Kitab-kitab Qaidah Fiqhiyah Madzhab Syafi'i

January 05, 2015 Add Comment

1. Al Furuq
            Pengarang kitab ini ialah Muhammad Adillah bin Yusuf bin Abdillah al Juwaini (w. 438 H)yang merupakan penulis pertama kitab kaidah fiqh madzhab Syafi’i. Kitab ini secara khusus membahas masalah-masalah furuqiyyah (perbedaan-perbedaab istilah fiqh) beliau mengkaji ilmu furuq pada permulaan kitabnya, disertai dengan perbedaan prinsip di antara beragam masalah yang memiliki keserupaan, lalu diteruskan dengan kajian seputar perbedaan masalah-masalah ushuliyah, baru kemudian masuk pada pokok bahasan yakni masalah furuqiyyah.

2. Al Furuq
            Pengarang kitab ini ialah Abu al Abbas Ahmad bin Muhammad al Jurjani (w. 482 H). Beliau juga mengulas masalah-masalah furuqiyyah mazhab Syafi’i dalam kitab dengan mengikuti model penulisan sesuai urutan bab Fiqh, disamping penyisipan beberapa catatan penting dalam setiap kajiannya.

3. Al-qawa’id fi furu’ al-syafi’iyyah
            Pengarang kitab ini adalah Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim al-Jajurmi  (w. 613 H). Kitab ini mendapat sambutan hangat dari para ulama’ dan pelajar, terutama pada masa hidup sang pengarang.kitab ini masih berupa manuskrip dan belum dicetak.

4. Takhrij al-furu’ ala al-ushul
        Penulis kitab ini adalah Abu al-Manaqib Syihabuddin Mahmud al-Zanzani (w. 656 H). Model penulisan kaidah dalam kitab ini selalu di awali dengan penyebutan satu kaidah disertai dengan metedologi istinbath (ushul fiqih) dari dua pendiri madzhab, yakni Syafi’i dan Hanafi, kemudian menyebutkan sebagai furu’ fiqhiyyah yang termasuk cakupan kaidah bersangkutan.

5. Qawaid al-ahkam fi mashalih al-anam
            Ditulis oleh Izzuddin bin Abd as-Salam (w. 660 h), seorang ahli ushul fiqih, ushul, gramatika arab, dan tafsir madzhab Syafi’i. Dalam kitab ini, beliau marangkum semua permasalahan fiqhiyyah hanya dalam satu ‘patron’ dasar, yakni i’tibar al-mashalih wadar’ al-mafasid. Kitab ini memang sengaja ditulis oleh beliau untuk mengulas tujuan utama syariat yang menurut bliau hanya tertuang dalam satu asas,yakni mengcapai cita kemaslahatan umat dengan prinsif dasar tahshil al-mashalil dan dar’ al-mafasid atau yang biasa disebut dengan jalb mashalil wa dar’ al-mafasid (menggapai kemaslahatan dan menolak kerusakan).

6. Al Asybah wa al Nadhair
Ditulis oleh Shadruddin Muhammad bin Umar atau dipanggil Ibnu Wakil (wafat 716 H). Kitab ini merupakan kitab kaidah pertama yang diberi nama al-Asybah wa al-Nazha’ir dan mengkaji kaidah-kaidah fiqh yang digali langsung dari beragam persoalanfiqhiyyah yang memiliki kesamaan karakter dan hukum.

7. Al Fawaid Al jassam Ala Qawaid ibnu abd Al Salam
Umar bin Ruslan Al Bulqini (Wafat 805 H) adalah penulis kitab ini. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Al Qawaid Al Ahkam karya Izzuddin bin abd Al Salam.syarah ini termasuk kritis sekaligus sistematis dalam mengupas Qawa’id al-Ahkam. Beliau biasanya memulai setiap persoalan dengan terlebih dahulu menulis naskah asli Izzuddin. Kemudian diteruskan dengan tanggapan seputar tulisan itu, tanggapan bisa dimaksud berbentuk penjelasan, catatan, koreksi, bahkan kritik atas pendapat Izzuddin.

8. Al Majmu’ Al Mudzahhab fi Qawaid Al Madzhab dan Al Ashibah wa Al Nadhair fi Furu’ Al Fiqh As Syafi’i.
Dua kitab ini ditulis oleh Salahuddin Kholil bin Kay Kaylili Ala’i (wafat 761 H). Beliau memberi banyak tambahan atau catatan atas Al Asyibah karya Ibnu Wakil, serta menyusunnya dengan sangat sistematis, khusus untuk kaidah-kaidah yang terkandung dalam kitab Al Majmu’ Al Mudzahhab oleh beliau dipilih dalam media tiga medium pokok: yakni lima kaidah dasar, kaidah-kaidah ushul, dan kaidah-kaidah fiqh.

9.al-Asybah wa al- Nadho’ir
Penulisnya adalah Tajuddin abdul Wahab bin Ali bin Abdul Al Kafi Al Subuki (wafat 771 H). Kitab ini dimaksudkan untuk memodifikasi isi kitab Asyibah wan Nadhoir karya ibnu Wakil. Beliau memilah kitab ini kedalam bab-bab berikut, pertama bab kaidah dasar, kedua bab kaidah-kaidah yang mengandung furu’ dalam berbagai bab fiqh, ketiga bab kaidah-kaidah yang hanya masukl dalam bab fiqh, keempat kajian masalah-masalah kalamiah yang memunculkan furu’-furu’ fiqhiyyah, kelima pembahasan tentang pesoalan-persoalan ushuliyyah yang memuat furu’-furu’ fiqhiyyah, keenam, bab seputar istilah-istilah arab atau kaidah-kaidah nahwuyang mempunyai persamaan prinsip dengn kaidah-kaidah fiqhiyyah, ketujuh, bab mengenai sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat dikalangan fuqaha’ beserta landasan dalil masing-masing pendapat dan contoh-contoh konkritnya, kedelapan, pembahasan berbagai prinsip-prinsip fiqhiyyah yang sangat terperinci dan nyaris lengkap, seperti kajian lengkap hakikat dzimmah, dhobith, tentang khulu’ atau kajian seputar Al ghaz.bagian terakhir ini dibagi dalam berbagai kaidah, faidah, dlobith, maupun fasal.

