Sekilas Profil Pon. Pes "Ma'hadut Tholabah"

October 09, 2013 Add Comment


PONDOK PESANTREN “MA’HADUT THOLABAH”
Dsn. Kebondalem Ds. Kandangan Kec. Kandangan Kab. Kediri

Pondok pesantren Ma’hadut Tholabah berdiri pada tahun 1973. di dirikan oleh hadlrotus syaikh KH.Ahmad Toha Rhomlan, beliau  wafat pada tahun 2001 M.. Setelah beliau wafat Pondok pesantren Ma’hadut Tholabah diasuh oleh putra beliau yang bernama KH. Imam Baihaqi Thoha, putra ke tiga dari 10 bersaudara.
Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah didirikan di atas tanah seluas 60x 100 dengan dua bangunan dasar yaitu kamar untuk para santri yang berukuran 3x12 m dibagi jadi tiga 4x3m/kamar, dan sebuah mushola.  Sedangkan ruang belajar untuk santri  bertempat di mushola yang pada sa’at itu sangat sederhana, hanya tebuat dari bambu.
Sejak awal pesantren  ini tergolong  pesantren salafiyah, hal ini dapat terlihat dari keadaan  pesantren yang tetap mempertahankan Kitab-kitab Islam klasik  atau yang lebih sering di sebut dengan istilah kitab kuning sebagai inti pendidikan  pesantren.  dalam  bentuk  klasikal  pada  jenjang  madrasah
diniyah.
Pondok pesantren Ma’hadut Tholabah secara sepintas bisa dikatan bahwa eksistensinya cukup intens dengan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Terlihat sampai saat ini masih berjalan pengajian-pengajian yang dilakukan oleh santri bersama masyarakat sekitar seperti majlis ta’lim (malam Kamisan), sema’an Al Qur’an bin nadzor setiap sebulan sekali, dan yasinan setiap malam Jum’at.
1.      Setruktur pengurus pondok pesantren Ma’hadut Tholabah

Struktur organisasi merupakan suatu kerangka atau susunan yang menunjukkan hubungan antar komponen yang satu dengan yang lain, hingga jelas tugas, wewenang dan tanggung jawab masing masing dalam suatu kebulatan yang teratur.
Adapun bagian struktur organisasi Pondok Pesantren putra Ma’hadu Ttholabah  sebagaimana berikut pondok pesantren yang tetap mempertahankan Kitab-kitab Islam klasik atau yang lebih sering di sebut dengan istilah kitab kuning sebagai inti  pendidikan  pesantren.  dalam  bentuk  klasikal  pada  jenjang  madrasah diniyah.

3.      Visi misi pondok pesantren Ma’hadut Tholabah

a.      Visi
1.      Mencetak para santri yang memiliki wawasan IPTEK dan IMTAQ.
2.      Mengantar para santri untuk mampu membaca dan memahami kitab kuning, kreatif, dan mengantar santri berfaham ahlu sunah waljam’ah.

b.      Misi
1.      Melaksanakan proses belajar mengajar secara terprogram dan terarah
2.      Menyeimbankan dimensi keilmuan santri antara bidang umum maupun bidang agama terutama yang berbau pesantren
3.      Memotivasi santri untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki serta mlanjutkan kejenjang yang lebih tinggi
4.      Mengembangkan kreatifitas santri baik dalam kegiatan intra maupun estrakurikuler.
5.      Memberikan teladan yang baik kepada para santri untuk berinteraksi sosial secara islami.
6.      Meningkatkan peran dan partisipasi seluruh komponen pendidikan
           
untuk mewujudkan cita-cita Madrasah

c.       Tujuan pondok pesantren Ma’hadut Tholabah

1. Memantapkan "Imtaq" kepada seluruh warga.
2)  Membiasakan peserta didik untuk selalu berlaku sopan santun.
3)  Meningkatkan nilai rata-rata UAM.
4)  Meningkatkan tingkat kedisiplinan siswa.3

4. Sarana Prasarana Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah

Untuk menunjang kelancaran sistem belajar mengajar di pondok atau madrasah maka di sediakan sarana prasarana seperti adanya gedung sekolah.kamar untuk para santri yang mukim.kantor madrasah ataupun pondok, gedung aula dan juga disediakan toko yang mnjual ATK dll.

