Lapland, Sebuah Daerah Tanpa Malam di Finlandia

July 20, 2014 Add Comment
Lapland, Sebuah Daerah Tanpa Malam di Finlandia
Matahari pasti munculnya di pagi hari. Terbit di ufuk timur, menerangi hari hingga saat terbenamnya jelang malam tiba. Namun di Lapland, Anda bisa melihat matahari saat tengah malam lho!

Lapland adalah sebuah provinsi di Finlandia yang memiliki luas wilayah 98.946 km² dan populasi 187.777 jiwa (2002). Ibu kotanya ialah Rovaniemi. Provinsi ini memiliki fenomena unik yang indah dipandang, yaitu matahari di tengah malam.

Karena lokasinya yang berada di lingkar kutub, selama dua puluh empat jam dalam dua bulan setiap tahun provinsi ini disinari matahari sepanjang hari tanpa henti. Fenomena ini disebut midnight sun atau matahari tengah malam.

Fenomena ini terjadi setiap bulan Juni dan Juli. Wisatawan yang mengunjungi Lapland dapat melihat cahaya unik dari matahari tengah malam, yang tidak memberi batas antara siang dan malam di sini, demikian seperti dikutip dari CNN, Selasa (25/12/2012). Hal ini memungkinkan pelancong untuk mendaki gunung Lapland di malam hari atau bahkan melakukan olahraga golf selama 24 jam.

Salah satu tempat favorit wisatawan untuk wisata golf di Lapland adalah Bjorkliden GC, lapangan golf yang terletak paling utara provinsi ini. Letaknya berbatasan dengan pegunungan perbatasan Swedia dan Finlandia serta Danau Tornestrask.

Selain golf tengah malam, aktivitas wisata lainnya yang digemari di Lapland adalah bermain ski di Riskgransen, yang merupakan resor ski paling utara di Eropa. Tidak seperti resor ski lainnya di Eropa, Riksgransen tidak memiliki temperatur dingin, sehingga para pencinta ski tidak perlu takut kedinginan.

Hal ini dikarenakan fenomena matahari tengah malam tadi, yang membuat matahari tetap bersinar sehingga membuat wilayah ini tetap hangat sekaligus masih memiliki salju untuk para pemain ski berseluncur.

Lapland juga merupakan rumah bagi hotel es pertama dan terbesar di dunia. di hotel ini, para tamu akan tidur diantara bongkahan es yang dilapisi seprai berbahan kulit rusa. Mulai dari lilin hingga kursi dan meja, semua yang ada di hotel ini terbuat dari es.

Hotel ini dibangun pada 1989, di desa kecil Jukkasjarvi. hotel ini dibangun oleh para pemahat es lokal yang berasal dari hotel ini. Biasanya Hotel Es ini hanya dibuka pada musim dingin saja. Spesial untuk tahun ini, Hotel Es terbuka juga di musim panas. Seperti biasa, air untuk membuat balok es ini berasal dari Sungai Torne, yang tidak jauh dari hotel.

Rumus Untuk Mengetahui Malam Lailatul Qodar Menurut Sebagian Ulama

July 15, 2014 Add Comment
Rumus Untuk Mengetahui Malam Lailatul Qodar Menurut Sebagian Ulama
 
 
Menurut Imam Al Ghazali. Dikatakan oleh Imam al Ghazali dan yang lainnya , bahwa Lailatul Qadar diketahui dari hari pertama puasa Ramadhan.

HARI PERTAMA RAMADHAN = Senin, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 21
...
HARI PERTAMA RAMADHAN = Selasa, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 27

HARI PERTAMA RAMADHAN = Rabu, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 29

HARI PERTAMA RAMADHAN = Kamis, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 25

HARI PERTAMA RAMADHAN = Jum'at, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 27

HARI PERTAMA RAMADHAN = Sabtu, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 23

HARI PERTAMA RAMADHAN = Ahad, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 29

Rumus ini teruji dari kebiasaan para tokoh ulama’ yang telah menemui Lailatul Qadar.

