Sesuai uraian diatas, pengetian ASWAJA adalah kelompok yang selalu berpegang pada sunah Rosululloh dan metode sahabatnya yang tercermin dalam aspek:
1. I’tiqod diniyyah (keyakinan keagamaan)
2. A’mal al-badaniyyah (amal ibadah)
3. Akhlaq al-qolbiyyah (budi pekerti)
Istilah Aswaja ini muncul sekitar periode tiga ratus Hijriyah, dipelopori oleh Imam Abi Hasan al-Asy’ari murid dari salah seorang tokoh Mu’tazilah bernama Syaikh Ali al-Juba’i. Menurut Imam as-Subuki, selama 40 tahun lamanya al-Asy’ari berada dibelakang kelompok ini. Namun setelah melalui perenungan panjang nanmendalam, Imam al-Asy’ari akhirnya sampai pada kesimpulan adanya kejanggalan-kejanggalan dari ajaran yang telah lama digelutinya ini, khususnya mengenai posisi akal pikir manusia di hadapan Nash al-Qur’an ataupun Hadits, serta kewajiban Alloh berbuat membalas kebajikan terhadap hambanya yang telah menjalankan kebajikan. (lihat: Dzohrul Islam)
Adapun Imam Al-Asy’ari yakni ‘Aly bin Isma’il bin Abi Bisyri Ishaq Bin Salim Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Bardah Bin Abi Musa Al-Asy’ary (yaitu Abdillah Bin Qais, shahabat Nabi) lahir tahun 260 H. dan Imam Al-Maturidy yakni Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Al-Hanafy bukanlah pencetus pertama dalam bidang ilmu Kalam, namun Beliau berdualah yang mengokohkan Imam Madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah). Imam Abu Hasan Al-Asy’ari adalah pengikut Madzhab Syafi’i sedangkan Imam Abu Manshur Al-Maturidy adalah pengikut Madzhab Abu Hanifah. (Lihat: TobaqotusSyafiiyyah Kubro, Tajuttarojim dan Al A’lam)
Syaikh ‘Izzuddin Bin Abd. Salam menjelaskan bahwa aqidah yang digagas oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ary telah disepakati dan menjadi konsensus ‘Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Fudlola’u (pembesar) Hanabilah. Sepakat pula Guru Besar Madzhab Malikiyah Imam Abu ‘Umar Bin Al-Hajib di zaman Beliau, demikian pula Guru Besar Madzhab Hanafiyah Syaikh Jamaluddin Al-Hushairy.
Pengakuan Syaikh ‘Izzuddin tersebut juga diakui Syaikh Taqiyuddin As-Subuky sesuai pendapat yang diliput putra Beliau yakni Syaikh Tajuddin As-Subuki, sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Az-Zubaidi sebagaiman berikut:
أهل السنة من المالكية والشافعية وأكثر الحنفية بلسان أبي الحسن الأشعري
Syaikh Tajuddin As-Subuky memaparkan: Sepengetahuan saya bahwa semua ‘Ulama pengikut Imam Malik semuanya adalah Asya’iroh tidak ada yang keluar, ‘Ulama Syafi’iyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan yang beranggapan bahwa Allah adalah merupakan jisim (benda) atau Mu’tazilah, Hanafiyah mayoritas Asya’iroh kecuali golongan Mu’tazilah dan ‘Ulama Hanabilah yang mulia identik dengan Asya’iroh kecuali golongan yang berkeyakinan Allah adalah jisim. Golongan yang menganggap Allah sebagai jisim lebih banyak daripada golongan pengikut Madzhab lain. Sebagian Ulama yang mengikuti Faham Asy’ariyyah:
- Al Ustadz Abu Sahl As Sho’luki – Al Ustadz Abu Ishaq Al Isfiroyini
- As Syaikh Abu Bakar Al Qoffal – As Syaikh Abu Zaid Al Marwazi
- Al Ustadz Abu Abdulloh bin Khofif – As Syaikh Zahir bin Ahmad As Sarkhisi
- Al Hafidz Abu Bakar Al Jurjani Al Ismailiy – As Syaikh Abu Bakar Al Awdani
- As Syaikh Abu Muhammad Atthobari Al Iroqi – As Syaikh Abu Al Hasan Abdul Aziz At Thobari
- As Syaikh Abu Ja’far As Salma An Naqqosh – As Syaikh Abu Abdillah Al Asbihani As Syafi’i
- As Syaikh Abu Muhammad Al Qorosyi Az Zuhri – As Syaikh Abu Manshur bin Khamsaad
(Lihat: TobaqotusSyaiiyyah Kubro)
Adapun Muhadditsin (ahli Hadits) dan Shufiyah (ahli Tasawwuf) karena sudah sepakat dengan aqidah Al-Asy’ary dan Al-Maturidy maka mereka juga tergolong dari Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan demikian, orang-orang yang mengingkari golongan Shufiyah (ahli Tasawwuf) dan orang-orang yang tidak sepakat dengan Madzhab empat bukanlah termasuk Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan memakai istilah yang dipakai oleh golongan tertentu tersebut.
