artinya mengeluarkan madu dari sarangnya. Makna ini
meluas dan dapat digunakan untuk setiap pekerjaan mengeluarkan sesuatu
yang lain. Dalam tafsir Al-Maraghi, musyawarah ialah menkonsultasikan
pendapat kepada orang lain untuk menyatakan kebenaran. Allah swt.
menyinggung musyawarah dalam tiga tempat, yaitu QS. Al-Baqarah: 233, QS.
Ali-Imran: 159, dan QS. Asy-syura: 38. Ayat
pertama berbicara musyawarah dalam konteks keluarga, sedangkan ayat
kedua fokus pada musyawarah yang mencakup tentang kemasyarakatan, dan
ayat terakhir sebagai sanjungan Allah swt. kepada mereka yang melakukan
musyawarah.
Adab Bermusyawarah
Musyawarah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan
kehidupan. Di lingkungan manapun yang terdapat interaksi sosial,
musyawarah kerap dilakukan. Bagaimana agar hakikat musyawarah yang
mengakui keterbatasan diri dan sarana memohon petunjuk kepada Allah dan
Rasul-Nya berjalan lancar dan baik? Berikut ada beberapa catatan
sikap-sikap yang harus dimiliki untuk mencapai musyawarah yang baik
berdasarkan QS. Ali Imran: 159.
Pertama, lemah lembut (linta lahun). Semestinya seorang peserta musyawarah apalagi seorang pemimpin tidak mengeluarkan
kata-kata kasar. Jika tutur kata dan sikap kasar yang muncul maka
yang terjadi adalah peserta lain menjadi tidak simpati (law kunta fadhan
ghaliidhal qalbi lan fadhuu min haulik). Kedua, sikap memaafkan dan
meminta maaf kepada sesame peserta musyawarah (fa’fu anhum wastahgfir
lahum). Tidak ada musyawarah tanpa pihak lain, karena itu hendaknya
persinggungan pendapat yang terkadang membuat hati terluka, dijadikan
ladang amal untuk memaafkan orang lain. Ketiga, kesiapan untuk menerima
hasil musyawarah, setelah musyawarah tersebut selesai (faidzaa ‘azamta
fatawakkal ‘alallah). Yang terakhir inilah yang paling penting.
Bagaimana tidak, silang argumentasi dan fenomena lain dalam musyawarah
tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada kesiapan untuk
melaksanakannya. Allah swt. sangat membenci orang yang hanya
mengeluarkan gagasan, akan tetapi enggan melaksanakannya (kabura maqtan
‘indallahi
antaquulu ma laa taf ’alun).
Sedangkan pada surat Asy Syuro ayat 38 Allah berfirman :
Yang artinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang memenuhi (mematuhi) seruan Tuhannya, dan
mendirikan sholat ,sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah diantara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki
yang Kami berikan kepada kepada mereka”
Penjelasan surat Asy Syuro :38
Ayat dimuka tidak boleh ditafsirkan secara sendirian , karena firman
Allah dari ayat sampai dengan ayat 39 dalam surat Asy Syuro itu tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.
Ayat 29 mengungkapkan bukti-bukti kemahakusaan Allah dalam bentuk
kejadian langit ,bumi dan segenap makhluq yang melata di bumi.Ayat 30
menuding manusia sebagai sumber bencana di muka bumi, tetapi Allah SWT
telah berkenaan memberikan ampunan kepada sebagai umat manusia dalam
jumlah yang cukup besar.Ayat 31 mengingatkan manusia dengan kekuasaannya
setinggi apa pun tidak diperkenankan merasa mampu menguasai
segala-galanya di muka bumi ,karena ia dalam menghadapi berbagai macam
bahaya tidak mempunyai pelindung dan penolong selain Allah.
