Hakikat Tahlilan (Kenduri Arwah – Selamatan Kematian)
Pada
hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan
untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat
bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau
bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa dengan cara membaca
kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih,
Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain. Maka sangat jelas bahwa majelis
tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang
berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha
illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir
dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan
dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ?
Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).
Mengenai ayat :
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).
Mengenai ayat :
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سعى
“dan bahwasanya tiada bagi manusia selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)
“dan bahwasanya tiada bagi manusia selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)
Maka Ibn Abbas radliyallahu ‘anh menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَاكَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka... (QS. ath-Thuur 52 : 21)”.
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka... (QS. ath-Thuur 52 : 21)”.
Mengenai hadits yang
mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya
terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya
yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir
dan lain-lain untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si
mayyit, karena Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan
terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk
si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam
Al-Qur'an untuk mendoakan orang yang telah wafat :
والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلاللذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr 59 ; 10)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr 59 ; 10)
Mengenai rangkuman tahlilan
itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya, siapa pula
yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang
tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia
ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tersebut dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul shallalahu ‘alayhi wa sallam tak melarangnya bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam :
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia
ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tersebut dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul shallalahu ‘alayhi wa sallam tak melarangnya bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam :
Berkata Imam
al-Hafidh al-Muhaddits Ali bin al-Muwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu
30 haji untuk Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”.
Berkata
al-Imam al-Hafidh al-Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy
Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang
pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor
untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an
untuk Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan kujadikan
seluruh amalku untuk Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam”.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan
ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir
pada 218 H dan wafat pada 313 H.
Berkata Al Imam Al Hafidh
Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X
untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam
untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq.
Disalin dari buku Kenalilah-Akidahmu-1karya al-Habib Munzir al-Musawa
Pengasuh Majelis Rasulullah
Disalin dari buku Kenalilah-Akidahmu-1karya al-Habib Munzir al-Musawa
Pengasuh Majelis Rasulullah