Mengenai pendalaman lebih lanjut atas faham Aswaja ini, diatas telah di paparkan dengan melalui pelacakan terhadap Hadits-hadits yang dinilai valid. Sebab tiada jalan lain untuk bisa memperoleh pemahaman keagamaan sesuai ajaran Rosululloh dan para Sahabatnya, kecuali melalui telaah hadits secara kritis.
Namun untuk saat ini, dimana dengan terpautnya masa dengan Rosululloh SAW. yang menyebabkan kesulitan telaah Al qur’an beserta sebab-musabab turunnya Al Qur’an (Asbabunnuzul) dan hadist beserta sebab-mubabab turunnya hadist (asbabulwurud) kecuali dengan meneliti Manuskrip, kitab-kitab Al Mu’tabar (yang dianggap valid) maka pendalaman hanya bisa dilakukan melalui kajian mendalam atas kitab-kitab karya Ulama’ Salaf. Karena pada dasarnya, kitab-kitab tersebut merupakan penjabaran dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits, yang dihasilkan melalui analisa selektif dan konprehensif dengan tingkat kecermatan yang sangat tinggi. Dan agar kita terhindar dari sabda Nabi tentang laknat bagi orang yang menafsiri qur’an seenaknya, sebagai berikut:
سنن الترمذى – (ج 11 / ص 171)
3204 – حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِىِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Artinya: Dari sahabat Anas bin Malik RA., beliau berkata: “Rosululloh SAW. bersabda”:“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an (mengambil dalil dari Al Qur’an) dengan tanpa ilmu, maka tetapkanlah tempat duduknya bagian dari neraka (niscaya akan masuk neraka)”.
Imam Al Munawi Menjelaskan Hadist diatas sebagai berikut:
فيض القدير الجزء السادس ص 190
من قال في القرآن وفي رواية للترمذي وغيره من قال في كتاب الله وفي رواية من تكلم في القرآن برأيه أي بما سنح في ذهنه وخطر ببالهمن غير دراية بالأصول ولا خبرة بالمنقول فأصاب أي فوافق هواه الصواب دون نظر كلام العلماء ومراجعة القوانين العلميةومن غير أن يكون له وقوف على لغة العرب ووجوه استعمالها من حقيقة ومجاز ومجمل ومفصل وعام وخاص وعلم بأسباب نزول الآيات والناسخ والمنسوخ منها وتعرف لأقوال الأئمة وتأويلاتهم فقد أخطأ في حكمه على القرآن بما لم يعرف أصله وشهادته على الله تعالى بأن ذلك هو مراده أما من قال فيه بالدليل وتكلم فيه على وجهالتأويل فغير داخل في هذا الخبر.