10. Nuz-hat al-nawazhir fi riyadl al-nazhar-ir dan mathali’ al-daqa’iq fi tahrir al-jawami’wa al-fawariq
Dua kitab ini ditulis oleh jamaluddin abdurrahim bin al-hasan al-isnawi (w 772 h).kitab yang pertama bagian awalnya memuat beragam masalah nazha’ir,dan pada bagian akhirnya mengulas persoalan fiqh di tinjau dari aspek perbedaan dan persamaaanya,metode ini merupakan pendekatan baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Dan kitab yang kedua, beliau berupaya menjelaskan setiap dua persoalan fiqhiyyah dan dua aspek sekaligus, aspek persamaan (jami’) dan titik perbedaan (fari’), dengan menerangkan latar belakang masalah, kemudian titik temunya, serta perbedaan-perbedaan prinsipil keduanya. Kitab ini disusun oleh beliau sesuai urutan bab-bab fiqh, ditambah catatan penting soal fiqhiyyah.

11. Al-mantsur fi al-qawa’id
Ditulis oleh badruddin muhammad al-zarkasyi (w. 794. H), gaya penulisan kaidah dalam kitab ini sesuai urutan huruf hijaiyyah. Didalamnya termuat beragam kaidah fiqh, illat hukum, dlabith,hingga detil-detil persoalan fiqhiyyah dengan belbagai altikulasi yang sangat luas dan dengan tulisan yang sisitematis.

12. Al-qawaid
Syarif al-din isa al-ghazi (w. 799 H) adalah pengarang kitab ini.didalamnya memuat banyak kaidah-kaidah fiqh dengan pengecualian-pengecualiannya, serta tambahan kajian tentang alghaz milik al-asnawi yang dilengkapi oleh al-ghazi.

13. Al-Asybah wa al-Nazha’ir
            Kitab yang ditulis oleh Umar bin Ali atau yang biasa disebut Ibn Mulaqqan (w. 804 H)ini penulisannya disesuaikan dengan urutan bab fiqh.penulisan kitab ini merupakan modifikasi atas al-Asybah karya Ibn Wakil dan al-Mudzahab karya al-Ala’i.

14. Al-asybah wa al-Nazhair fi al-furu’
              Kitab ini ditulis oleh Jalaludin Abd al-Rahman bin Abi Bakar bin Muhammad al-Suyuti (w 911 H). Dalam kitab ini beliau merangkai beragam kaidah, dlabith, nazhair, hingga detail-detail masalah lainnya dengan klasifikasi yang sangat sistematis dan mudah di cerna. Konsep penulisan versi as-Suyuti kedalam tiga kelompok besar, yakni kaidah-kaidah  yang mempunyai medium yang cukup menyeluruh(al-qawa’id al-kubro),kaidah-kaidah yang mengandung jangkauan furu’ mayoritas(al-qawa’id al-aghlabiyyah), kaidah–kaidah yang masih diperselisihkan(al-qawa’id al-mukhtalaf fiha). Membuat kitab ini menjadi salah satu kitab istimewa dengan sitematika penulisan terbaik dizamannya.

15. Al-fara’id al-bahiyyah
             Ditulis oleh abu bakar binabi al-qasim al-ahdal al-yamani (w. 1035 H).kitab ini merupakan bait-bait nazham ringkasan dari al-Asybah wa al-Nazha’ir karya al-Suyuthi.

16. Al-i’tinak fi al-farq wa al-istitsna’
   Ditulis oleh Badr al-Din Muhammad bin Abi Bakar bin Sulayman al-Bakri. Mengandung 600 kaidah dan disusun sesuai urutan bab fiqh. Kitab ini selesai di tulis pada tahun 1062 H.

17. Syarh al-qawa’id al-khams
            Pengarangnya adalah Abdullah bin Ali Swaydan ( w. 1234 H), kitab ini pada mulanya membahas lima kaidah kubra, namum pada bagian akhirnya  beliau juga menyinggung beberapa kaidah fiqh lainnya selain kaidah kubra.

18. Al-mawahib al-saniyyah
             Ditulis oleh Abdullah bin Sulayman al-Jarhazi (w. 1201 H).kitab ini bertujuan untuk menjelaskan kata-kata sulit yang dijumpai dalam al-Fara’idl al-Bahiyyah. Sistematika penulisannya yakni terdiri dari tiga bagian; (1) lima kaidah yang memuat cakupan kaidah yang universal, (2) kaidah yang memuat cakupan furu’ cukup banyak namun tak sebanyak cakupan yang pertama, (3) kaidah-kaidah yang masih diperdebatkan.