Sedangkan ayat 32 mengungkapkan bukti-bukti kemahakuasaan Allah dalam
bentuk kejadian lautan yang dapat diarungi oleh kapal-kapal.Selanjutnya
bukti-bukti kemahakuasaan Allah itu pada ayat 33 di ungkapkan dalam
bentuk kejadian angina yang dapat berhembus sepoi-sepoi untuk dapat di
nikmati oleh manusia.Di ayat 34 dijelaskan bahwa angina itu bias
berhembus sekencang-kencangnya sehingga menimbulkan bencana.Sedangkan
khusus pada ayat 38 dalam Asy Syuro , ternyata di dalamnya terkandung
terkandung isyarat bahwa “bermusyawarah” itu bobot kewajibannya sejajar
dengan mematuhi segenap perintah Allah , mendirikan sholat, dan
menunaikan zakat.Betapa tingginya nilai keutamaan prilaku “suka
bermusyawarah”! karena memang berhubungan langsung dengan kehidupan
bermasyarakat.
Tentang musyawarah di jelaskan juga pada Hadits Riwayat Ibnu Murdawaih yakni :
Yang terjemahannya :
“Dari Ali bin Abu Thalib karramallahu wajhah, ia berkata : Rasulullah
SAW telah ditanya tentang kemauan yang tangguh ,maka jawab beliau :
“yaitu meminta pendapat kepada ahli piker kemudian mengikuti (pendapat)
mereka” (HR.Ibnu Murdawaih).
Musyawarah yang dapat menelorkan keputusan yang baik dan benar
,tentunya bukan asal musyawarah ,melainkan musyawarah yang banyak
melibatkan para ahli pikir dalam Hadits di muka adalah orang yang
mumpuni dalam suatu bidang keilmuan tertentu.
Kandungan Hadits dan Korelasinya dengan surat As Syuro :38
1.Jika ayat 38 dalam surat Asy Syuro menekankan kewajiban
bermusyawarah ,maka hadits Ibnu Murdawaih tersebut di muka justru
menekankan pentingnya rekrutmen yang tepat terhadap orang-orang yang
akan didudukkan dalam suatu lembaga musyawarah.
2.Jika musyawarah yang ditekankan dalam Surat Asy Syuro : 38 bobot
kewajibannya disejajarkan dengan kewajiban mematuhi perintah Allah,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat ,maka Hadits Ibnu Murdawaih
tersebut di muka justru menekankan musyawarah sebagai cirri khas
orang-orang yang berobsesi keumatan.
3.Jika ayat dalam surat Asy Syuro menyebutkan perintah bermusyawarah
,maka Hadits Ibnu Murdawaih tersebut di muka justru mengukuhkan perintah
itu dengan menambah penekanan tentang kewajiban bagi semua pihak untuk
mengikuti hasil keputusan musyawarah ,baik hasil keputusan itu memuaskan
atau tidak.
Dan yang terpenting, musyawarah ini akan memberikan pengaruh tertib pada diri kita terhadap masyarakat kita sendiri.
Sehingga kebaikan itu secara automatis akan kepada diri kita sendiri
terlebih dahulu, misalkan saja jika kita sebelum terjun dalam usaha
da’wah ini, kita ini dikenal sebagai orang yang kurang baik di
tengah-tengah masyarakat kita.
Maka dengan adanya musyawarah, ketika kita akan bertemu khususi
misalnya, maka kita akan mendapatkan nasehat-nasehat atau pesan-pesan
dari teman kita yang lain untuk berlaku sabar, tenang, tidak
tergesa-gesa. Dan Insya Allah, adab-adab dan juga akhlaq ini akan lebih
memberikan warna, karakter baik dan sedikit-demi-sedikit akan menghilang
karakter tidak baik kita dan juga memberikan kesan yang baik kepada
kaum muslimin di sekitar kita. Kita tetapkan untuk selalu ikut serta
dalam musyawarah, apakah itu di masjid sendiri ataupun di halaqah bahkan
di markaz kota kita.
Kedudukan Musyawarah Dalam Islam
Term Musyawarah dewasa ini semakin banyak dibicarakan di kalangan
ilmuan Islam, terutama sekali sejak masuknya pengaruh teori politik
Barat ke dalam dunia Islam pada pertengahan abad ke sembilan belas,
kendatipun bagi umat Islam perintah musyawarah ini telah ada semenjak
Al-Qur’an diturunkan. Prakteknya sendiripun telah ditunjukkan oleh
Rasulullah SAW sendiri dan selanjutnya juga diikuti oleh Khulafa
al-Rasyidin.