Tercantum di kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah. Diantaranya :

- di dalam kitab I’anah at-Thalibin II/257,

- dan Syeikh Ibrohim al Bajuri dalam Kitabnya "HASYIYAH 'ALA IBN QOOSIM AL GHOZI" juz I halaman 304,

- juga as Sayyid al Bakri dalam Kitabnya "I'AANATUTH THOOLIBIIN" Juz II halaman 257-258, 

Tidak ada kepastian mengenai kapan datangnya Lailatul Qadar, suatu malam yang dikisahkan dalam Al-Qur’an "lebih baik dari seribu bulan". Ada Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, meyebutkan bahwa Nabi pernah ditanya tentang Lailatul Qadar. Beliau menjawab: “Lailatul Qadar ada pada setiap bulan Ramadhan." (HR. Abu Dawud).
Namun menurut hadits lainnya yang diriwayatkan Aisyah rah., Nabi Muhammad saw. memerintahkan:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul Qadar itu pada tanggal ganjil dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)
Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadal itu terjadi pada 17 Ramadhan, 21 Ramadhan, 24 Ramadhan, tanggal ganjil pada 10 akhir Ramadhan dan lain-lain.
Diantara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul Qadar adalah untuk memotivasi umat agar terus beribadah, mencari rahmat dan ridha Allah kapan saja dan dimana saja, tanpa harus terpaku pada satu hari saja.
Jika malam Lailatul Qadar ini diberitahukan tanggal kepastiannya, maka orang akan beribadah sebanyak-banyaknya hanya pada tanggal tersebut dan tidak giat lagi beribadah ketika tanggal tersebut sudah lewat.
Umat Islam hanya ditunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Di antara tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar adalah:
1. Pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sangat sejuk, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim.
2. Pada malam harinya langit nampak bersih, tidak nampak awan sedikit pun, suasana tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad.
Dalam kitab Mu'jam at- Thabari al-Kabir disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Malam Lailatul Qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas."
Amalan-amalan untuk Mendapatkan Lailatul Qadar
Para ulama kita mengajarkan, agar mendapatkan keutamaan Lailatul Qadar, maka hendaknya kita memperbanyak ibadah selama bulan Ramadhan, diantaranya:
1. Senantiasa shalat fardhu lima waktu berjama'ah.
2. Mendirikan shalat malam atau qiyamul lail (shalat tarawih, tahajud, dll)
3. Membaca Al-Qur'an sebanyak-banyaknya dengan tartil.
4. Memperbanyak dzikir, istighfar dan berdoa.
5. Memperbanyak membaca do’a:
اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنَّا
Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Dzat Maha Pengampun lagi Maha Pemurah, senang pada ampunan, maka ampunilah kami, wahai Dzat yang Maha Pemurah.

Nuzulul Qur'an Menurut Berbagai Madzhab

July 14, 2014 Add Comment
Nuzulul Qur'an Menurut Berbagai Madzhab

Nuzulul Qur'an (turunnya Al-Qur'an) adalah hal yang sangat istimewa bagi umat Islam. Sebagaimana Al-Qur'an merupakan rahmat agung bagi umat ini, nuzulul Qur'an juga merupakan rahmat besar bagi umat ini. 

Mayoritas umat Islam di Indonesia berpendapat nuzulul Qur'an jatuh pada tanggal 17 Ramadhan. Bahkan banyak pula yang mengadakan acara khusus untuk memperingati nuzulul Qur'an setiap tahunnya. 

Di dalam Al-Qur'an, nuzulul Qur'an difirmankan Allah SWT dalam tiga ayat berikut ini: 


شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ 

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah:185) 

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ 

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan : 4) 

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ 

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan (lailatul qadar)(QS. Al-Qadr : 1) 

Sebagaimana QS. Al-Baqarah ayat 185 di atas, sebagian ayat Al-Qur'an bersifat menjadi bayan (penjelas) bagi sebagian ayat yang lain. Tidak ada pertentangan antar ayat Al-Qur'an. 

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا 

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisa' : 82) 

Demikian juga tiga ayat (QS. Al-Baqarah : 185, QS. Ad-Dukhan : 4, dan QS. Al-Qadr : 1) yang menjelaskan nuzulul Qur'an di atas. Ketiganya tidak bertentangan. Namun, dzahir ayat bertentangan dengan realitas sejarah, dimana Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah SAW selama 23 tahun. Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua madzhab pokok, dan dua madzhab lain sebagai berikut: 

Madzhab Pertama tentang Nuzulul Qur'an 
Madzhab pertama ini merupakan pendapat dari Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, yang kemudian menjadi pendapat jumhur ulama'. Bahwa yang dimaksud nuzulul Qur'an dalam 3 ayat tersebut adalah turunnya Al-Qur'an sekaligus ke Baitul Izzah di langit dunia. Ini untuk menunjukkan kepada malaikat-Nya betapa besar masalah ini. Kemudian Al-Qur'an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun. 10 tahun ketika periode Makkiyah, dan 13 tahun dalam periode Madaniyah. 