5.    Santri Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah

Santri-santri yang ada di Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah mayoritas berasal dari Jawa Timur dan luar Jawa Timur. Sementara santri yang ada (Th. 2013/2014) berjumlah 80 orang santri putra dan 60 orang santri putri.
6.  Aktifitas Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah

1. Jama’ah, semua santri wajib melaksanakan sholat lima waktu dengan berjema’ah dan bertempatnya di  Musholla pesantren.
2. Mengaji  Al-Qur’an dan  Kitab, semua  santri diwajibkan mengikuti
     kegiatan sesuai dengan tingkatan masing-masing. Mengaji Al-Qur’an dilaksanakan setelah shalat shubuh untuk umum setelah ashar untuk tingkatan pemula. Pengajian Kutubus salaf dilaksanakan setelah melaksanakan sholat berjema’ah, dalam hal ini langsung di bacakan oleh pengasuh pondok atau ustadz yang di tunjuk oleh pengasuh. Semua santri di wajibkan untuk mengaji minimal 3 kitab dalam satu hari.
3. Khithobah (pidato) dilaksanakan setiap hari Rabu dan Kamis
Acara-acara yang terdapat dalam kegiatan khitobah meliputi: 
a.       Tahli
b.      Walimah  (khitan.a’qiqoh.ursy. tasmiah)
c.        Khutbah Jum’at dll. (kegiatan-kegiatan yang biasa atau diperlukan di dalam masyarakat umum)
4.  Mujahadah bersama setiap selesai acara khitobah malam Kamis
5.  Kursus Nahwu dan Shorof  menurut tingkatanya masing-masing
                 Pelajaran-pelajaran kursus meliputi :
a.    Untuk tingkatan Ibtida’iyah yaitu: Shorof dan jurumiah.
b.    Untuk tingkatan Tsanawiyah yaitu : Al Imrithi .Alfiah Ibnu Malik dan Qowa’idul I’rob
c.    Untuk tingkatan Aliyah yaitu : Balghoh, Mantiq dan Falaq
6. Istighosah bersama yang dilakukan setiap sebulan sekali di makam KH. Thoha Rhomlan dan Ibu Nyai H. Dewi Juwariyah
7. Muhadhoroh
8. Bahstul Masa’il yang dilaksanakan setiap satu bulan  sekali.
9. Diskusi ilmiah yang dilaksanakan pada satu minggu sekali yang diikuti
 
oleh setiap santri tingkatan tsanawi ‘aliah dan yang sudah tamat
10. Kerja bakti yang dilaksanakan satu minggu sekali, baik di lingkungan pesantren maupun di luar pondok pesantren.
11. Masuk sekolah formal bagi santri yang masih brsetatus siswa SMP.SMA dan yang sederajat
12. Madrasah diniyah, diikuti oleh semua santri kecuali yang sudah selesai,
dilaksanakan pada sore dan malam. sore untuk yang hanya mondok dan malam untuk yang ngerankep sekolah formal setelah jama’ah mahgrib.
13. Tahtimul qur’an setiap jum’at legi dalam sebulan sekali

B. Penyajian Data

1. Pelaksanaan Metode Pembelajaran Kutubus Salaf di Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah   Kebondalem Kandangan Kediri

a.       Materi Pelajaran Kitab Kuning

Materi yang di gunakan di pondok pesantren Ma’hadut Tholabah  ini, menyesuaikan tingkatan kemampuan santri, untuk tingkatan santri kelas SP di fokuskan pada pengenalan tentang peraktek
shalat dan pengenalan huruf arab, menghafal do`a sehari-hari dan menulis, sedangkan untuk ibtida’iyah  difokuskan pada materi sekitar  tentang pengenalan ketauhidan,  akhlaq  dan  tajwid. Pada  tingkatan  Tsanawiyah  santri ditekankan untuk menerapkan pelajaran yang sudah dipelajari di tingkat ibtida’iyah, mendalami ilmu Alat, serta penerapan ilmu alat. Untuk tingkat ‘aliyah santri dikhususkan untuk mengetahui ilmu Bayan, Manthiq dan Aqidah Islam seperti Ushul Fiqh, Qo’idah Fiqhiyah, Tafsir dan lain sebagainya.

b. Metode Pembelajaran Kitab Kuning
Sejak awal berdiri dan perkembangannya, metode pembelajaran kitab kuning yang dipakai adalah metode yang sudah lazim dipakai di pesantren salaf, yaitu:

1) Metode Bandongan
Metode yang digunakan di Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah Putra (dalam pembelajaran kitab) yang bersifat kelas besar ataupun kelas  kecil  adalah  metode  bandongan  yang  dipadukan  dengan metode lainnya. Biasanya metode bandongan ini digunakan oleh para pengasuh pondok yang dilaksanakan di dalem setiap setelah shalat maghrib. Metode ini biasanya lebih dominan dipakai pada
materi pelajaran tafsir, ilmu tafsir, fiqh, dan tasawuf. Dalam metode ini  kiai  membaca,  menerjemahkan,  dan  menjelaskan  isi  kitab, sedangkan santri menyimak, menulis ulang apa yang telah dijelaskan oleh kiainya. Penyampaiannya sering menggunakan bahasa Jawa,
terkadang pula memakai bahasa Indonesia.9

2) Metode Hafalan
Metode hafalan merupakan ciri khas yang sangat melekat pada sistem  pendidikan  tradisional,  termasuk  pesantren.  di   Pondok Pesantren Ma’hadut Tholabah, metode ini digunakan hanya dalam pembahasan kitab-kitab tertentu, seperti kitab sharaf, al-Qur’an, dan hadits. Sebab diakui atau tidak, khusus
untuk materi sharaf, jika santri tidak bisa menghafalkan wazan, maka dia akan kesulitan dalam membuat perumpamaan di kitab lain. Selain  hafalan  wazan  juga  hafalan  dalam  bentuk  sya’ir  atau
nadzom.12