Dalam konteks politik semangat musyawarah di kalangan umat Islam
muali hilang semenjak dirobah sistem khalifah ke sistem kerajaan yang
dimulai oleh Mu’awwiyah, Abbasiah, sampai Turki Usmani. Namun musyawarah
dalam masyarakat, yang tidak berhubungan dengan politik, baik itu dalam
rumah tangga maupun masyarakat tertentu tetap berjalan. Hanya saja
dalam kadar yang berbeda, menurut pemahaman mereka terhadap isi
Al-Qur’an yang menganjurkan musyawarah kepada umatnya dan juga situasi
dan tradisi kebudayaan setempat.
Pembahasan mengenai musyawarah semakin penting untuk merespon
tuduhan Barat bahwa Islam adalah agama otoriter, dan tidak menghargai
hak asasi manusia dalam kebebasan berpendapat.
Padahal jauh sebelum Barat mengenal demokrasi dan hak asasi manusia,
Islam telah mensyari’atkannya. Berangkat dari diskursus ini tulisan ini
ingin membahas bagaimana musyawarah itu dibicarakan dalam Al-Qur’an,
kenapa dibicarakan dan apa faedah yang dapat dituai dari pensyariatan
tersebut.
Pengertian Musyawarah
Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab. Kata syura berasal dari kata kerja syawara – yusyawiru yang berartai menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syawara adalah tasyawara artinya berunding, saling bertukar pendapat; syawir, meminta pendapat atau musyawarah. Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.
Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab. Kata syura berasal dari kata kerja syawara – yusyawiru yang berartai menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syawara adalah tasyawara artinya berunding, saling bertukar pendapat; syawir, meminta pendapat atau musyawarah. Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.
Musyawarah dalam Al-Qur’an
Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang membicarakan masalah musyawarah pertama terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 223 yang artinya :
“Apabila keduanya (suami isteri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya".
Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang membicarakan masalah musyawarah pertama terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 223 yang artinya :
“Apabila keduanya (suami isteri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya".
Ayat ini menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan suami isteri
sebagai mitra dalam rumah tangga saat mengambil keputusan yang berkaitan
dengan rumah tangga dan anak-anak mereka, seperti menyapih anak. Lebih
jauh melalui berhubungan dengan rumah tangga (suami isteri) baik masalah
pendidikan anak-anak mereka, harta benda dan rencana pengembangan masa
depan mereka harus dimusyawarahkan antara suami isteri.
Kedua terdapat dalam surah Ali Imran ayat 159 yang artinya: “Maka
dengan rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan
menjauh diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tertentu. Kemudian
apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada-Nya.
Ayat ini diturunkan seusai perang Uhud. Ketika itu sebagian sahabat
ada yang melanggar perintah Nabi. Akibat pelanggarana itu akhirnya
menyeret kaum muslimin ke dalam kegagalan sehingga kaum musyirikin dapat
mengalahkan mereka (kaum muslimin) dan Rasulullah SAW mengalami
luka-luka. Namun Nabi SAW tetap bersabar, tahan uji dan bersikap lemah
lembut, tidak mencela kesalahan para sabahatnya dan tetap bermusyawarah
dengan sahabat. Sikap Rasulullah itu adalah karena menuruti wahyu Allah.
Kedudukan Musyawarah dalam Islam
Munurut Al-Maraghi ayat 159 yang terdapat dalam surat Ali Imran itu merupakan perintah kepada Nabi untuk berpegang kepadanya. Karena itu Nabi tetap melakukan musyawarah seperti sebelum-sebelumnya walau dalam keadaan kritis. Kalau Nabi sebagai orang yang maksum, yaitu jauh dari pengaruh hawa nafsu, diperintahkan untuk bermusyawarah dalam masalah urusan umat, maka kita sebagai manusia yang tidak maksum lebih-lebih lagi harus melakukannya.