Dalil yang dipakai untuk memperkuat madzhab ini adalah: 
1. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Al-Qur'an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul qadar. Kemudian ia diturunkan selama dua puluh tahun" (HR. Hakim, Baihaqi, dan Nasai). Kemudian Ibnu Abbas membaca firman-Nya: 

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya (QS. Al-Furqan : 33) 

وَقُرْآَنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا 

Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al-Isra' : 106) 

2. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Al-Qur'an itu dipisahkan dari Adz-Dzkir, lalu diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia, maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi SAW" (HR. Hakim) 

3. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Allah menurunkan Al-Qur'an sekaligus ke langit dunia, pusat turunnya Al-Qur'an secara bertahap. Lalu, Allah menurunkannya kepada Rasul-Nya bagian demi bagian" (HR. Hakim dan Baihaqi) 

4. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Al-Qur'an diturunkan pada lailatul qadar pada bulan Ramadhan ke langit dunia sekaligus, lalu ia diturunkan secara berangsur-angsur" (HR. Thabrani) 

Madzhab Kedua tentang Nuzulul Qur'an 
Madzhab kedua tentang nuzulul Qur'an yaitu yang diriwayatkan oleh Amr bin Syarahil Asy-Sya'bi, (seorang tabi'in besar, ahli hadits dan fikih, guru Imam Abu Hanifah, yang wafat tahun 109 H) bahwa yang dimaksud dengan nuzulul Qur'an dalam tiga ayat di atas adalah permulaan turunnya Al-Qur'an itu dimulai pada lailatul qadar di bulan Ramadhan. Lalu turun secara bertahap selama 23 tahun. 

Dengan demikian, hanya ada satu macam cara turun menurut madzhab ini, yaitu secara bertahap kepada Rasulullah sebagaimana dinyatakan dalam ayat : 

وَقُرْآَنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا 

Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al-Isra' : 106) 

Orang musyrik yang diberitahu bahwa kitab samawi terdahulu turun sekaligus, menginginkan al-qur'an juga turun sekaligus. 

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآَنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا * وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. Al-Furqan : 32-33) 

Menurut Syaikh Manna Al-Qaththan, madzhab kedua yang diriwayatkan Asy-Sya'bi, dengan dalil shahih dan dapat diterima ini, tidak bertentangan dengan madzhab pertama. Selanjutnya Syaikh Manna Al-Qaththan mengatakan pendapat yang kuat adalah Al-Qur'an diturunkan dua kali : pertama, diturunkan sekaligus ke Baitul Izzah pada lailatul Qadar, dan kedua, diturunkan dari langit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia pernah ditanya oleh Athiyah bin Aswad: "Dalam hatiku ada keraguan tentang firman Allah 'bulan Ramadhan itu bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an', dan firman Allah 'kami menurunkannya pada lailatul qadar'. Padahal Al-Qur'an itu ada yang diturunkan pada bulan Syawal, dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Rabiul Awal". Ibnu Abbas menjawab: "Al-Qur'an diturunkan pada lailatul qadar sekaligus. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah serta perlahan-lahan sepanjang bulan dan hari" 

Madzhab Ketiga tentang Nuzulul Qur'an
 
Yakni yang berpendapat Al-Qur'an diturunkan ke langit dunia pada 23 malam kemuliaan (lailatul qadar), yang pada setiap malam-malam kemuliaan itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan setiap tahunnya. Dari jumlah untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasul sepanjang tahun. Ini hasil ijtihad sebagian mufassir. Pendapat ini tidak mempunyai dalil. 

Madzhab Keempat tentang Nuzulul Qur'an 
Yaitu pendapat bahwa Al-Qur'an diturunkan pertama-tama berangsur-angsur ke Lauh Mahfudz, sebagaimana firman Allah: 

بَلْ هُوَ قُرْآَنٌ مَجِيدٌ * فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ 

Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh. (QS. Al-Buruj : 22) 

Kemudian ke Baitul Izzah serentak, lalu turun sedikit demi sedikit dalam 23 tahun. Jadi menurut madzhab ini Al-Qur'an diturunkan dalam tiga tahap. 