19. Idlah al-qawa’id al-fiqhiyyah
            Penulisnya adalah Abdullah bin Sa’id Muhammad (w. 1410 H). Kitab ini merupakan ringkasan dari al-mawahib al-saniyyah karya Abdullah bin Sulayman al-Jarhazi, dan sitematika penulisannya mengikuti metode al-asybah wa al-nazha’ir karya al-Suyuti. Secara umum kitab ini dipilah kedalam tiga bagian, yang pertama adalah muqadimmah yang berisi uraian tantang latar belakang sejarah,sistematika,metodologi, manfa’at, dan fungsi mempelajari kaidah fiqh, yang kedua berisi uraian lima kaidah kubra, yang ketiga menguas kaidah aghlabiyyah, dan yang keempat membahas kaidah yang formulasinya masih diperdebatkan oleh para fuqoha’.pada bagian akhir kitab ini mengulas beberapa persoalan penting tentang hukum-hukum furu’iyyah.

20. Al-fawa’id al-janiyyah
             Ditulis oleh abu al-fayd Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, merupakan ulama’ keturunan Padang. Dalam kitabnya beliu mengulas kitab al-mawahib al-saniyyahkarya Abddullah bin Sulayman al-Jarhazi. Beliau menelaahnya secara panjang dan lebar. Kitab sudah terkenal di pesanren-pesantren seluruh Indonesia yang memang cukup kritis dan komprehensip dalam mengulas isi kitab al-mawahib, baik dari sisi bahasa,contoh,uraian,pengembangan-pengembangan masalah, hingga profil-profil fuqaha dalam setiap bagian.

Mengapa Islam Diseru dari Makkah?

October 03, 2014 Add Comment
Mengapa Islam Diseru dari Makkah?

Kalau Anda ingin menyampaikan pesan ke seluruh penjuru, sebaiknya Anda berdiri di tengah, di jalur yang memudahkan pesan itu tersebar. Hindari tempat di mana ada kekuatan yang dapat menghalangi atau merasa dirugikan. Kemudian pilih penyampai pesan yang simpatik, berwibawa, dan berkemampuan sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Timur Tengah adalah jalur penghubung timur dan Barat, maka wajarlah jika ia menjadi tempat menyampaikan pesan Ilahi yang terakhir.

Pada masa Nabi Muhammad saw., yaitu abad ke-5 dan ke-6 Masehi, terdapat dua adikuasa.PertamaPersia yang menyembah api dan ajaran Mazdak mengenai kebebasan seks yang masih berbekas pada masyarakatnya sehingga permaisuri pun harus milik bersama.Kedua, Romawi yang Nasrani yang juga masih dipengaruhi oleh budaya Kaisar Nero yang memperkosa ibunya sendiri dan membakar habis kotanya.

Kedua adikuasa ini bersitegang memperebutkan wilayah Hijaz di Timur Tengah yang ketika itu belum terkuasai, walau upaya telah dilakukan secara halus oleh Utsman bin Huwairits (seorang antek Romawi), dan dengan kekerasan oleh Abrahah bersama pasukan bergajahnya. Dalih seorang Abrahah adalah penghinaan terhadap rumah ibadah yang dibangunnya di Yaman, sedang tujuannya adalah menguasai jalur Hijaz, dari Yaman menuju ke Syam, tapi tangan Tuhan menggagalkannya.

Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika tauhid dikumandangkan di daerah kekuasaan Romawi atau Persia yang keyakinannya bertentangan dengan tauhid. Di Hijaz ketika itu belum terpusat kekuasaan, dan kelompok-kelompok suku saling bermusuhan dan berebut pengaruh.

Makkah (pusat Hijaz) adalah tempat para pedagang dan seniman datang memamerkan dagangan serta karyanya. Di sinilah bertemu kafilah Selatan dan Utara, Timur dan Barat. Penduduk Makkah juga melakukan “perjalanan musim dingin dan musim panas” ke daerah Romawi dan Persia. Ini akan memudahkan penyebaran pesan.

Satu faktor lagi yang mendukung Makkah adalah bahwa masyarakat Makkah belum banyak disentuh peradaban. Pada saat itu masyarakat Makkah belum mengenal nifaq (bermuka dua), dan mereka pun keras kepala, serta lidah (ungkapan) mereka tajam (QS 33: 19). Penduduk Makkah juga dikenal sangat kuat pendiriannya meskipun ditekan. Bilal, Ammar bin Yasir, dan banyak contoh lainnya tidak rela mengucapkan kalimat kufur meskipun agama memberikan peluang “berpura-pura” selama hati tetap dalam keadaan beriman (baca QS 16: 106). Memang, kemunafikan baru dikenal di Madinah. Entah bagaimana kesudahan agama Islam jika sejak dini sudah ada pemeluknya yang munafik.

Quraisy, suku yang paling berpengaruh, tinggal di Makkah. Bahasa dan dialeknya sangat indah dan dominan. Suku Quraisy memiliki dua keluarga besar, yaitu Hasyim dan Umayyah. Kedua keluarga besar ini walaupun dari satu turunan namun memiliki banyak perbedaan, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam.

Keluarga Hasyim terkenal gagah, budiman dan sangat beragamaSementara itu keluarga Umayyah adalah politikus yang pandai melakukan tipu daya, pekerja yang ambisius, dan tidak gagah. Hal ini disepakati oleh para sejarahwan, dan tidak ditolak oleh Umayyah meskipun setelah mereka berkuasa,” tulis Al-Aqqad dalam Mathla’ Al-Nur.

Nah, dari keluarga siapakah di Makkah ini yang wajar dipilih untuk tugas kenabian? Tentu saja keluarga Hasyim. Dari keluarga ini terpilih Nabi Muhammad, yang bukan saja karena gagah, simpatik, dan berwibawa, tapi juga karena “budi pekertinya yang luhur”. Inilah alasan pengangkatan yang tercantum pada wahyu ketiga yang memerintahkan menyampaikan pesan Ilahi (baca QS 68: 4).