3) Metode Tanya Jawab
Metode ini biasanya digunakan dalam waktu-waktu tertentu saja,   dan   memang   sudah   ditentukan   oleh   ustadz.   Sebelum pelaksanaannya  santri  diberitahu  terlebih  dahulu,  agar  mereka memiliki  persiapan.  Dalam  metode  ini,  santri  harus  menjawab pertanyaan   yang   diberikan   oleh   ustadz. Pertanyaan-pertanyan tersebut  biasanya  dalam  bentuk  tulisan,  lisan  ataupun  praktek. Metode ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman santri terhadap materi yang telah diterimanya. Metode ini digunakan pada seluruh materi kitab kuning.

            Jadi, dapat disimpulkan bahwa, metode-metode yang dipakai oleh para tenaga pengajar selalu        disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan kepada para santri.

Nasehat Ilmu-Surat Imam Al-Ghazali

September 28, 2013 Add Comment
 Nasehat Ilmu-Surat Imam Al-Ghazali
 
Wahai anak! Nasehat itu mudah, yang sulit adalah menerimanya; karena terasa pahit oleh hawa nafsu yang menyukai segala yang terlarang. Terutama dikalangan penuntut ilmu yang membuang-buang waktu dalam mencari kebesaran diri dan kemegahan duniawi. Ia mengira didalam ilmu yang tak bersari itulah terkandung keselamatan dan kebahagiaan, dan ia menyangka tak perlu beramal. Inilah kepercayaan filsul-filsuf.
Ia tidak tahu bahwa ketika ada pada seseorang ilmu, maka ada yang memberatkan, seperti disabdakan Rasulallah saw: “Orang yang berat menanggung siksa di hari kiamat ialah orang yang berilmu namun tidak mendapat manfaat dari ilmunya itu.”
Wahai anak! Janganlah engkau hidup dengan kemiskinan amal dan kehilangan kemauan kerja. Yakinlah bahwa ilmu tanpa amal semata-mata tidak akan menyelamatkan orang. Jika disuatu medan pertempuran ada seorang yang gagah berani dengan persenjataan lengkap dihadapkan dengan seekor singa yang galak, dapatkah senjatanya melindungi dari bahaya, jika tidak diangkat, dipukulkan dan ditikamkan? Tentu saja tidak akan menolong, kecuali diangkat, dipukulkan dan ditikamkan. Demikian pula jika seseorang membaca dan mempelajari seratus ribu masalah ilmiah, jika tidak diamalkan maka tidaklah akan mendatangkan faedah.
Wahai anak! Berapa malam engkau berjaga guna mengulang-ulang ilmu, membaca buku, dan engkau haramkan tidur atas dirimu. Aku tak tahu, apa yang menjadi pendorongmu. Jika yang menjadi pendorongmu adalah kehendak mencari materi dan kesenangan dunia atau mengejar pangkat atau mencari kelebihan atas kawan semata, maka malanglah engkau. Namun jika yang mendorongmu adalah keinginan untuk menghidupkan syariat Rasulallah saw dan menyucikan budi pekertimu serta menundukkan nafsu yang tiada henti mengajak kepada kejahatan, maka mujurlah engkau. Benar sekali kata seorang penyair, “Biarpun kantuk menyiksa mata, Akan percuma semata-mata jika tak karena Alloh semata”.
Wahai anak! Hiduplah sebagaimana maumu, namun ingat! bahwasanya engkau akan mati. Dan cintailah siapa yang engkau sukai, namun ingat! engkau akan berpisah dengannya. Dan berbuatlah seperti yang engkau kehendaki, namun ingat! engkau pasti akan menerima balasannya nanti.