Menurut Syaikh Manna Al-Qaththan, pendapat ini sebenarnya tidak bertentangan dengan kedua madzhab pokok, karena sebelum diturunkan ke Baitul Izzah, Al-Qur'an memang tersimpan di lauh mahfudz sebagaimana QS. Al-Buruj ayat 22 di atas. 

Tanggal Pertama Kali Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah 
Al-Qur'an yang diturunkan pertama kali kepada Rasulullah adalah surat Al-'Alaq (Iqra') di gua hira yang terkenal itu. Mengenai tanggalnya, para ulama memiliki banyak pendapat yang satu sama lain ada juga yang berselish jauh. Sebagian mengatakan bulan Rajab dan sebagian lainnya mengatakan bulan Ramadhan. Namun yang benar adalah bulan Ramadhan sebagaimana QS. Al-Baqarah ayat 185.

Dari pendapat bulan Ramadhan ini, terpecah lagi ke dalam beberapa pendapat. Sebagian mengatakan tanggal 7, sebagian berpendapat tanggal 17, dan ada juga yang berpendapat tanggal 18. Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury setelah melakukan penelitian mengatakan di dalam Rahiqul Makhtum bahwa wahyu pertama tersebut jatuh pada hari Senin, tanggal 10 Agustus 610 M, bertepatan dengan bulan Ramadhan. Pada bulan Ramadhan itu, hari Senin jatuh pada tanggal 7, 14, dan 21. Dengan mendasarkan kepada argumen bahwa Al-Qur'an pertama kali diturunkan pada lailatul qadar, dan lailatul qadar ada pada malam ganjil sepuluh hari terakhir Ramadhan, Syafiyurrahman Al-Mubarakfury menyimpulkan bahwa Al-Qur'an pertama kali diturunkan kepada rasulullah pada Tanggal 21 Ramadhan. 

Demikian penjelasan mengenai Nuzulul Qur'an menurut berbagai madzhab, semoga bermanfaat.Wallaahu a'lam bish shawab

 Sumber:  مابحث في علوم القران karya Syaikh Manna Al-Qaththan,  رحيق المختوم karya Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Fi Zhilalil Qur'an