Dari uraian di atas, jelas bahwa bukan karena masyarakat Makkah yang paling bejat sehingga Allah mengutus Nabi-Nya dari sana. Pemikiran ini terlalu dangkal, karena masih banyak faktor yang lebih “Ilmiah” dan lebih beradab. Namun, berhasilkah tulisan sederhana ini menjelaskan dan meyakinkan pembaca?


Lapland, Sebuah Daerah Tanpa Malam di Finlandia

July 20, 2014 Add Comment
Lapland, Sebuah Daerah Tanpa Malam di Finlandia
Matahari pasti munculnya di pagi hari. Terbit di ufuk timur, menerangi hari hingga saat terbenamnya jelang malam tiba. Namun di Lapland, Anda bisa melihat matahari saat tengah malam lho!

Lapland adalah sebuah provinsi di Finlandia yang memiliki luas wilayah 98.946 km² dan populasi 187.777 jiwa (2002). Ibu kotanya ialah Rovaniemi. Provinsi ini memiliki fenomena unik yang indah dipandang, yaitu matahari di tengah malam.

Karena lokasinya yang berada di lingkar kutub, selama dua puluh empat jam dalam dua bulan setiap tahun provinsi ini disinari matahari sepanjang hari tanpa henti. Fenomena ini disebut midnight sun atau matahari tengah malam.

Fenomena ini terjadi setiap bulan Juni dan Juli. Wisatawan yang mengunjungi Lapland dapat melihat cahaya unik dari matahari tengah malam, yang tidak memberi batas antara siang dan malam di sini, demikian seperti dikutip dari CNN, Selasa (25/12/2012). Hal ini memungkinkan pelancong untuk mendaki gunung Lapland di malam hari atau bahkan melakukan olahraga golf selama 24 jam.

Salah satu tempat favorit wisatawan untuk wisata golf di Lapland adalah Bjorkliden GC, lapangan golf yang terletak paling utara provinsi ini. Letaknya berbatasan dengan pegunungan perbatasan Swedia dan Finlandia serta Danau Tornestrask.

Selain golf tengah malam, aktivitas wisata lainnya yang digemari di Lapland adalah bermain ski di Riskgransen, yang merupakan resor ski paling utara di Eropa. Tidak seperti resor ski lainnya di Eropa, Riksgransen tidak memiliki temperatur dingin, sehingga para pencinta ski tidak perlu takut kedinginan.

Hal ini dikarenakan fenomena matahari tengah malam tadi, yang membuat matahari tetap bersinar sehingga membuat wilayah ini tetap hangat sekaligus masih memiliki salju untuk para pemain ski berseluncur.

Lapland juga merupakan rumah bagi hotel es pertama dan terbesar di dunia. di hotel ini, para tamu akan tidur diantara bongkahan es yang dilapisi seprai berbahan kulit rusa. Mulai dari lilin hingga kursi dan meja, semua yang ada di hotel ini terbuat dari es.

Hotel ini dibangun pada 1989, di desa kecil Jukkasjarvi. hotel ini dibangun oleh para pemahat es lokal yang berasal dari hotel ini. Biasanya Hotel Es ini hanya dibuka pada musim dingin saja. Spesial untuk tahun ini, Hotel Es terbuka juga di musim panas. Seperti biasa, air untuk membuat balok es ini berasal dari Sungai Torne, yang tidak jauh dari hotel.

Rumus Untuk Mengetahui Malam Lailatul Qodar Menurut Sebagian Ulama

July 15, 2014 Add Comment
Rumus Untuk Mengetahui Malam Lailatul Qodar Menurut Sebagian Ulama
 
 
Menurut Imam Al Ghazali. Dikatakan oleh Imam al Ghazali dan yang lainnya , bahwa Lailatul Qadar diketahui dari hari pertama puasa Ramadhan.

HARI PERTAMA RAMADHAN = Senin, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 21
...
HARI PERTAMA RAMADHAN = Selasa, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 27

HARI PERTAMA RAMADHAN = Rabu, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 29

HARI PERTAMA RAMADHAN = Kamis, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 25

HARI PERTAMA RAMADHAN = Jum'at, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 27

HARI PERTAMA RAMADHAN = Sabtu, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 23

HARI PERTAMA RAMADHAN = Ahad, maka LAILATUL QODAR jatuh pada malam ke 29

Rumus ini teruji dari kebiasaan para tokoh ulama’ yang telah menemui Lailatul Qadar.

Tercantum di kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah. Diantaranya :

- di dalam kitab I’anah at-Thalibin II/257,

- dan Syeikh Ibrohim al Bajuri dalam Kitabnya "HASYIYAH 'ALA IBN QOOSIM AL GHOZI" juz I halaman 304,

- juga as Sayyid al Bakri dalam Kitabnya "I'AANATUTH THOOLIBIIN" Juz II halaman 257-258, 