Sekilas Pengertian ASWAJA

September 27, 2013 Add Comment
 Sesuai uraian diatas, pengetian ASWAJA adalah kelompok yang selalu berpegang pada sunah Rosululloh dan metode sahabatnya yang tercermin dalam aspek:
1. I’tiqod diniyyah (keyakinan keagamaan)
2. A’mal al-badaniyyah (amal ibadah)
3. Akhlaq al-qolbiyyah (budi pekerti)
     Istilah Aswaja ini muncul sekitar periode tiga ratus Hijriyah, dipelopori oleh Imam Abi Hasan al-Asy’ari murid dari salah seorang tokoh Mu’tazilah bernama Syaikh Ali al-Juba’i. Menurut Imam as-Subuki, selama 40 tahun lamanya al-Asy’ari berada dibelakang kelompok ini. Namun setelah melalui perenungan panjang nanmendalam, Imam al-Asy’ari akhirnya sampai pada kesimpulan adanya kejanggalan-kejanggalan dari ajaran yang telah lama digelutinya ini, khususnya mengenai posisi akal pikir manusia di hadapan Nash al-Qur’an ataupun Hadits, serta kewajiban Alloh berbuat membalas kebajikan terhadap hambanya yang telah menjalankan kebajikan. (lihat: Dzohrul Islam)
         Adapun Imam Al-Asy’ari yakni ‘Aly bin Isma’il bin Abi Bisyri Ishaq Bin Salim Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Bardah Bin Abi Musa Al-Asy’ary (yaitu Abdillah Bin Qais, shahabat Nabi) lahir tahun 260 H. dan Imam Al-Maturidy yakni Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Al-Hanafy bukanlah pencetus pertama dalam bidang ilmu Kalam, namun Beliau berdualah yang mengokohkan Imam Madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah). Imam Abu Hasan Al-Asy’ari adalah pengikut Madzhab Syafi’i sedangkan Imam Abu Manshur Al-Maturidy adalah pengikut Madzhab Abu Hanifah. (Lihat: TobaqotusSyafiiyyah Kubro, Tajuttarojim dan Al A’lam)
     Syaikh ‘Izzuddin Bin Abd. Salam menjelaskan bahwa aqidah yang digagas oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ary telah disepakati dan menjadi konsensus ‘Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Fudlola’u (pembesar) Hanabilah. Sepakat pula Guru Besar Madzhab Malikiyah Imam Abu ‘Umar Bin Al-Hajib di zaman Beliau, demikian pula Guru Besar Madzhab Hanafiyah Syaikh Jamaluddin Al-Hushairy.
Pengakuan Syaikh ‘Izzuddin tersebut juga diakui Syaikh Taqiyuddin As-Subuky sesuai pendapat yang diliput putra Beliau yakni Syaikh Tajuddin As-Subuki, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Az-Zubaidi sebagaiman berikut:

أهل السنة من المالكية والشافعية وأكثر الحنفية بلسان أبي الحسن الأشعري                                                                       
            Syaikh Tajuddin As-Subuky memaparkan: Sepengetahuan saya bahwa semua ‘Ulama pengikut Imam Malik semuanya adalah Asya’iroh tidak ada yang keluar, ‘Ulama Syafi’iyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan yang beranggapan bahwa Allah adalah merupakan jisim (benda) atau Mu’tazilah, Hanafiyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan Mu’tazilah dan ‘Ulama Hanabilah yang mulia identik dengan Asya’iroh kecuali golongan yang berkeyakinan Allah adalah jisim. Golongan yang menganggap Allah sebagai jisim lebih banyak daripada golongan pengikut Madzhab lain. Sebagian Ulama yang mengikuti Faham Asy’ariyyah:

- Al Ustadz Abu Sahl As Sho’luki                               – Al Ustadz Abu Ishaq Al Isfiroyini
- As Syaikh Abu Bakar Al Qoffal                               – As Syaikh Abu Zaid Al Marwazi
- Al Ustadz Abu Abdulloh bin Khofif                         – As Syaikh Zahir bin Ahmad As Sarkhisi
- Al Hafidz Abu Bakar Al Jurjani Al Ismailiy                         – As Syaikh Abu Bakar Al Awdani
- As Syaikh Abu Muhammad Atthobari Al Iroqi        – As Syaikh Abu Al Hasan Abdul Aziz At Thobari
- As Syaikh Abu Ja’far As Salma An Naqqosh                        – As Syaikh Abu Abdillah Al Asbihani As Syafi’i
- As Syaikh Abu Muhammad Al Qorosyi Az Zuhri    – As Syaikh Abu Manshur bin Khamsaad
(Lihat: TobaqotusSyaiiyyah Kubro)

Adapun Muhadditsin (ahli Hadits) dan Shufiyah (ahli Tasawwuf) karena sudah sepakat dengan aqidah Al-Asy’ary dan Al-Maturidy maka mereka juga tergolong dari Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

Dengan demikian, orang-orang yang mengingkari golongan Shufiyah (ahli Tasawwuf) dan orang-orang yang tidak sepakat dengan Madzhab empat bukanlah termasuk Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan memakai istilah yang dipakai oleh golongan tertentu tersebut.

Mengenai pendalaman lebih lanjut atas faham Aswaja ini, diatas telah di paparkan dengan melalui pelacakan terhadap Hadits-hadits yang dinilai valid. Sebab tiada jalan lain untuk bisa memperoleh pemahaman keagamaan sesuai ajaran Rosululloh dan para Sahabatnya, kecuali melalui telaah hadits secara kritis.