KIAI SAHAL DAN REALISME FIKIH

May 25, 2014 Add Comment


Dari perspektif fikih, lokalisasi pelacuran hukumnya boleh. Bagaimana bisa? Dalam Nuansa Fiqh Sosial, KH. Sahal Mahfudz memberi jawaban menarik. Kata Kiai Sahal, prostitusi jelas dilarang agama. Tapi sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi tak akan musnah hanya dengan diharamkan. Dalam kondisi demikian, terdapat dua pilihan yang sama-sama membawa kerusakan (mafsadah): atau membiarkan prostitusi menyebar secara gelap di masyarakat dan tak terkontrol, atau melokalisirnya sehingga bisa dikontrol. Kaidah fikih mengajarkan, bila ada dua pilihan yang sama-sama mengandung mafsadah, yang lebih ringanlah yang mesti dipilih. Atas dasar itulah Kiai Sahal berpendapat lokalisasi pekerja seks komersial bisa dibenarkan.
Pandangan di atas mungkin terasa mengejutkan bagi kalangan Islam yang, atas nama amar ma’ruf nahi munkar, menyatakan perang total terhadap segala bentuk kemunkaran. Prostitusi di mata mereka justru harus diberantas, bukan dilokalisir. Bahwa persoalannya kompleks, mereka tak mau tahu.
Sebenarnya, kalau acuannya kitab-kitab tentang kaidah fikih (qawa’id al fiqh), pendekatan frontal yang hitam putih terhadap kasus fikih justru jarang ditemukan. Yang lazim malah penekanan tentang pentingnya memperhitungkan kompleksitas masalahnya. Ada setidaknya tiga kaidah fikih yang menunjukkan hal itu.
Pertama, kaidah tentang keharusan menghilangkan kerusakan (dharar), baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Namun usaha menghilangkan kerusakan tak boleh dengan cara-cara yang merusak. Tak boleh juga melahirkan kerusakan baru. Dengan kata lain, yang perlu ditimbang bukan hanya isi hukumnya, tapi juga ongkos sosial dan solusi terhadap masalahnya. Dan seperti digambarkan dalam kasus lokalisasi di atas, terhadap sesuatu yang haram pun kita tak bisa langsung membumihanguskannya begitu saja,
Kaidah kedua, keadaan tak terelakkan atau suatu kemestian (dharurah) bisa membolehkan hal yang tadinya terlarang. Kaidah inilah yang dipakai, misalnya, oleh Al-Ghazali sebagai landasan fikih politiknya yang bertumpu pada realisme . Dalam Al Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali menegaskan, dalam situasi ketika tak mungkin lagi ditemukan pemimpin yang sesuai dengan kriteria syariah, maka penguasa yang tak sesuai kriteria syar’i bisa dianggap absah, asalkan mampu menegakkan tatanan sosial. Sebab, bila pemimpin seperti itu tak diakui lantaran tak sesuai syariah, maka umat akan berada dalam situasi yang lebih berbahaya menurut fikih, yakni situasi tanpa pemimpin yang niscaya melahirkan kekacauan sosial dan politik. Dengan kata lain, situasi yang tak terelakkan (dharurah) menyebabkan apa yang tadinya terlarang menjadi boleh.
Sedangkan kaidah ketiga berbunyi: budaya setempat bisa menjadi dasar hukum. Alih-alih memberangus tradisi lokal, hukum Islam justru mengakomodasinya. Kaidah ini meniscayakan adanya keragaman fikih, mengingat budaya lokal umat Islam juga beragam. Artinya, fikih yang cocok berlaku buat orang Islam Indonesia adalah “ fikih Indonesia,” sebagaimana yang cocok buat kaum Muslim Arab adalah “fikih Arab.” Mungkin inilah yang dimaksud Gus Dur sebagai “pribumisasi Islam.”
Tiga kaidah fikih di atas tak pelak mengarah pada kesimpulan berikut: hukum Islam bukanlah sebuah paket baku yang sudah jadi dari atas, yang tinggal diterapkan begitu saja pada situasi manapun dan kapanpun. Karena hukum Islam ternyata sangat mempertimbangkan kenyataan kongkret di mana kaum muslim berada. Hubungan antara keduanya bukanlah hubungan satu arah yang bersifat top-down, melainkan saling mempengaruhi. Kenyataan tak hanya melulu harus disesuaikan dengan suatu putusan syara’, melainkan juga bisa membuat putusan tersebut menyesuaikan diri dengannya. Saya menyebut fenomena ini sebagai “realisme fikih.”
Realisme fikih inilah yang saya kira mencirikan gagasan “fikih sosial” ala Kiai Sahal. Asumsi dasarnya, syariah mesti dilihat sebagai fikih, yang berarti “pemahaman.” Bagi Kiai Sahal, fikih selalu merupakan hasil ijtihad yang tak bersifat kaku dan sakral, melainkan lentur dan kontekstual. Putusan fikih yang pada suatu zaman dan tempat tertentu dianggap valid bisa saja tak lagi relevan di era lain atau di tempat lain. Untuk menggambarkan kelenturan fikih ini, Kiai Sahal mengutip seloroh KH. Wahab Hasbullah: pekih kuwi yen rupek yo diokoh-okoh, fikih itu kalau terasa menyempitkan ya dibuat longgar.
Tapi apa landasan bagi peng-“okoh-okoh”an fikih? Apa tolok ukur yang mendasari kontekstualisasi hukum Islam? Di mata Kiai Sahal, di luar wilayah ibadah murni (ibadah mahdhah), kontekstualisasi fikih harus bersandar pada prinsip kemaslahatan. Dalam dunia sosial-politik, prinsip ini bisa diterjemahkan sebagai terciptanya keadilan sosial.
Dalam konteks mutakhir, keadilan sosial dimaknai dalam kerangka demokrasi, yang bertaut erat dengan prinsip kesetaraan warga negara, apapun agamanya. Kesetaraan demokrasi inilah yang menurut Kiai Sahal merupakan muara bagi fikih politik untuk zaman ini. Konsekuenasinya, diktum-diktum fikih politik (fiqh al-siyasah) klasik yang bertentangan dengan muara fikih tersebut, seperti konsep dzimmi yang menempatkan kalangan nonmuslim sebagai warga negara kelas dua, menjadi tidak relevan lagi. Menarik bahwa alur penalaran fikih pada akhirnya membawa Kiai Sahal pada sikap menyetujui demokrasi sebagai sistem yang dianggap paling efektif merealisasikan kemasalahatan, yang nota bene merupakan tujuan syariah.
Dengan kerangka berpikir seperti itu, wajar kalau kemudian Kiai Sahal menolak ide formalisasi syariah. Dalam pidato iftitahnya di Munas NU 2006, misalnya, ia menggarisbawahi perlunya NU mengusung syariah “tanpa melalui jalan formalistik, lebih–lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, melainkan dengan cara lentur.” Sebab ia meyakini, “syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal.”
Ditinjau dari lensa fikih sosial, gerakan penerapan syariah yang belakangan marak di negeri kita sejatinya mengidap sejumlah masalah akut. Yang paling mencolok adalah diabaikannya prinsip kesetaraan yang menurut Kiai Sahal harusnya menjadi muara bagi syariah. Lihat saja betapa banyak perda syariah yang melanggar hak-hak perempuan dan kaum minoritas.
Ada anggapan, negara syariah mencerminkan Islam kaffah yang sesuai dengan teladan Islam salaf. Padahal upaya menempatkan hukum Islam sebagai hukum tunggal yang baku dan disahkan oleh negara justru tak dikenal pada masa Islam klasik. Positivisasi hukum Islam adalah fenomena modern, yang akarnya baru muncul pada paruh akhir abad 19, akibat dari persentuhan Dunia Islam dengan negara kolonialnya seperti Perancis. Model acuannya pun banyak mengambil dari sistem hukum Eropa. Sebelum itu, selama ratusan tahun korpus syariah praktis dirumuskan dan dikembangkan oleh para ulama fiqh “swasta” yang otonom dari negara dan tanpa pengesahan negara. Di tangan merekalah syariah tampil sebagai fiqh, yakni ranah ijtihad yang fleksibel dan meniscayakan keragaman pendapat. Inilah yang hendak dihidupkan lagi oleh Kiai Sahal melalui fikih sosialnya.
Walhasil, penolakan Kiai Sahal atas formalisasi syariah kiranya sejalan dengan fikih sosialnya. Karena baginya, dengan memahami syariah sebagai fikih dan bukan sebagai hukum positif, kita sejatinya memulihkan kembali karakter hukum Islam yang sesugguhnya, yakni yang lentur, kontekstual, dan berporos pada keadilan sosial. Bagi Kiai Sahal, inilah bentuk sejati penerapan syariah.
Akhmad Sahal, pengurus cabang istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika. Akun twitter: @sahal_AS
*Tulisan ini dimuat di Majalah TEMPO, ediisi 24/2/2014