Tidak ada kepastian mengenai kapan datangnya Lailatul Qadar, suatu malam yang dikisahkan dalam Al-Qur’an "lebih baik dari seribu bulan". Ada Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, meyebutkan bahwa Nabi pernah ditanya tentang Lailatul Qadar. Beliau menjawab: “Lailatul Qadar ada pada setiap bulan Ramadhan." (HR. Abu Dawud).
Namun menurut hadits lainnya yang diriwayatkan Aisyah rah., Nabi Muhammad saw. memerintahkan:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul Qadar itu pada tanggal ganjil dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)
Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadal itu terjadi pada 17 Ramadhan, 21 Ramadhan, 24 Ramadhan, tanggal ganjil pada 10 akhir Ramadhan dan lain-lain.
Diantara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul Qadar adalah untuk memotivasi umat agar terus beribadah, mencari rahmat dan ridha Allah kapan saja dan dimana saja, tanpa harus terpaku pada satu hari saja.
Jika malam Lailatul Qadar ini diberitahukan tanggal kepastiannya, maka orang akan beribadah sebanyak-banyaknya hanya pada tanggal tersebut dan tidak giat lagi beribadah ketika tanggal tersebut sudah lewat.
Umat Islam hanya ditunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Di antara tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar adalah:
1. Pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sangat sejuk, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim.
2. Pada malam harinya langit nampak bersih, tidak nampak awan sedikit pun, suasana tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad.
Dalam kitab Mu'jam at- Thabari al-Kabir disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Malam Lailatul Qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas."
Amalan-amalan untuk Mendapatkan Lailatul Qadar
Para ulama kita mengajarkan, agar mendapatkan keutamaan Lailatul Qadar, maka hendaknya kita memperbanyak ibadah selama bulan Ramadhan, diantaranya:
1. Senantiasa shalat fardhu lima waktu berjama'ah.
2. Mendirikan shalat malam atau qiyamul lail (shalat tarawih, tahajud, dll)
3. Membaca Al-Qur'an sebanyak-banyaknya dengan tartil.
4. Memperbanyak dzikir, istighfar dan berdoa.
5. Memperbanyak membaca do’a:
اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنَّا
Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Dzat Maha Pengampun lagi Maha Pemurah, senang pada ampunan, maka ampunilah kami, wahai Dzat yang Maha Pemurah.

Nuzulul Qur'an Menurut Berbagai Madzhab

July 14, 2014 Add Comment
Nuzulul Qur'an Menurut Berbagai Madzhab

Nuzulul Qur'an (turunnya Al-Qur'an) adalah hal yang sangat istimewa bagi umat Islam. Sebagaimana Al-Qur'an merupakan rahmat agung bagi umat ini, nuzulul Qur'an juga merupakan rahmat besar bagi umat ini. 

Mayoritas umat Islam di Indonesia berpendapat nuzulul Qur'an jatuh pada tanggal 17 Ramadhan. Bahkan banyak pula yang mengadakan acara khusus untuk memperingati nuzulul Qur'an setiap tahunnya. 

Di dalam Al-Qur'an, nuzulul Qur'an difirmankan Allah SWT dalam tiga ayat berikut ini: 


شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ 

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah:185) 

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ 

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan : 4) 

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ 

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan (lailatul qadar)(QS. Al-Qadr : 1) 

Sebagaimana QS. Al-Baqarah ayat 185 di atas, sebagian ayat Al-Qur'an bersifat menjadi bayan (penjelas) bagi sebagian ayat yang lain. Tidak ada pertentangan antar ayat Al-Qur'an. 

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا 

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisa' : 82) 

Demikian juga tiga ayat (QS. Al-Baqarah : 185, QS. Ad-Dukhan : 4, dan QS. Al-Qadr : 1) yang menjelaskan nuzulul Qur'an di atas. Ketiganya tidak bertentangan. Namun, dzahir ayat bertentangan dengan realitas sejarah, dimana Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah SAW selama 23 tahun. Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua madzhab pokok, dan dua madzhab lain sebagai berikut: 

Madzhab Pertama tentang Nuzulul Qur'an 
Madzhab pertama ini merupakan pendapat dari Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, yang kemudian menjadi pendapat jumhur ulama'. Bahwa yang dimaksud nuzulul Qur'an dalam 3 ayat tersebut adalah turunnya Al-Qur'an sekaligus ke Baitul Izzah di langit dunia. Ini untuk menunjukkan kepada malaikat-Nya betapa besar masalah ini. Kemudian Al-Qur'an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun. 10 tahun ketika periode Makkiyah, dan 13 tahun dalam periode Madaniyah. 

Dalil yang dipakai untuk memperkuat madzhab ini adalah: 
1. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Al-Qur'an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul qadar. Kemudian ia diturunkan selama dua puluh tahun" (HR. Hakim, Baihaqi, dan Nasai). Kemudian Ibnu Abbas membaca firman-Nya: 

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya (QS. Al-Furqan : 33) 

وَقُرْآَنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا 

Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al-Isra' : 106) 

2. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Al-Qur'an itu dipisahkan dari Adz-Dzkir, lalu diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia, maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi SAW" (HR. Hakim) 

3. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Allah menurunkan Al-Qur'an sekaligus ke langit dunia, pusat turunnya Al-Qur'an secara bertahap. Lalu, Allah menurunkannya kepada Rasul-Nya bagian demi bagian" (HR. Hakim dan Baihaqi) 

4. Perkataan Ibnu Abbas: 
"Al-Qur'an diturunkan pada lailatul qadar pada bulan Ramadhan ke langit dunia sekaligus, lalu ia diturunkan secara berangsur-angsur" (HR. Thabrani) 

Madzhab Kedua tentang Nuzulul Qur'an 
Madzhab kedua tentang nuzulul Qur'an yaitu yang diriwayatkan oleh Amr bin Syarahil Asy-Sya'bi, (seorang tabi'in besar, ahli hadits dan fikih, guru Imam Abu Hanifah, yang wafat tahun 109 H) bahwa yang dimaksud dengan nuzulul Qur'an dalam tiga ayat di atas adalah permulaan turunnya Al-Qur'an itu dimulai pada lailatul qadar di bulan Ramadhan. Lalu turun secara bertahap selama 23 tahun. 