Munurut Al-Maraghi ayat 159 yang terdapat dalam surat Ali Imran itu merupakan perintah kepada Nabi untuk berpegang kepadanya. Karena itu Nabi tetap melakukan musyawarah seperti sebelum-sebelumnya walau dalam keadaan kritis. Kalau Nabi sebagai orang yang maksum, yaitu jauh dari pengaruh hawa nafsu, diperintahkan untuk bermusyawarah dalam masalah urusan umat, maka kita sebagai manusia yang tidak maksum lebih-lebih lagi harus melakukannya.
Nampaknya Nabi SAW memang gemar sekali melakukan musyawarah, sehingga
Abu Hurairah mengatakan :
“Aku belum pernah melihat seseorang banyak
melakukan musyawarah selain Nabi SAW. Nabi sendiri pernah bersabda
“Hendaklah kamu selesaikan segala urusan kamu dengan musyawarah”.
Demikian juga Rasul menyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Thabrani: “Tidak akan gagal orang yang senantiasa mengerjakan
istikharah untuk menentukan pilihan dan tidak menyesal orang yang
mengimplementasikan musyawarah”.
Urgensi Musyawarah
Al-Qur’an memandang orang-orang yang beriman sebagai orang -orang
yang memutuskan urusannya melalui musyarakah (amruhum syura bainahum).
Seperti kita pahami bahwa Al-Qur’an telah menetapkan peranan kaum muslimin untuk menegakan suatu tatanan sosial politik tertentu dan menyeimbangkan ekstrem-ekstrem. Demikian juga kehidupan internal dan bentuk masyarakat muslimin haruslah egalitarian dan terbuka yang tidak dinodai oleh elitisme, dan tidak ada kerahasiaan. Selanjutnya kehidupan internal dan tingkah laku masyarakat berkisar pada kehendak baik untuk saling berbuat baik dan bekerjasama.
Diantara manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan musyawarah adalah :
Seperti kita pahami bahwa Al-Qur’an telah menetapkan peranan kaum muslimin untuk menegakan suatu tatanan sosial politik tertentu dan menyeimbangkan ekstrem-ekstrem. Demikian juga kehidupan internal dan bentuk masyarakat muslimin haruslah egalitarian dan terbuka yang tidak dinodai oleh elitisme, dan tidak ada kerahasiaan. Selanjutnya kehidupan internal dan tingkah laku masyarakat berkisar pada kehendak baik untuk saling berbuat baik dan bekerjasama.
Diantara manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan musyawarah adalah :
1. Mencerminkan kualitas pemahaman pada masalah yang dibicarakan dan ukuran cinta serta keikhlasan kepada masyarakat.
2. Dapat menggali apa yang tersembunyi dalam pemikiran seseorang. Kemampuan akal manusia biasanya terbatas, dengan musyawarah, hal itu dapat saling menyempurnakan.
3. Akan menghasilkan sebuah pendapat yang lebih cenderung kepada kebenaran.
4. Dapat mewujudkan kesatuan hati untuk mewujudkan suatu usaha.
Etika Musyawarah yaitu Displin, mengambil keputusan berdasarkan suara
terbanyak dan pendapat yang lebih mengenal masalah dan rasional.
Musyawarah adalah merupakan suatu jalan untuk menciptakan kedamaian
dalam kehidupan manusia, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan
bahkan dalam suatu negara. Karena musyawarah adalah merupakan suatu
bentuk pemberian penghargaan terhadap diri manusia yang ingin
diperlakukan sama dalam derajatnya sebagai manusia untuk ikut bersama
baik dalam aktivitas kerja maupun pemikiran. Dengan mengikutsertakan
anggota-anggota masyarakat dalam permusyawaratan selain akan menambah
ide demi kesempurnaan suatu pemecahan masalah atau suatu rencana, para
peserta juga dapat melepaskan suatu yang terpendam dalam hatinya
sehingga bebas dari ketidakpuasan dan sekaligus terciptanya rasa
memiliki terhadap keputusan tersebut.Dan perasaan ini biasanya berlanjut
pada pertanggungjawaban.
Wallahu A'lam Bisshowab
0 Komentar