JADWAL TEMPAT ZIARAH WALI SONGO Pon. Pes. “MA’HADUT THOLABAH” Th. 2014 M

March 31, 2014 Add Comment
JADWAL TEMPAT ZIARAH WALI SONGO Pon. Pes. “MA’HADUT THOLABAH” Th. 2014 M



                                                               

Nama Wali
Tempat
KH. Ahmad Thoha Romlan
Kandangan
KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU)
Tebuireng Jombang
KH. Abdurahman Wahid (Presiden ke-4)
Tebuireng Jombang
Syekh Jumadil Qubro (Walisongo Generasi ke-1)
Troloyo Trowulan Mojokerto
Syekh Bungkul
Jl. Darmo Surabaya Kota
Syekh Raden Rahmad (Sunan Ampel)
Ampel Denta Surabaya
Syekh Maulana Malik Ibrahim
Gresik
Syekh Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Lereng Gunung Giri Gresik
Syekh Raden Qosim (Sunan Drajad)
Sedayu Lamongan
Syekh Asmoro Qondi (Raden Asmoro)
Tuban
Syekh Makdum Ibrahim (Sonan Bonang)
Tuban
Syekh Raden Umar Sa’id (Sunan Muria)
Lereng Gunung Muria
Syekh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)
Menara Kudus, Kudus
Syekh Raden Sa’id (Sunan Kalijaga)
Kadilangu Demak
Masjid Agung Demak
Demak
Syekh Raden Fatah ( Raja Islam Pertama Di Jawa)
Demak Bintoro
Syekh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati)
Cirebon Jawa Barat
Sultan Hasanuddin (Pahlawan Nasional)
Banten Jawa Barat
Syekh Maulana Yusuf
Pandeglang Serang Jawa Barat
Masjid Istiqlal
Jakarta
Wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Jakarta
Syekh Panjalu (Wisata Keliling Danau)
Tasikmalaya Jawa Barat
Syekh Haji Abdul Muhyi
Pamijahan Tasikmalaya
Goa Saparwadi
Bantarkalong Pamijahan
Syekh Dalhar
Gunung Pring Muntilan Jateng
Syekh Pandanaran (Sunan Bayat)
Bayat Klaten Jateng
Malioboro/Pasar Klewer
Yogyakarta/Solo Jateng