Dengan demikian, hanya ada satu macam cara turun menurut madzhab ini, yaitu secara bertahap kepada Rasulullah sebagaimana dinyatakan dalam ayat : 

وَقُرْآَنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا 

Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al-Isra' : 106) 

Orang musyrik yang diberitahu bahwa kitab samawi terdahulu turun sekaligus, menginginkan al-qur'an juga turun sekaligus. 

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآَنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا * وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. Al-Furqan : 32-33) 

Menurut Syaikh Manna Al-Qaththan, madzhab kedua yang diriwayatkan Asy-Sya'bi, dengan dalil shahih dan dapat diterima ini, tidak bertentangan dengan madzhab pertama. Selanjutnya Syaikh Manna Al-Qaththan mengatakan pendapat yang kuat adalah Al-Qur'an diturunkan dua kali : pertama, diturunkan sekaligus ke Baitul Izzah pada lailatul Qadar, dan kedua, diturunkan dari langit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia pernah ditanya oleh Athiyah bin Aswad: "Dalam hatiku ada keraguan tentang firman Allah 'bulan Ramadhan itu bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an', dan firman Allah 'kami menurunkannya pada lailatul qadar'. Padahal Al-Qur'an itu ada yang diturunkan pada bulan Syawal, dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharam, Shafar, dan Rabiul Awal". Ibnu Abbas menjawab: "Al-Qur'an diturunkan pada lailatul qadar sekaligus. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah serta perlahan-lahan sepanjang bulan dan hari" 

Madzhab Ketiga tentang Nuzulul Qur'an
 
Yakni yang berpendapat Al-Qur'an diturunkan ke langit dunia pada 23 malam kemuliaan (lailatul qadar), yang pada setiap malam-malam kemuliaan itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan setiap tahunnya. Dari jumlah untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasul sepanjang tahun. Ini hasil ijtihad sebagian mufassir. Pendapat ini tidak mempunyai dalil. 

Madzhab Keempat tentang Nuzulul Qur'an 
Yaitu pendapat bahwa Al-Qur'an diturunkan pertama-tama berangsur-angsur ke Lauh Mahfudz, sebagaimana firman Allah: 

بَلْ هُوَ قُرْآَنٌ مَجِيدٌ * فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ 

Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh. (QS. Al-Buruj : 22) 

Kemudian ke Baitul Izzah serentak, lalu turun sedikit demi sedikit dalam 23 tahun. Jadi menurut madzhab ini Al-Qur'an diturunkan dalam tiga tahap. 

Menurut Syaikh Manna Al-Qaththan, pendapat ini sebenarnya tidak bertentangan dengan kedua madzhab pokok, karena sebelum diturunkan ke Baitul Izzah, Al-Qur'an memang tersimpan di lauh mahfudz sebagaimana QS. Al-Buruj ayat 22 di atas. 

Tanggal Pertama Kali Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah 
Al-Qur'an yang diturunkan pertama kali kepada Rasulullah adalah surat Al-'Alaq (Iqra') di gua hira yang terkenal itu. Mengenai tanggalnya, para ulama memiliki banyak pendapat yang satu sama lain ada juga yang berselish jauh. Sebagian mengatakan bulan Rajab dan sebagian lainnya mengatakan bulan Ramadhan. Namun yang benar adalah bulan Ramadhan sebagaimana QS. Al-Baqarah ayat 185.

Dari pendapat bulan Ramadhan ini, terpecah lagi ke dalam beberapa pendapat. Sebagian mengatakan tanggal 7, sebagian berpendapat tanggal 17, dan ada juga yang berpendapat tanggal 18. Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury setelah melakukan penelitian mengatakan di dalam Rahiqul Makhtum bahwa wahyu pertama tersebut jatuh pada hari Senin, tanggal 10 Agustus 610 M, bertepatan dengan bulan Ramadhan. Pada bulan Ramadhan itu, hari Senin jatuh pada tanggal 7, 14, dan 21. Dengan mendasarkan kepada argumen bahwa Al-Qur'an pertama kali diturunkan pada lailatul qadar, dan lailatul qadar ada pada malam ganjil sepuluh hari terakhir Ramadhan, Syafiyurrahman Al-Mubarakfury menyimpulkan bahwa Al-Qur'an pertama kali diturunkan kepada rasulullah pada Tanggal 21 Ramadhan. 

Demikian penjelasan mengenai Nuzulul Qur'an menurut berbagai madzhab, semoga bermanfaat.Wallaahu a'lam bish shawab

 Sumber:  مابحث في علوم القران karya Syaikh Manna Al-Qaththan,  رحيق المختوم karya Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Fi Zhilalil Qur'an