Artinya: ““Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”, dalam sebagian riwayat Imam turmudzi dan lainnya (di tulis dengan:) “Barangsiapa berkata dalam kitab Alloh”, dalam sebagian riwayat (dengan:) “Barangsiapa berbicara dalam Al Qur’an dengan pikirannya”, yakni: dengan pemikiran yang timbul dihati yang kotor tanpa mengetahui dengan dasar-dasar dan kebaikan dalil manqul (naqli: Al Qur’an dan Hadist) kemudian mendapat kebenaran yang mencocoki hawa nafsunya, tanpa memandang pendapat para ulama, tanpa merujuk kaidah-kaidah keilmuan, tanpa menyandarkan pada tata bahasa arab, penggunaan hakikat-majaz global-terperinci umum-khusus, tanpa mengetahui sebab-musabab turunnya ayat, Nasikh-mansukh (al Qur’an yang menyalin dan disalin), dan tanpa mengetahui Qoul-qoul para Imam serta penakwilan beliau-beliau. Maka orang tersebut benar-benar keliru menghukumi dengan Al Qur’an dengan sesuatu yang tidak diketahui asalnya dan persaksian atas Alloh, semua hal diatas adalah maksud dari hadist “Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…, Adapun Ulama yang berkata dalam al Qur’an dengan menggunakan dalil dan berbicara sesuai ta’wil bukanlah orang yang masuk dalam pengertian hadist ini (“Barangsiapa berkata dalam Al Qur’an”…).”
Untuk mengenal lebih mudah golongan Ahli Sunah wal Jama’ah dalam konteksterkini, KH. Hasyim Asy’ari pada sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ menandaskan, ciri ahli Sunah wal Jama’ah, adalah mereka:
- Yang dibidang Fiqh mengikuti faham Imam Abi Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i bin Idris atau Imam Ahmad bin Hambal.
- Dibidang Tasawwuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid al-Baghdady dan Imam Ghozali.
- Dan bidang Tauhid mengikuti Imam Abu al-Asy’ari atau Imam Abu Mansur al-Maturidi.
Hubungan antara Ahli Sunah wal Jama’ah dengan NU dan organisasi keagamaan lainnya, dapat dilihat dari bagaimana gaya masing-masing organisasi tersebut memahami ajaran agama Islam. Sebab patokan atau pakem yang dijadikan rujukan oleh masing-masing adalah sama, yakni al-Qur’an dan Hadits Nabi. Hanya bagaimana kemudian dua sumber tersebut dipahami, secara mendetail dan pengamalan yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad, yakni berahlak mulia dan dengan Mauidzotul hasanah tanpa menyakiti sesama. Oleh karena itu alangkan indahnya apabila kita kembalikan semua ajaran islam sesuai garis-garis dasar yang telah di firmankan Alloh SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Nisâ`: 59)
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (159)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (Q.S. al An’am 159)
Dan sebagai penutup kami mengajak para Alim-Ulama, para cendekiawan Muslim, para santri dan segenap masyarakat untuk menjadi benteng terakhir ajaran islam, sesuai Sabda Nabi SAW.:
تحفة الأحوذي – (ج 6 / ص 449)
أَمَّا حَدِيثُ جَابِرٍ فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ عَنْهُ مَرْفُوعًا : ” إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَوَّلَهَا ، فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ” . قَالَ الْمُنْذِرِيُّ : فِيهِ اِنْقِطَاعٌ ، وَأَمَّا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَأَخْرَجَهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْحَاكِمِ وَقَالَ صَحِيحٌ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ .
سنن ابن ماجه – (ج 1 / ص 322)
275 – حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ أَبِى السَّرِىِّ الْعَسْقَلاَنِىُّ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّرِىِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا لَعَنَ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَوَّلَهَا فَمَنْ كَتَمَ حَدِيثًا فَقَدْ كَتَمَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ».
“Apabila akhir umat ini melaknat (generasi) awalnya, (maka hendaklah orang-orang yang mempunyai ilmu pada ketika itu memperlihatkan ilmunya), maka barangsiapa yang menyembunyikan hadist (ilmu pada waktu tersebut), benar-benar (seumpama) seseorang yang menyembunyikan apa yang telah Alloh turunkan (diwahyukan kepada Sayyidina Muhammad SAW!!!)”.
Wallohu A’lam Bisshowab….