NB :
  1. Berangkat Tanggal 20 Juni 2014
  2. Kontribusi Rp.340.000
  3. Bus full AC + Video
  4. Dana harus lunas sebelum berangkat dan dapat diangsur
  5. Jam 15.00 wib peserta harus sudah berkumpul dihalaman PPMT Kebondalem, Kandangan
  6. Jadwal bisa berubah tergantung situasi dan kondisi

KH Idham Cholid (NU) dan Buya Hamka ( MUHAMMADIYAH)

March 31, 2014 Add Comment
KH Idham Cholid (NU) dan Buya Hamka ( MUHAMMADIYAH)

Foto: KH Idham Cholid (NU) dan Buya Hamka ( MUHAMMADIYAH)

kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci. 

Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.

Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.

KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya.

 Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.

Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.

Namun, sayangnya banyak dari orang-orang yang mengaku menjadi pengikut pemimpin mereka malah tidak bisa mencontoh sifat kebesaran jiwa yang ditunjukan para pemimpinnya. 

Banyak diantara mereka saling meributkan, menyibukan diri dengan mencari-cari perbedaan, dan menyalahkan satu sama lain yang berbeda pendapat dan tidak jarang saling mengejek dan menghina bahkan sampai menyesatkan sesama muslim yang berseberangan dengannya.

 Mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukannya hanya memecah belah umat dan sungguh ini adalah perbuatan yang lebih hina di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Ini adalah fakta dan memang benar adanya. Contoh yang paling nyata adalah menjamurnya tulisan-tulisan di berbagai media khususnya media online seperti blog atau website yang memaparkan pendapat-pendapat yang dianggap paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain sesama muslim yang berbeda pendapat dengannya. 

Apa yang mereka utarakan sebenarnya hanyalah foto copy alias copy paste dan taqlid dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah mufti tertinggi. 

Tidak seperti para Imam Ahlus Sunnah yang sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah khususnya dalam keragaman amal syariat.

Kenyataan ini memang sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka para imam Ahlus Sunah, tetapi tidak mampu meneladani akhlak para imamnya. 

Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap sebagian orang tersebut, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka yang mencela dan mensesat-sesatkan bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa. 

Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja. 

Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani. Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’ 

Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.

sumber : https://www.facebook.com/gusdurhumor?fref=ts

"SILAHKAN SHARE"

Kisah yang patut kita teladani sebagai umat Islam dalam menjaga ukhuwah. Kisah yang terjadi antara pemimpin Nahdlatul Ulama, KH Idham Cholid, dan pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang ketika itu sedang melakukkan perjalanan ke tanah suci.

Saat sedang dalam perjalanan menuju tanah suci di dalam sebuah kapal laut, waktu melakukan sholat subuh berjamaah, para pengikut Nadhlatul Ulama heran saat KH Idham Cholid yang mempunyai kebiasaan menggunakan doa qunut dalam kesehariannya, malah tidak memakai doa qunut tatkala Buya hamka dan sebagian pengikut Muhammadiyah menjadi makmumnya.

Demikian pula sebaliknya, tatkala Buya Hamka mengimami shalat subuh, para pengikut Muhammadiyah merasa heran ketika Buya Hamka membaca doa qunut karena KH Idham Cholid dan sebagian pengikut NU menjadi makmumnya.

KH Idham Cholid adalah tokoh pemimpin NU yang mempunyai kebiasaan membaca doa qunut dalam shalat shubuh. Namun, saat ditunjuk menjadi imam shalat subuh, beliau tidak membacanya demi menghormati sahabatnya Buya Hamka dan para pengikutnya.

Padahal, dalam tradisi NU membaca doa qunut dalam shalat subuh adalah sunah muakkad. Sungguh ini adalah tindakan yang begitu arif dan bijak. Begitu pun sifat kearifan ditunjukan oleh pemimpin Muhammadiyah, Buya Hamka, yang kesehariannya tidak membaca doa qunut justru membaca doa qunut saat mengimami shalat subuh dengan alasan yang sama. Mereka malah berpelukan mesra setelah shalat, saling menghormati, dan saling berkasih sayang.

Inilah para pemimpin yang sebenarnya yang begitu dalam dan luas keilmuan dan wawasannya. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tetapi tetap bersatu dalam persaudaraan. Mereka lebih mengedapankan ukhuwah Islamiyyah ketimbang masalah khilafiah yang tidak akan ada ujungnya. Mereka tidak mengenal istilah saling mencela, mengejek, atau saling menuduh sesama muslim yang berbeda pandangan yang justru akan menimbulkan suatu fitnah.