KIAI SAHAL DAN REALISME FIKIH

May 25, 2014 Add Comment


Dari perspektif fikih, lokalisasi pelacuran hukumnya boleh. Bagaimana bisa? Dalam Nuansa Fiqh Sosial, KH. Sahal Mahfudz memberi jawaban menarik. Kata Kiai Sahal, prostitusi jelas dilarang agama. Tapi sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi tak akan musnah hanya dengan diharamkan. Dalam kondisi demikian, terdapat dua pilihan yang sama-sama membawa kerusakan (mafsadah): atau membiarkan prostitusi menyebar secara gelap di masyarakat dan tak terkontrol, atau melokalisirnya sehingga bisa dikontrol. Kaidah fikih mengajarkan, bila ada dua pilihan yang sama-sama mengandung mafsadah, yang lebih ringanlah yang mesti dipilih. Atas dasar itulah Kiai Sahal berpendapat lokalisasi pekerja seks komersial bisa dibenarkan.
Pandangan di atas mungkin terasa mengejutkan bagi kalangan Islam yang, atas nama amar ma’ruf nahi munkar, menyatakan perang total terhadap segala bentuk kemunkaran. Prostitusi di mata mereka justru harus diberantas, bukan dilokalisir. Bahwa persoalannya kompleks, mereka tak mau tahu.
Sebenarnya, kalau acuannya kitab-kitab tentang kaidah fikih (qawa’id al fiqh), pendekatan frontal yang hitam putih terhadap kasus fikih justru jarang ditemukan. Yang lazim malah penekanan tentang pentingnya memperhitungkan kompleksitas masalahnya. Ada setidaknya tiga kaidah fikih yang menunjukkan hal itu.
Pertama, kaidah tentang keharusan menghilangkan kerusakan (dharar), baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Namun usaha menghilangkan kerusakan tak boleh dengan cara-cara yang merusak. Tak boleh juga melahirkan kerusakan baru. Dengan kata lain, yang perlu ditimbang bukan hanya isi hukumnya, tapi juga ongkos sosial dan solusi terhadap masalahnya. Dan seperti digambarkan dalam kasus lokalisasi di atas, terhadap sesuatu yang haram pun kita tak bisa langsung membumihanguskannya begitu saja,
Kaidah kedua, keadaan tak terelakkan atau suatu kemestian (dharurah) bisa membolehkan hal yang tadinya terlarang. Kaidah inilah yang dipakai, misalnya, oleh Al-Ghazali sebagai landasan fikih politiknya yang bertumpu pada realisme . Dalam Al Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali menegaskan, dalam situasi ketika tak mungkin lagi ditemukan pemimpin yang sesuai dengan kriteria syariah, maka penguasa yang tak sesuai kriteria syar’i bisa dianggap absah, asalkan mampu menegakkan tatanan sosial. Sebab, bila pemimpin seperti itu tak diakui lantaran tak sesuai syariah, maka umat akan berada dalam situasi yang lebih berbahaya menurut fikih, yakni situasi tanpa pemimpin yang niscaya melahirkan kekacauan sosial dan politik. Dengan kata lain, situasi yang tak terelakkan (dharurah) menyebabkan apa yang tadinya terlarang menjadi boleh.
Sedangkan kaidah ketiga berbunyi: budaya setempat bisa menjadi dasar hukum. Alih-alih memberangus tradisi lokal, hukum Islam justru mengakomodasinya. Kaidah ini meniscayakan adanya keragaman fikih, mengingat budaya lokal umat Islam juga beragam. Artinya, fikih yang cocok berlaku buat orang Islam Indonesia adalah “ fikih Indonesia,” sebagaimana yang cocok buat kaum Muslim Arab adalah “fikih Arab.” Mungkin inilah yang dimaksud Gus Dur sebagai “pribumisasi Islam.”
Tiga kaidah fikih di atas tak pelak mengarah pada kesimpulan berikut: hukum Islam bukanlah sebuah paket baku yang sudah jadi dari atas, yang tinggal diterapkan begitu saja pada situasi manapun dan kapanpun. Karena hukum Islam ternyata sangat mempertimbangkan kenyataan kongkret di mana kaum muslim berada. Hubungan antara keduanya bukanlah hubungan satu arah yang bersifat top-down, melainkan saling mempengaruhi. Kenyataan tak hanya melulu harus disesuaikan dengan suatu putusan syara’, melainkan juga bisa membuat putusan tersebut menyesuaikan diri dengannya. Saya menyebut fenomena ini sebagai “realisme fikih.”
Realisme fikih inilah yang saya kira mencirikan gagasan “fikih sosial” ala Kiai Sahal. Asumsi dasarnya, syariah mesti dilihat sebagai fikih, yang berarti “pemahaman.” Bagi Kiai Sahal, fikih selalu merupakan hasil ijtihad yang tak bersifat kaku dan sakral, melainkan lentur dan kontekstual. Putusan fikih yang pada suatu zaman dan tempat tertentu dianggap valid bisa saja tak lagi relevan di era lain atau di tempat lain. Untuk menggambarkan kelenturan fikih ini, Kiai Sahal mengutip seloroh KH. Wahab Hasbullah: pekih kuwi yen rupek yo diokoh-okoh, fikih itu kalau terasa menyempitkan ya dibuat longgar.
Tapi apa landasan bagi peng-“okoh-okoh”an fikih? Apa tolok ukur yang mendasari kontekstualisasi hukum Islam? Di mata Kiai Sahal, di luar wilayah ibadah murni (ibadah mahdhah), kontekstualisasi fikih harus bersandar pada prinsip kemaslahatan. Dalam dunia sosial-politik, prinsip ini bisa diterjemahkan sebagai terciptanya keadilan sosial.
Dalam konteks mutakhir, keadilan sosial dimaknai dalam kerangka demokrasi, yang bertaut erat dengan prinsip kesetaraan warga negara, apapun agamanya. Kesetaraan demokrasi inilah yang menurut Kiai Sahal merupakan muara bagi fikih politik untuk zaman ini. Konsekuenasinya, diktum-diktum fikih politik (fiqh al-siyasah) klasik yang bertentangan dengan muara fikih tersebut, seperti konsep dzimmi yang menempatkan kalangan nonmuslim sebagai warga negara kelas dua, menjadi tidak relevan lagi. Menarik bahwa alur penalaran fikih pada akhirnya membawa Kiai Sahal pada sikap menyetujui demokrasi sebagai sistem yang dianggap paling efektif merealisasikan kemasalahatan, yang nota bene merupakan tujuan syariah.
Dengan kerangka berpikir seperti itu, wajar kalau kemudian Kiai Sahal menolak ide formalisasi syariah. Dalam pidato iftitahnya di Munas NU 2006, misalnya, ia menggarisbawahi perlunya NU mengusung syariah “tanpa melalui jalan formalistik, lebih–lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, melainkan dengan cara lentur.” Sebab ia meyakini, “syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal.”
Ditinjau dari lensa fikih sosial, gerakan penerapan syariah yang belakangan marak di negeri kita sejatinya mengidap sejumlah masalah akut. Yang paling mencolok adalah diabaikannya prinsip kesetaraan yang menurut Kiai Sahal harusnya menjadi muara bagi syariah. Lihat saja betapa banyak perda syariah yang melanggar hak-hak perempuan dan kaum minoritas.
Ada anggapan, negara syariah mencerminkan Islam kaffah yang sesuai dengan teladan Islam salaf. Padahal upaya menempatkan hukum Islam sebagai hukum tunggal yang baku dan disahkan oleh negara justru tak dikenal pada masa Islam klasik. Positivisasi hukum Islam adalah fenomena modern, yang akarnya baru muncul pada paruh akhir abad 19, akibat dari persentuhan Dunia Islam dengan negara kolonialnya seperti Perancis. Model acuannya pun banyak mengambil dari sistem hukum Eropa. Sebelum itu, selama ratusan tahun korpus syariah praktis dirumuskan dan dikembangkan oleh para ulama fiqh “swasta” yang otonom dari negara dan tanpa pengesahan negara. Di tangan merekalah syariah tampil sebagai fiqh, yakni ranah ijtihad yang fleksibel dan meniscayakan keragaman pendapat. Inilah yang hendak dihidupkan lagi oleh Kiai Sahal melalui fikih sosialnya.
Walhasil, penolakan Kiai Sahal atas formalisasi syariah kiranya sejalan dengan fikih sosialnya. Karena baginya, dengan memahami syariah sebagai fikih dan bukan sebagai hukum positif, kita sejatinya memulihkan kembali karakter hukum Islam yang sesugguhnya, yakni yang lentur, kontekstual, dan berporos pada keadilan sosial. Bagi Kiai Sahal, inilah bentuk sejati penerapan syariah.
Akhmad Sahal, pengurus cabang istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika. Akun twitter: @sahal_AS
*Tulisan ini dimuat di Majalah TEMPO, ediisi 24/2/2014