Namun untuk saat ini, dimana dengan terpautnya masa dengan Rosululloh SAW. yang menyebabkan kesulitan telaah Al qur’an beserta sebab-musabab turunnya Al Qur’an (Asbabunnuzul) dan hadist beserta sebab-mubabab turunnya hadist (asbabulwurud) kecuali dengan meneliti Manuskrip, kitab-kitab Al Mu’tabar (yang dianggap valid) maka  pendalaman hanya bisa dilakukan melalui kajian mendalam atas kitab-kitab karya Ulama’ Salaf. Karena pada dasarnya, kitab-kitab tersebut merupakan penjabaran dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits, yang dihasilkan melalui analisa selektif dan konprehensif dengan tingkat kecermatan yang sangat tinggi. Dan agar kita terhindar dari sabda Nabi tentang laknat bagi orang yang menafsiri qur’an seenaknya, sebagai berikut:
سنن الترمذى – (ج 11 / ص 171)
3204 – حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِىِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Artinya: Dari sahabat Anas bin Malik RA., beliau berkata: “Rosululloh SAW. bersabda”:“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an (mengambil dalil dari Al Qur’an) dengan tanpa ilmu, maka tetapkanlah tempat duduknya bagian dari neraka (niscaya akan masuk neraka)”.

Imam Al Munawi Menjelaskan Hadist diatas sebagai berikut:
فيض القدير الجزء السادس ص  190
من قال في القرآن وفي رواية للترمذي وغيره من قال في كتاب الله وفي رواية من تكلم في القرآن برأيه أي بما سنح في ذهنه وخطر ببالهمن غير دراية بالأصول ولا خبرة بالمنقول فأصاب أي فوافق هواه الصواب دون نظر كلام العلماء ومراجعة القوانين العلميةومن غير أن يكون له وقوف على لغة العرب ووجوه استعمالها من حقيقة ومجاز ومجمل ومفصل وعام وخاص وعلم بأسباب نزول الآيات والناسخ والمنسوخ منها وتعرف لأقوال الأئمة وتأويلاتهم فقد أخطأ في حكمه على القرآن بما لم يعرف أصله وشهادته على الله تعالى بأن ذلك هو مراده أما من قال فيه بالدليل وتكلم فيه على وجهالتأويل فغير داخل في هذا الخبر.
Artinya: ““Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”, dalam sebagian riwayat Imam turmudzi dan lainnya (di tulis dengan:) “Barangsiapa berkata dalam kitab Alloh”, dalam sebagian riwayat (dengan:) “Barangsiapa berbicara dalam Al Qur’an dengan pikirannya”, yakni: dengan pemikiran yang timbul dihati yang kotor tanpa mengetahui dengan dasar-dasar dan kebaikan dalil manqul (naqli: Al Qur’an dan Hadist) kemudian mendapat kebenaran yang mencocoki hawa nafsunya, tanpa memandang pendapat para ulama, tanpa merujuk kaidah-kaidah keilmuan, tanpa menyandarkan pada tata bahasa arab, penggunaan hakikat-majaz global-terperinci umum-khusus, tanpa mengetahui sebab-musabab turunnya ayat, Nasikh-mansukh (al Qur’an yang menyalin dan disalin), dan tanpa mengetahui Qoul-qoul para Imam serta penakwilan beliau-beliau. Maka orang tersebut benar-benar keliru menghukumi dengan Al Qur’an dengan sesuatu yang tidak diketahui asalnya dan persaksian atas Alloh, semua hal diatas adalah maksud dari hadist “Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…, Adapun Ulama yang berkata dalam al Qur’an dengan menggunakan dalil dan berbicara sesuai ta’wil bukanlah orang yang masuk dalam pengertian hadist ini (“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…).”

Untuk mengenal lebih mudah golongan Ahli Sunah wal Jama’ah dalam konteksterkini, KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ menandaskan, ciri ahli Sunah wal Jama’ah, adalah mereka:
-          Yang dibidang Fiqh mengikuti faham Imam Abi Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i bin Idris atau Imam Ahmad bin Hambal.
-          Dibidang Tasawwuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid al-Baghdady dan Imam Ghozali.
-          Dan bidang Tauhid mengikuti Imam Abu al-Asy’ari atau Imam Abu Mansur al-Maturidi.

Hubungan antara Ahli Sunah wal Jama’ah dengan NU dan organisasi keagamaan lainnya, dapat dilihat dari bagaimana gaya masing-masing organisasi tersebut memahami ajaran agama Islam. Sebab patokan atau pakem yang dijadikan rujukan oleh masing-masing adalah sama, yakni al-Qur’an dan Hadits Nabi. Hanya bagaimana kemudian dua sumber tersebut dipahami, secara mendetail dan pengamalan yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad, yakni berahlak mulia dan dengan Mauidzotul hasanah tanpa menyakiti sesama. Oleh karena itu alangkan indahnya apabila kita kembalikan semua ajaran islam sesuai garis-garis dasar yang telah di firmankan Alloh SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Nisâ`: 59)

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (159)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (Q.S. al An’am 159)

Dan sebagai penutup kami mengajak para Alim-Ulama, para cendekiawan Muslim, para santri dan segenap masyarakat untuk menjadi benteng terakhir ajaran islam, sesuai Sabda Nabi SAW.:

تحفة الأحوذي – (ج 6 / ص 449)
أَمَّا حَدِيثُ جَابِرٍ فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ عَنْهُ مَرْفُوعًا : ” إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَوَّلَهَا ، فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ” . قَالَ الْمُنْذِرِيُّ : فِيهِ اِنْقِطَاعٌ ، وَأَمَّا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْحَاكِمِ وَقَالَ صَحِيحٌ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ .
سنن ابن ماجه – (ج 1 / ص 322)
275 – حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ أَبِى السَّرِىِّ الْعَسْقَلاَنِىُّ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّرِىِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَوَّلَهَا فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ».
“Apabila akhir umat ini melaknat (generasi) awalnya, (maka hendaklah orang-orang yang mempunyai ilmu pada ketika itu memperlihatkan ilmunya), maka barangsiapa yang menyembunyikan hadist (ilmu pada waktu tersebut), benar-benar (seumpama) seseorang yang menyembunyikan apa yang telah Alloh turunkan (diwahyukan kepada Sayyidina Muhammad SAW!!!)”.

Wallohu A’lam Bisshowab….

Hakikat Tahlilan (Kenduri Arwah – Selamatan Kematian) AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

September 27, 2013 Add Comment
Hakikat Tahlilan (Kenduri Arwah – Selamatan Kematian) AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

 

Hakikat Tahlilan (Kenduri Arwah – Selamatan Kematian)

Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain. Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?

Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).

Mengenai ayat :
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سعى
“dan bahwasanya tiada bagi manusia selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)
Maka Ibn Abbas radliyallahu ‘anh menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَاكَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka... (QS. ath-Thuur 52 : 21)”.
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dan lain-lain untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al-Qur'an untuk mendoakan orang yang telah wafat :
والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلاللذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr 59 ; 10)
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.

Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,

Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).

Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia
ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tersebut dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul shallalahu ‘alayhi wa sallam tak melarangnya bahkan memujinya.

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam :
Berkata Imam al-Hafidh al-Muhaddits Ali bin al-Muwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”. 
Berkata al-Imam al-Hafidh al-Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”. 
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313 H. 
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq.

Disalin dari buku Kenalilah-Akidahmu-1karya al-Habib Munzir al-Musawa
Pengasuh Majelis Rasulullah

DASAR HUKUM PELAKSANAAN PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW.

September 27, 2013 Add Comment
DASAR HUKUM PELAKSANAAN PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW.

ASAL-USUL DAN DASAR HUKUM PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW


Sesungguhnya Nabi Muhammad Sallallahu alaihi Wasallam adalah utusan Allah dan rahmat bagi sekalian alam.Nabi Muhammad SAW. adalah nikmat terbesar dan anugerah teragung yang Allah berikan kepada alam semesta. Ketika manusia saat itu berada dalam kegelapan syirik, kufur, dan tidak mengenal Rabb pencipta mereka. Manusia mengalami krisis spiritual dan moral yang luar biasa. Nilai-nilai kemanusiaan sudah terbalik. Penyembahan terhadap berhala-berhala suatu kehormatan, perzinaan suatu kebanggaan, mabuk dan berjudi adalah kejantanan, dan merampok serta membunuh adalah suatu keberanian. Di saat seperti ini rahmat ilahi memancar dari jazirah Arab. Dunia ini melahirkan seorang Rasul yang ditunggu oleh alam semesta untuk menghentikan semua kerusakan ini dan membawanya kepada cahaya ilahi.Kelahiran makhluk mulia yang ditunggu jagad raya membuat alam tersenyum, gembira dan memancarkan cahaya. Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi pengarang kitab Maulid Habsyi (Biasa disebut Simtu Duror atau lengkapnya Simthud-Durar fi akhbar Mawlid Khairil Basyar min akhlaqi wa awshaafi wa siyar) menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah:
 اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد
“Alam bersinar cemerlang bersukaria demi menyambut kelahiran Ahmad Al-Musthofa Penghuni alam bersukacita Dengan kegembiraan yang berterusan selamanya”.

Dengan tuntunan Allah SWT Nabi Muhammad SAW pun berhasil melaksanakan misi risalah yang diamanahkan kepadanya. Setelah melalui perjalanan dakwah dan jihad selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai macam rintangan dan hambatan yang menimpa Rasulullah SAW berhasil mengeluarkan umat dan mengantarkan bangsa Arab dari penyembahan makhluk menuju kepada penyembahan Rabbnya makhluk, dari kezaliman jahiliyah menuju keadilan Islam. Jazakallah ya Rasulallah an ummatika afdhola ma jazallah nabiyyan an ummatih.

Baiklah sebelum kita membahas masalah memperingati Maulid Nabi SAW serta membahas dalil-dalil yang menunjukan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut,ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan perayaan maulid Pertama,kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya,melainkan selalu dan selamanya,di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan,terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau,yaitu Rabi’ul Awwal,dan pada hari kelahiran beliau,hari Senin.

Tidak layak seorang yang berakal bertanya,“Mengapa kalian memperingatinya? ”Karena, seolah-olah ia bertanya,“Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?” Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”. Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orang-orang yang hadir,memuliakan orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau. Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid. Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi,baik akhlaqnya,hal ihwalnya, sirahnya,muamalahnya,maupun ibadahnya,di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah,keburukan,dan fitnah. 
 