Namun, sayangnya banyak dari orang-orang yang mengaku menjadi pengikut pemimpin mereka malah tidak bisa mencontoh sifat kebesaran jiwa yang ditunjukan para pemimpinnya.

Banyak diantara mereka saling meributkan, menyibukan diri dengan mencari-cari perbedaan, dan menyalahkan satu sama lain yang berbeda pendapat dan tidak jarang saling mengejek dan menghina bahkan sampai menyesatkan sesama muslim yang berseberangan dengannya.

Mereka tidak sadar bahwa tindakan yang dilakukannya hanya memecah belah umat dan sungguh ini adalah perbuatan yang lebih hina di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Ini adalah fakta dan memang benar adanya. Contoh yang paling nyata adalah menjamurnya tulisan-tulisan di berbagai media khususnya media online seperti blog atau website yang memaparkan pendapat-pendapat yang dianggap paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain sesama muslim yang berbeda pendapat dengannya.

Apa yang mereka utarakan sebenarnya hanyalah foto copy alias copy paste dan taqlid dari orang lain, bukan lahir dari keluasan ilmu, kefaqihan dan kealiman, apalagi dari kerendahan hatinya. Tapi sayangnya, sikap dan perilaku mereka, seolah mufti tertinggi.

Tidak seperti para Imam Ahlus Sunnah yang sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah khususnya dalam keragaman amal syariat.

Kenyataan ini memang sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka para imam Ahlus Sunah, tetapi tidak mampu meneladani akhlak para imamnya.

Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap sebagian orang tersebut, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka yang mencela dan mensesat-sesatkan bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi sayangnya berperilaku seakan ulama besar dan ahli fatwa.

Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja.

Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani. Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’

Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.

Pembelaan Gus Dur Atas Fitnah yang Menimpa Habaib

March 31, 2014 Add Comment
Pembelaan Gus Dur Atas Fitnah yang Menimpa Habaib


Tatkala pernyataan ketua umum MUI KH. Hasan Basri yang dimuat di surat kabar harian terbit tahun 1993 bahwa: “Tidak ada anak keturunan Rasulullah di Indonesia bahkan di dunia karna sudah dinyatakan terputus dikarenakan tidak adanya lagi keturunan Hasan dan Husein.”

Terang saja pernyataan ini membuat para ulama khususnya para habaib tidak menerimanya. Al-Habib Muhamnad al-Habsyi Kwitang, yang pada waktu itu dalam keadaan sakit, meminta kepada al-Habib Nauval bin Jindan untuk tampil membela kehormatan anak cucunya Rasulullah Saw. Dan peristiwa tersebut boleh dikatakan petistiwa terdahsyat atas fitnah yang ditujukan kepada para habaib, sampai memakan waktu lebih dari dua tahun peristiwa tersebut masih hangat diperbincangkan. Sampai-sampai sebuah majalah mengeluarkan berita di sampul utamanya dengan judul “APA JASAMU HAI PARA HABIB”.

Al-Habib Nauval dari satu mimbar ke mimbar lainnya menyeru kepada para ulama: “Hai kalian para ulama, bangkit kalian jangan mau diperalat oleh siapapun. Kami para habaib tidak butuh pengakuan. Tapi kalau kalian hanya diam atas fitnahan terhadap kami, sesungguhnya kalianlah yang paling rugi serugi-ruginya.”

Sedangkan Gus Dur, yang menyempatkan hadir di Pondok Pesantren al-Fachriyah di Cileduk sekitar tahun 1994, diantara pidato yang disampaikan adalah: “Hanya orang bodoh yang mengatakan batu permata dibilang batu koral. Dan yang paling bodoh batu permata kok dihargakan batu kerikil. Mereka para cucunya Rasulullah Saw. datang ke negeri ini merupakan karunia Tuhan yang terbesar. Dan hanya orang-orang yang kufur nikmat kalau tidak mau mensyukurinya.”

Kedatangan beliau memberi dukungan kepada al-Habib Nauval bin Salim bin Jindan yang sedang menentang pimpinan MUI waktu itu, yakni KH. Hasan Basri, yang tidak mengakui adanya keturunan Nabi Saw. Peristiwa tersebut merupakan hal yang sulit dilupakan.

Recent Post