JADWAL TEMPAT ZIARAH WALI SONGO Pon. Pes. “MA’HADUT THOLABAH” Th. 2014 M

March 31, 2014 Add Comment
JADWAL TEMPAT ZIARAH WALI SONGO Pon. Pes. “MA’HADUT THOLABAH” Th. 2014 M



                                                               

Nama Wali
Tempat
KH. Ahmad Thoha Romlan
Kandangan
KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU)
Tebuireng Jombang
KH. Abdurahman Wahid (Presiden ke-4)
Tebuireng Jombang
Syekh Jumadil Qubro (Walisongo Generasi ke-1)
Troloyo Trowulan Mojokerto
Syekh Bungkul
Jl. Darmo Surabaya Kota
Syekh Raden Rahmad (Sunan Ampel)
Ampel Denta Surabaya
Syekh Maulana Malik Ibrahim
Gresik
Syekh Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Lereng Gunung Giri Gresik
Syekh Raden Qosim (Sunan Drajad)
Sedayu Lamongan
Syekh Asmoro Qondi (Raden Asmoro)
Tuban
Syekh Makdum Ibrahim (Sonan Bonang)
Tuban
Syekh Raden Umar Sa’id (Sunan Muria)
Lereng Gunung Muria
Syekh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)
Menara Kudus, Kudus
Syekh Raden Sa’id (Sunan Kalijaga)
Kadilangu Demak
Masjid Agung Demak
Demak
Syekh Raden Fatah ( Raja Islam Pertama Di Jawa)
Demak Bintoro
Syekh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati)
Cirebon Jawa Barat
Sultan Hasanuddin (Pahlawan Nasional)
Banten Jawa Barat
Syekh Maulana Yusuf
Pandeglang Serang Jawa Barat
Masjid Istiqlal
Jakarta
Wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Jakarta
Syekh Panjalu (Wisata Keliling Danau)
Tasikmalaya Jawa Barat
Syekh Haji Abdul Muhyi
Pamijahan Tasikmalaya
Goa Saparwadi
Bantarkalong Pamijahan
Syekh Dalhar
Gunung Pring Muntilan Jateng
Syekh Pandanaran (Sunan Bayat)
Bayat Klaten Jateng
Malioboro/Pasar Klewer
Yogyakarta/Solo Jateng

NB :
  1. Berangkat Tanggal 20 Juni 2014
  2. Kontribusi Rp.340.000
  3. Bus full AC + Video
  4. Dana harus lunas sebelum berangkat dan dapat diangsur
  5. Jam 15.00 wib peserta harus sudah berkumpul dihalaman PPMT Kebondalem, Kandangan
  6. Jadwal bisa berubah tergantung situasi dan kondisi

Recent Post