Jika peringatan maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah saw., mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah tegaskan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ketika acara maulid seperti demikian, alasan apa masih disebut dengan bid’ah? dan setiap bid’ah pasti sesat, dan setiap yang sesat pasti masuk neraka, tidak semuanya benar.! Sebagai pembuka dalam pembahasan memperingati Maulid Nabi SAW,ada baiknya kita kutip perkataan seorang ulama kharismatik dari Universitas Al-Azhar Mesir Imam Mutawalli Sha`Rawi dalam bukunya al-Fikr Ma’idat al-Islamiyya ” Jika makhluk hidup bahagia atas kelahiran Nabi nya itu dan semua tanaman senang atas kelahirannya, semua binatang senang atas kelahirannya semua malaikat senang atas kelahirannya, dan semua jin senang atas kelahirannya, mengapa engkau mencegah kami dari yang bahagia atas kelahirannya? “ (untuk menjawab pendapat orang orang yang tidak memperbolehkan perayaan Maulid Nabi).

Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ

“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).

Dari latar belakang ini lah umat islam merasakan kebahagian luar biasa atas kelahiran nabi dan memperingatinya setiap tahunnya, bahkan pada saat ini di setiap negara muslim, kita pasti menemukan orang-orang yang merayakan ulang tahun Nabi yang disebut dengan hari Maulid Nabi. Hal ini berlaku pada mayoritas umat islam di banyak Negara misalnya sebagai berikut: Mesir, Suriah, Libanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat, Saudi Arabia (pada sebagian tempat saja) Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkestan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan sebagian besar negara- negara Islam lainnya. Di negara-negara tersebut bahkan kebanyakan diperingati sebagai hari libur nasional. Semua negara-negara ini, yaitu duwal islamiyah, merayakan hari peringatan peristiwa ini. Bagaimana bisa pada saat ini ada sebagian minoritas yang berpendapat dan mempunyai keputusan bahwa memperingati acara maulid Nabi adalah sebuah keharaman dan bid’ah yang sebaiknya di tinggalkan oleh umat islam. Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid’ah.

Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah kembali sejarah pemikiran Islam tentang perayaan Maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu dan menelisik lebih jauh awal mula tradisi perayaan Maulid ini. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran dalam memahi hakikat Maulid secara komprehensif dan menyikapinya dengan bijaksana.

A. SEJARAH MAULID

Memang benar Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in. Menurut Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi’i (854 H) dalam bukunya “Al-Khutath” menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun ( Nama lengkapnya adalah Jamaluddin ibn Al-Ma’mun Abi Abdillah Muhammad ibn Fatik ibn Mukhtar Al-Bata’ihi dilahirkan sekitar sebelum tahun 515 H. Ayahnya adalah seorang wazir dinasti Fathimiyyah) dan Ibnu Tuwayr (Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdus Salam Al-Murtadho ibn Muhamammad ibn Abdus Salam ibn Al-Tuwayr Al-Fahrani Al-Qaysarani(525/1130-617/1220) seorang ulama dan sejarawan Mesir di antara kitabnya adalah Nuzhatul al maqtalaini fi akhbar al duwalataini al fatimiyyah wa sholahiyyah) Ibnu Al-Ma’mun.Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216 )[7], Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi’i.Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan.Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang. Ibn Al-Tuwayr.Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya. Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir. Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah.Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H. Ibn Katsir bercerita mengatakan: “ Malik Muzhaffaruddin mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30 ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar. Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur sampe Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar besar-besaran itu. Menurut ibn khalIikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar, Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul Awwal. Pada awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20 kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik, pada masa ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah tersebut. Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin , raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi. Di Indonesia, terutama dipesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi ’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam.Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat. Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti pada Pembahasan hukum merayakan Maulid Nabi.

B. DALIL-DALIL MAULID

Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ada banyak alasan dan argumentasi pula untuk tidak merayakan tradisi ini.Diantara dalil-dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW adalah:

1. Firman Allah SWT:

ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ

“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).

Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107). Dalam sebuah hadist disebutkan:

وذكر السهيلي أن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : لما مات أبو لهب رأيته في منامي بعد حول في شر حال فقال ما لقيت بعدكم راحة الا أن العذاب يخفف عني كل يوم اثنين قال وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد يوم الإثنين وكانت ثويبة بشرت أبا لهب بمولده فاعتقها .

As-Suhaeli telah menyebutkan” bahawa Abbas bin Abdul mutholibmelihat abu lahab dalam mimpinya,dan Abbas bertanya padanya,”Bagaimana keadaanmu? Abu lahab menjawab, di neraka, cuma setiap senin siksaku diringankan karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw.”(shahih bukhari hadits no.4813, sunan Baihaqi al-kubra hadits no.13701, syi’bul Iman no.281, fathul Baari al-Masyhur juz 11 hal431)

Peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?

2. Beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ: ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦْ ﺻَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺈِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ” :ﻓِﻴْﻪِ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻲَّ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ

“ Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. ” (H.R. Muslim)

3. Firman Allah :

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.. (Hud :120)” Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya

4. Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً)الأحزاب

( “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman,bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).

Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya

5. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari ‘at Islam. Rasulullah bersabda:

ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓﻲِ ﺍْﻹِﺳْـﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨـَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ (ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ )

“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebua perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun “. (HR.Muslim dalam kitab Shahihnya). Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur ‘an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’.

Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu- pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.

6. Dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

7. Peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

8. Mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

9. Mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

10. Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?

11. Peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

12. Dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

13. Tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.

14. Tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

15. Peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

16. Semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

17. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji

18. Setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran,itu termasuk ajaran agama.

19. Memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

20. Semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut. 

BUDAYA MITUNG DINO BUKANLAH TRADISI HINDU-BUDHA, NAMUN PARA TABI'IN DAN SHAHABAT

September 27, 2013 Add Comment
BUDAYA MITUNG DINO BUKANLAH TRADISI HINDU-BUDHA, NAMUN PARA TABI'IN DAN SHAHABAT




Bismillahir rahmaanirrahiim

Perlu diketahui, tradisi mitung dino hari kematian merupakan warisan shahabat nabi dan tabi'in, bukan dari hindu budha yang selama ini banyak isu yang tak bisa dipertanggung jawabkan. Bahkan budaya tersebut telah diyakini sebagai anjuran langsung dari nabi Muhammad SAW. Yakni dengan melihat Atsar yang menyatakan bahwa orang mukmin mengalami fitnah kubur selama 7 hari.

Sebagaimana diutarakan as-suyuthi dalam al-hawi lil fatawinya;

قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِى قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْنَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامَ
"Thawus berkata: "Sungguh orang-orang yg telah meninggal terkena fitnah dalam kuburnya selama 7 hari, maka mereka (shahabat nabi) merasa senang menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut".

Dalam riwayat lain disebutkan;
عن عبيد بن عمير قال: يُفْـــتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ, فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَأَمَّا الْمُنَافِقُ فَيُفْتَنُ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
"Dari 'Ubaid bin 'Amir,ia berkata: "Dua orang,Mukmin dan Munafik memperoleh fitnah (kubur). Adapun orang mukmin,maka terkena fitnah selama 7 hari, sedang Munafik terkena fitnah selama 40 hari".
Dalam menjelaskan dua Atsar tersebut, As-suyuthi menyatakan bahwa perawi Thawus (w. 110an H) termasuk kategori perawi Hadits-hadits Shahih. Thawus dikenal sebagai generasi pertama Ulama Yaman dan pemuka tabi'in yang sempat menjumpai 50 orang shahabat Nabi.
Sedang 'Ubaid bin 'Amir (w. 78 H) disini adalah al-Laitsi, seorang ahli mauidzah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin khatab RA. Menurut Imam Muslim,beliau dilahirkan dizaman Rasulullah SAW. Bahkan menurut riwayat lain,beliau sempat melihat Rasulullah.
Perlu diketahui,dilihat dari dirayahnya bahwa tiap riwayat seorang Shahabat Nabi yang tak bisa di ijtihadi (ma ruwiya mimma la al-majal li ar-ra'yi fih) maka hukumnya Marfu' (riwayat sampai nabi), bukan mauquf (riwayat terhenti sampai shahabat). Semisal dalam urusan alam barzah atau akhirat.
Masalah Mitung dino ini,malah diperkuat oleh bapak kitab kuning Indonesia, Syeh Nawawi al-Bantani dalam Nihayahnya;
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يُتقيد بكونه فى سبعة أيام أو أكثر أو أقل, والتقييد ببعض الأيام من العوائد فقط, فقد أفتى بذالك السيد أحمد دحلان: وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت فى ثالث من موته وفى سابع وفى تمام العشرين وفى الأربعين وفى المائة وبعد ذالك يفعل كل سنة حولاً فى يوم الموت, كما افاده شيخنا السنبلاويني
" Dan bersedekah untuk mayit dg cara syar'i itu dianjurkan. Pelaksanaanya tak dibatasi 7 hari,lebih atau kurang. Pembatasan dengan hari-hari tertentu ini hanyalah tradisi ('awaid) saja. Sebagaimana fatwa sayid ahmad dahlan:
"Telah berlaku tradisi masy
arakat bersedekah dari mayit pada hari ke 3, 7, 20, 40 kematiannya. Setelah itu tiap tahun mereka menyelenggarakan haul yg bertepatan hari kematiannya". Seperti yg telah dikemukakan guruku, as-sunbulawini".
Akiron:
Bisa dipahamai bahwa tradisi sedekah mitung dino (7 hari kematian) merupakan warisan budaya Sahabat nabi dan tabi'in, BUKAN BUDAYA HINDU BUDHA. Allah wa rasuuluh a’lam


Refrensi: Nihayah az-zaen, al-haawi li al-fatawi, FKI Lirboyo 2010

Recent Post